Adegan porno di televisi kembali terjadi. Betul-betul blue film, tukas seorang saksi yang juga anggota DPRD Kota Bandung. Tayangan ilegal berseraga itu masuk begitu saja, menimpa siaran yang sedang tayang pada pagi hari, pukul 06.15 wib, dan lamanya 20 menit. Mirisnya lagi, “aktor” dan “aktrisnya” adalah produk lokal alias 100% asli Indonesia. Pikiran saya lantas menerawang ke sejumlah kasus serupa sekian tahun silam, dan satu kasus lagi beberapa bulan lalu yang dilakukan sepasang suami-istri.
Kita mafhum, berseraga antara pria-wanita nonnikah bukanlah berita baru. Apalagi jika dikaitkan dengan wanita tunasusila (WTS), setiap hari pasti terjadi. Termasuk antara dua sejoli yang dimabuk asmara. Kita pun bisa membacanya dari buku-buku yang mengupas seks bebas dan hidup bersama (samen leven) mahasiswa kita. Namun akan lain efeknya jika perilaku itu diungkap di media massa dan seolah-olah reklame gaya hidup demikian. Sebab, dalam keseharian kita, ada begitu banyak koran, tabloid, dan majalah yang juga memamerkan kepornoan. Di kaki lima, di emper-emper toko bisa kita lihat penjualan CD (compact disc) porno secara diam-diam. Belum lagi di internet. Warung-warung internet sering dipenuhi anak-anak sekolah yang membuka situs porno.
Parahnya lagi, kalangan wanita remaja, dewasa, dan malah orang tua ikut-ikutan mendukung kepornoan itu lewat penampilannya yang seronok. Dari sitiran di atas, wanita adalah objek lantaran semua sisi dan sudut tubuhnya berpotensi menarik daya seksual pria. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, wanita punya magnet erotisme yang khas bagi pria. Inikah emansipasi yang dimaksud selama ini? Dalam bulan April ini kajian kesetaraan jender terus menguat. Hanya saja, ujud kesetaraannya acapkali salah pasang. Lantas fakta berkata, perempuan Indonesia justru senang mempornokan dirinya lewat berbagai atribut seperti mode pakaian yang sangat-sangat bebas terbuka.
Tidakkah ironis ketika semangat menggebu kesetaraan jender diungkap sementara kepornoan terus diagungkan justru oleh kaum wanita? Andaikata emansipasi dan prinsip kesetaraan jender dinisbatkan kepada Kartini, maka, boleh jadi, Kartini lagi menangis sekarang. Ia sedih melihat kaum yang diperjuangkannya menyimpang dari cita-citanya. Hasratnya dulu ingin menaikkan derajat perempuan yang tercermin pada surat-suratnya kepada orang Belanda, sahabat penanya. Pada waktu itu, jangankan perempuan biasa, perempuan bangsawan seperti dirinya saja sulit menyejajarkan diri dengan pria. Terlebih lagi di mata imperialis Belanda. Tapi untung bagi Kartini, ada orang Belanda yang mau berkorespondensi dengannya.
Kini, lebih dari seratus tahun kemudian, kaum wanita Indonesia lebih cenderung pada budaya barat. Pola pikir dan perilakunya Eropa sentris atau Amerika sentris. Atau, luar negeri sentris. Dikiranya semua yang berbau luar negeri lebih unggul dan patut ditiru. Padahal Kartini justru melawan budaya barat (Belanda) yang diskriminatif. Kartini tak setuju gaya hidup kebelanda-belandaan yang dianut rekan wanitanya masa itu yang lupa pada jati dirinya sebagai orang Indonesia (Jawa).
Perempuan Indonesia kiwari lebih senang pada dunia pesta dan glamur. Idolanya selebritis (pedoyan pesta, celebration). Model baju, celana, rambut semuanya mengacu ke bintang film dan sinetron. Tak bisa dimungkiri, film-film laris kebanyakan berbumbu eksploitasi tubuh wanita. Malah ada film yang diprotes Aa Gym, seperti Buruan Cium Gue, tapi bisa didaur ulang menjadi Satu Kecupan dan beredar bebas. Adakah ini cermin kebandelan sineas kita? Ataukah ketidakmampuannya mengkreasikan film nonseks yang laris? Kalau merujuk ke artikel Eddy D. Iskandar di PR, 30/3, banyak juga film nonseks yang laris. Lalu apa masalahnya? Saya kira, moral produser, sutradara, aktor-aktris, dan aparat di lembaga sensor filmlah kuncinya. Adapun penonton yang sampai ketagihan film demikian, hanyalah objek penderita. Selain disedot uangnya, moralnya pun menjadi rendah dan mengejawantah dalam perilakunya terhadap teman kencan dan pacarnya, yaitu seks bebas.
Maka, di pusaranya, Kartini tentu sedih. Kalangan yang dibelanya sudah berubah orientasi dan bangga merendahkan harga dirinya dengan tampil bebas dan “seadanya”. Polos, berbaju kaos lengket berleher rendah dan lebar. Sementara ujung bawahnya di atas pusar. Sebaliknya, celana ketatnya merosot sampai tulang panggul sehingga tampak siluet belahan yang di belakangnya. Gaya ini mewabah dan kian lumrah. Pelakunya tak hanya yang kuning langsat mulus tapi juga yang coklat, sawo matang, dan bergurat-gurat.
Lebih jauh lagi, kaum Kartini sekarang, terutama remajanya, diterpa oleh beragam kontes-kontesan. Ada kontes kecantikan, ada kontes bibir seksi, lomba betis indah, dan kontes nyanyi semacam AFI, Indonesian Idol, KDI, Kondang In, dan ajang pameran mode yang betul-betul nudis. Kontes yang justru merendahkan martabatnya ini terus dipublikasikan dan semarak di kota-kota provinsi. Pesertanya bangga menjadi sorotan media massa. Mereka balapan menjadi cover tabloid dan majalah XXX. Setiap terbit selalu saja wanita berbikini yang dipajang. Dan laris bukan main. Konsumennya, pria-wanita, berduyun-duyun membelinya. Dinanti-nanti penerbitannya.
Kalau mungkin, Kartini pasti terisak-isak di alam kuburnya. Spirit perjuangannya sudah tak sejajar lagi dengan kaumnya sekarang. Dulu ia menentang kesewenang-wenangan terhadap wanita yang hanya dianggap barang. Tapi sekarang, di setiap sudut kota dan jalan, di angkutan umum, di mal senantiasa penuh dengan wanita berbuka-buka-ria, menjajakan diri laksana barang dagangan. Malah sudah masuk ke kampus-kampus. Merangsek ke SMU, SMK dan SLTP. Pakaian seragam siswa sekolah itu sedemikian “modis”. Memakai sabuk besar tapi melorot. Padahal ikat pinggang fungsinya agar tidak melorot. Sampai-sampai lekuk-liku dan belahan di depan atas dan di belakang bawahnya tampak jelas. Maka Kartini, di pusaranya, pasti meneteskan air mata jika tahu kondisi wanita yang dibelanya dulu. Inikah emansipasi itu?
Begitulah faktanya. Perempuan Indonesia seabad pasca-Kartini telah bebas sebebas-bebasnya. Bebas yang mungkin tak terpikirkan di benak istri Bupati Rembang ini. Kini kaumnya cenderung pada budaya hura-hura. Sekadar contoh, peserta audisi sebuah acara “nyanyi-nyanyi” bisa membludak. Dalam satu hari 60 ribu orang per kota pesertanya. Animonya tinggi sekali. Padahal harus bayar. Betapa kaum muda-mudi itu begitu ingin menjadi orang terkenal, orang top. Yang bikin geleng-geleng kepala lagi, ternyata banyak yang diantar orang tuanya. Malah yang paling sibuk justru ibunya. Adakah ini obsesi sang ibu yang gagal menjadi penyanyi? Tak berhasil menjadi selebritis? Di mana nilai mulia seorang ibu? Inikah emansipasi itu?
Kartini, kalau mungkin, pasti sedih. Kaumnya condong pamer kemolekan tubuh, yang di masanya sangat tidak mungkin terjadi, kecuali gundik-gundik Belanda di rumah-rumah bordil. Masyarakat umum, kala itu, tak berani membuka secuil baju dan kainnya. Andai agama belum dalam dipahami, tapi adat dan etikanya masih dijunjung tinggi. Saat itu Kartini masih gadis remaja sebagaimana pelaku film porno dan peserta kontes-kontes tersebut tapi telah berpikir maju. Peduli pada kemajuan kaumnya. Tingginya spirit Kartini dalam memajukan dan memuliakan perempuan bisa dibaca pada kutipan ini. Ia menulis surat kepada Zeehandelaar perihal wanita Surakarta masa itu. “Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan terutama lingkungan susuhunan, seorang laki-laki lebih 26 orang perempuannya (23 Agustus 1900). (Dikutip dari buku Menemukan Sejarah, karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara).
Bayangkan, pada masa itu, pernikahan “sah” lebih dari empat kali sudah menjadi perhatian Kartini. Hanya saja, tentu tak bisa ditafsirkan langsung bahwa Kartini tak setuju pada poligami. Sebab, pada masa itu, tafsir dan buku yang mengupas pernikahan atau rumah tangga masih jarang. Sangat jarang kalau tak bisa dikatakan tidak ada. Penerbit buku milik bumiputra pun tidak ada. Kalaupun ada, masih berbahasa Arab yang tak dipahami bahasanya. Adapun Balai Pustaka belum muncul pada saat itu.
Tapi yang pasti, Kartini menolak lelaki yang beristri sampai dua puluhan. Budaya banyak istri ini dianut oleh kalangan raja dan bangsawan masa itu, baik di tanah Jawa maupun luar Jawa, semisal di Bali. Lalu bagaimana dengan perempuan sekarang yang membuka, memajang dan memejeng dirinya seolah-olah “suaminya” ribuan orang sehingga lelaki dengan mudah “menelanjangi” tubuhnya? Bagaimana dengan pornografi, pornoaksi dan pornodesah yang marak di televisi? Wajarlah ulama dan orang tua yang masih “waras” mendukung pencanangan Gerakan Nasional Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Pornografi dan Pornoaksi (GNP5). Termasuk mendukung UU Antipornografi. Jika tidak demikian, barangkali, masih lama lagi Kartini “terisak-isak” di alam barzah.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar