Layakkah kita ke surga hanya berbekal shalat? Sebagai tiang agama, shalat memang akan dihisab pertama seperti sering digemakan oleh ustadz dan kyai. Akibatnya, orang-orang berusaha shalat sebaik dan sebanyak mungkin. Tak hanya shalat wajib yang dilaksanakannya tapi juga shalat sunnah: Rawatib, Dhuha, Tahiyyatul Masjid, Syukur Wudhu, Tahajjud (Tarawih), sampai shalat Idulfitri dan Iduladha. Sesekali shalat gerhana matahari/bulan. Juga shalat Jenazah (atau shalat Ghaib jika mayit diragukan apakah sudah dishalatkan atau belum) dan Istisqa. Malah ada yang membuat shalat-shalat lainnya yang tak dicontohkan nabi.
Andaikata hanya shalat wajib yang dilaksanakannya, maka seseorang punya bekal shalat lima kali sehari. Seminggu menjadi 35 kali, sebulan 150 kali. Setahun mencapai 1.825 kali. Jika mulai shalat umur 10 tahun dan meninggal pada umur 70 tahun, jumlah shalatnya menjadi 109.500 kali. Ditambah dengan shalat sunnah, taruhlah jumlahnya menjadi 200.000 kali. Bayangkan sekarang, layakkah manusia ke surga hanya berbekal 200.000 kali shalat? Anggap saja semua shalatnya itu khusu’ dalam arti sempit, yaitu mengerti apa yang dibaca dan hati tertaut kepada Allah selama shalat. (Namun ini jarang terjadi; lebih banyak shalatnya disertai pikiran yang melayang ke sana-sini).
Namun, sekali lagi, anggaplah semua shalatnya khusu’. Layakkah manusia masuk surga hanya berbekal 200.000 kali shalat? Lantas, dengan bekalnya itu, layakkah dia kekal di surga yang penuh kesenangan? Seandainya masuk surga yang masif akan kenikmatan tak terkira dan tak mampu didekati apalagi disamai oleh kenikmatan dunia, apakah itu lantaran shalatnya yang hanya 200.000 kali? Padahal dia di surga bukan 200.000 hari, bukan 200.000 tahun, melainkan selama-lamanya. Di dunia 70 tahun, dan rutin shalat 60 tahun, lalu masuk surga dan kekal di sana hanya dengan 200.000 kali shalat? Betulkah itu lantaran shalat saja?
Aljabar shalat lainnya, anggaplah sekali shalat perlu waktu enam menit. Sehari 30 menit. Sebulan 900 menit. Setahun 10.950 menit. Jika umur-shalat 60 tahun (dengan asumsi selalu shalat, tak pernah mangkir) maka waktunya menjadi 657.000 menit. Ini setara dengan 10.950 jam atau 456 hari atau 1,25 tahun. Satu tahun tiga bulan! Dari 70 tahun usia biologis manusia, hanya satu tahun tiga bulan shalatnya. Sisa waktunya digunakan untuk tidur, sekolah dan bekerja. Ada juga untuk rekreasi, berdebat, berkelahi atau berperang. Juga untuk korupsi, manipulasi, menipu, berzina, pesta pora, diskotik, ajojing dan narkoba. Atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul berhura-hura dari siang sampai malam, dari malam sampai pagi lalu tidur sampai siang lagi.
Layakkah manusia ke surga hanya berbekal shalat? Bagaimana dengan kualitas shalat? Sebab, al Maa’uun berkisah, ada yang celaka walaupun shalat. Dia shalat tapi lalai. Dia shalat tapi riya’. Dia pamer shalat agar dikira saleh, demi dilihat orang dan bukan demi Allah. Dia lama berdzikir sambil kepalanya bergoyang-goyang agar disebut orang saleh. Ada juga yang shalat tapi kikirnya minta ampun. Dia enggan menolong dengan barang berguna. Jangankan menolong dengan barang berguna, pekikir malah tak rela menolong dengan barang yang baginya tak berharga. Lebih suka dia menggudangkan barang-barangnya sampai busuk-lapuk.
Maka, seseorang yang merasa dirinya rajin shalat, Tahajjud tiap malam, pagi-pagi shalat Dhuha, rutin Tahiyatul Masjid, dll jangan lantas merasa berhak ke surga jika belum maksimal dalam ibadah sosial. Al Maa’uun adalah penjabaran aljabar shalat. Al Maa’uun adalah penerapan shalat dalam ujud saleh sosial, menjadi insan komunal dan bukan personal yang lebih condong pada saleh ritual. Terlebih lagi porsi ritual dalam Qur’an, apalagi porsi shalat, jauh lebih sedikit jumlahnya daripada anjuran ibadah sosial. Wa Allahu ‘alam.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar