Ingat Nawaksara, ingat Bung Karno.
Tapi itu dulu, pada masa Orde Lama. Kini ada Nawaksara versi lain yang terkait dengan manajemen pengendali air. Lebih khusus lagi adalah air untuk kepentingan minum, yang umumnya dikelola oleh PDAM di bawah asosiasi bernama Perpamsi (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia).
Istilah tersebut kini menjadi penting pada masa Otonomi Daerah dan maraknya upaya privatisasi PDAM dengan beragam sebab. Isinya sbb:
1. Tidak semua daerah memiliki sumber air berupa mata air dan air permukaan (air tawar: sungai, danau, waduk, rawa; air payau; air laut) dalam jumlah yang signifikan jika dikaitkan dengan jumlah penduduknya.
2. Air tanah terus susut sehingga tidak ekonomis lagi dijadikan sumber air PDAM. Lambat-laun sumber air akan mengarah ke air permukaan, baik air tawar maupun air payau/asin.
3. Kualitas air permukaan dan air tanah terutama di dekat pesisir/pantai dan di sekitar pembuangan sampah (open dumping atau sanitary landfill) cenderung memburuk (beracun atau asin karena intrusi).
4. Jumlah penduduk dan industri bertambah terus sehingga daerah komersial tak terbendung lagi perkembangannya. Konsekuensinya, kebutuhan air juga membesar sekaligus memperparah polusinya.
5. Kerapkali terjadi, daerah yang tak punya sumber air baku justru lebih makmur daripada yang punya sumber air. Muncullah rasa cemburu terhadap kabupaten/kota yang ekonominya maju itu tapi tak punya sumber air baku sehingga memicu ketegangan antardaerah.
6. Faktanya, kapasitas instalasi PDAM belum mampu melayani sebagian besar penduduk kota dan kualitas airnya masih buruk.
7. Mengubah paradigma sosial semata menjadi pola pikir ekonomi berjiwa sosial. Negaralah sentral dari kelola-kendali penyediaan air dan bersedia mempertaruhkan semua kekayaan alamnya untuk penyediaan air bersih.
8. Realitasnya, banyak pemerintah kabupaten/kota yang miskin dana (investasi) karena kondisi geografis-topografisnya. Lemah pula teknologi & manajemen SDM-nya. Jadi, pelibatan swasta untuk membantu pemda asalkan di dalam koridor konstitusi masih bisa dipertimbangkan.
9. Sekali lagi, air itu milik publik. Negara wajib mengelolanya secara adil; boleh melibatkan swasta asalkan tetap menapaki jejak pasal sosioekologi, pasal 33 UUD 1945.
Demikian.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar