Belum lama berselang ada buku yang isinya tentang hal porno di Singapura dan sempat ramai dibahas. Terkait dengan aroma porno itu saya ada pengalaman unik. Pengalaman ini sungguh tak terlupakan, kerapkali melintas di kepala saya. Kejadiannya sudah lama, sekitar tahun 1976, waktu saya masih di SD. Seperti layaknya sekolah di kota-kota kecil, bahasa pengantar pada masa itu adalah campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Semua pelajaran seperti itu. Maklumlah, banyak di antara kami yang belum terbiasa berbahasa Indonesia dan guru-guru pun lebih suka berbahasa Bali.
Suatu hari, seorang teman, sebut saja namanya Made, disuruh membuang robekan kertas yang tercecer di bawah bangkunya. “Made, buang sampah itu!” kata guru sambil menunjuk ke bawah mejanya.
Entah sedang melamun, entah ucapan guru yang tak jelas atau entah kenapa, tanpa diduga Made menjawab sambil geleng-geleng kepala,” Tidak Bu, saya tidak buang.” (Tentu saja dalam bahasa Bali). Ia lalu melihat ke sekeliling.
“Made, buang itu!” ulang Bu Guru dengan suara meninggi.
Lagi-lagi ia menolak. “Betul Bu, saya tidak buang, Bu!” katanya sambil bersemu merah. Wajahnya agak ditundukkan, gentar menatap mata bu guru.
Tiba-tiba terdengar gerr… Mirip diaba-aba, kami tertawa bersamaan. Ada yang terpingkal-pingkal, gaduh sekali. Kelas jadi riuh. Made rupanya mengartikan kata buang dalam bahasa Bali. Cabul, itulah artinya.
Seraya malu-malu dan berwajah pias, kertas itu diambilnya juga dan ia keluar. Agak lama. Barangkali rasa malunya masih membekas. Sedangkan kami terus saja ngobrol dan sesekali terdengar tawa kecil. Bu guru senyum-senyum saja, tidak marah. Mungkin, maklum adanya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar