• L3
  • Email :
  • Search :

17 April 2006

Bakau-Karang, Solusi Perubahan Iklim

Bakau dan Terumbu Karang Solusi Perubahan Iklim

Membaca dampak buruk yang mungkin terjadi lantaran Global Warming, Penghangatan Global atau lebih dikenal dengan Pemanasan Global betul-betul mengkhawatirkan. Selain perubahan iklim yang menurunkan derajat kesehatan tubuh kita, juga bahaya badai, tornado, hujan asam, gempa dan bahkan tsunami. Semuanya boleh jadi terjadi, tak menutup kemungkinannya sama sekali. Tapi justru ini yang tak terbayangkan atau malah ditakacuhi oleh kebanyakan penduduk Bumi.

Mencari solusi perubahan iklim. Tugas siapa? Tak hendak saya menunjuk langsung batang hidungnya. Saya hanya ingin berkata bahwa Climate Change Solutions yang menjadi tema Hari Bumi 2006 ini akan tinggal nama saja jika tak ada tindakan nyata dari masyarakat dan pembuat kebijakan dan peraturan. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain, khususnya negara industri yang sering munafik dalam bela-ekologinya. Kebijakan pemerintah kita pun kerapkali timpang, misalnya kebijakan wilayah pesisir. Upaya pelestarian fungsi lingkungan pesisir belum terpadu karena tak mengindahkan komponen hutan bakau (ini istilah salah kaprah karena yang lebih tepat adalah hutan mangrove) yang notabene flora pantai. Ia diyakini mampu mengurangi efek buruk tsunami. Maka, andaikata pesisir Aceh kaya mangrove, niscaya kerusakannya akan lain.

Selain mangrove, peran besar pengatur iklim global adalah terumbu karang. Keduanya saling butuh dan saling tolong, bersimbiosis mutualisme. Habitat mangrove dan karang rata-rata hadir di sepanjang pantai tropis dan subtropis. Dan di Indonesia yang kaya akan flora jenis ini adalah pesisir Kalimantan, Maluku dan Kepulauan Seribu. Khusus karang, komunitasnya (lebih tepat adalah ekosistemnya) sangat produktif, kaya taksonomi yang oleh Darwin dibagi menjadi tiga, yaitu: barrier reef (karang benua), fringing reef (sepanjang pulau) dan atol (karang berwujud tapal kuda berdanau).

Pakar ekologi Eugene P. Odum menyatakan, karang dapat muncul ke permukaan laut karena aktivitas geologi, khususnya gunung api bawah laut. Kehidupannya berlapis, dengan teman setianya algae endozoik yang disebut zooxanthellae. Hubungan mesra itu terjadi pada bagian “kepala” atau zone polip. Hewan dari filum Coelenterata ini pun dapat dijadikan indikator kesuburan perairan. Ekskresi lendirnya menjadi pelindung dari pelumpuran dan penangkap nutrien. Maka, dari terumbu karanglah manusia dapat belajar konsep daur ulang, mampu membuat makanan di daerah yang langka sumber daya alam.

Tapi sayang, gugusan karang itu terancam musnah. Eksploitasinya berlebihan, pemboman, polusi dan tumpahan minyak dari kapal tanker menjadi causa prima kehancurannya. Perusak terparah adalah akibat garapan pengusaha karang dengan memanfaatkan nelayan miskin dan mengiming-imingi mereka agar mau menambang karang. Padahal pemulihannya perlu waktu puluhan tahun. Jika ekosistem karang ini lenyap maka akan berdampak PHK di sejumlah biro pariwisata sehingga menambah pengangguran. Juga akan muncul kerusakan beruntun karena satu mata rantai kehidupannya putus sehingga mengganggu produksi perikanan laut. Pada saat ini diduga hanya ada tujuh hingga sepuluh persen saja kondisi terumbu karang yang tergolong sangat baik dari total luas 60.000 km2.

Peduli bakau
Komunitas bakau dan terumbu karang saling mempengaruhi. Keduanya harus dipedulikan dalam kaitannya dengan ekosistem pesisir. Jika terumbu karang yang disusun oleh kalsium karbonat (CaCO3) dari hewan Coral dan Calcifying organisms itu rusak maka akan berdampak pula pada bakau. Jika bakau rusak, fotosintesis yang memanfaatkan karbondioksida di pesisir berkurang sehingga kelarutannya di air membesar. Hipotesis lembaga nasional Jepang NIRE (National Institute for Resources and Environment), 50% CO2 dari kegiatan manusia (antropogenik) dijerap (absorbsi; diserap = adsorbsi) oleh laut. Di satu sisi mereduksi CO2, di lain sisi ia menggerus karang. Dengan kata lain, peningkatan pemakaian BBM akan meningkatkan kerusakan terumbu karang.

Apalagi ada proyeksi bahwa kadar CO2 tahun 2065 nanti menjadi duakali dari kadarnya pada era pra-industri (tahun 1800). Menurut Joan Kleypas, penurunan kalsifikasi (pengapuran) sampai tahun 2100 sebesar 35% dan berdampak pada penurunan potensi tumbuh karang (Reef-Building Capacity) sehingga karang menjadi getas (fragile coral skeleton), terjadi reduksi pertumbuhan dan peningkatan laju erosinya. Muaranya adalah kehancuran terumbu karang dan pemanasan global. Bumi makin panas.

Itulah peran sentral kawasan mangrove (the coastal green belt) yang pada dekade 1980-an luasnya di Indonesia 4,25 juta ha. Kini taksiran optimisnya 3 juta ha sedangkan pesimisnya 2,5 juta ha. Itu terjadi akibat diserbu kepentingan komersial, pertambangan, tambak, pertanian dan permukiman baru. Selain itu fungsinya ialah filter pencemar, pencegah intrusi, penangkal erosi, sumber plasma nutfah dan habitat flora fauna. Floranya terdiri atas perdu, pohon, rerumputan, tumbuhan menjalar, merambat, jenis paku-pakuan dan tumbuhan epifit lainnya. Beragam jenis burung bersarang di hutan mangrove termasuk primata, reptil, amfibi dan serangga.

Hutan mangrove perlu direhabilitasi agar berperan ekonomis dan menyumbang jasa lingkungan. Rehabilitasi berarti melawan perusaknya, sering pula harus melawan aparat yang khianat atas amanat sebagai pamong praja. Begitulah, upaya penegakan hukum lingkungan memang berat, penuh onak-duri, dan tantangan. Ambillah contoh tradisi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang nyata tapi semu (virtual reality), fiktif dan sekadar profit and power sharing. Hambatan primernya bukan pada ketersediaan pakar lingkungan, tapi lebih condong pada praktik KKN. Upaya itu juga bukan pada kecilnya gaji tapi pada pembangunan moral pegawainya. Sebagai renungan akhir, mari simak ungkapan E.F. Schumacher : krisis lingkungan bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tapi hasil dari moral dan life-style manusia.

Tampaklah betapa mangrove memberikan kontribusi pada kawasan pantai, menahan pemanasan global (climate change), dan pelindung terumbu karang. Sikap bersahabat dengannya dapat mengurangi bencana. Kekacauan (chaos) selama ini terjadi karena tak ada political will untuk environmental law enforcement dari semua pihak, baik itu pemerintah, anggota dewan, aparat, dan juga para konsultannya. Pendeknya, kembali pada moral manusianya.

Semoga manusia tak lebih buas daripada binatang terbuas. Janganlah berubah dari the best menjadi the beast. The beast mentality.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar