• L3
  • Email :
  • Search :

28 April 2006

BBM Dibatasi Untuk Publik?!!!

Kemarin, 27 April 2006, ada berita bahwa pemerintah akan membatasi penggunaan BBM untuk publik. Ini dilakukan karena lonjakan harga BBM yang begitu luar biasa dan pemerintah tak mampu menambah subsidinya. Mendengar ini saya langsung termangu dan menerawang ke masa lalu, masa ketika kita sebagai negara pengekspor minyak. Kita jaya di dalam OPEC. Itu dulu! Tapi kini, saya kira lebih tepat kita sebagai anggota OPIC (Importir, ini kalau ada organisasinya).

Bicara hemat energi, ini adalah kali kedua dalam tempo satu tahun pemerintah mencangkan hemat energi yang lebih diarahkan pada publik. Sebelumnya pemerintah sudah membatasi penggunaan listrik. Hanya saja, semuanya terkesan asal-asalan karena sekarang tak berbekas lagi. Di sejumlah kantor pemerintah dan PJU (penerangan jalan umum) saya lihat bolam dan neonnya terus saja menyala pada siang hari. Siang malam menyala. Yang bayar bukan mereka, tapi rakyat. Karena merasa itu adalah duit rakyat maka mereka akhirnya tak peduli.

Kali ini saya tak hendak mengupas lips service amtenaar-aparat kita itu. Tulisan berikut ini hanya bicara soal energi alternatif yang sedang dikembangkan dan terus diteliti di luar negeri, di negeri jiran Thailand. Di Indonesia sudah ada beberapa yang memulainya tapi tak terdengar gaungnya.

BBMK
Kitti Maneesrikul, bukanlah seorang periset ataupun pengusaha. Ia hanyalah petani di Samut Songkram, Thailand. Namun demikian, darinyalah terkuak peluang energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM. Kitti, tinggal 75 km arah Selatan Bangkok, mengklaim bahan bakarnya tidak banyak menghasilkan CO2 (tentu ini perlu dibuktikan), salah satu gas rumah kaca (greenhouse gas) yang dapat menghalangi refleksi sinar surya yang dipantulkan bumi ke angkasa sehingga temperatur atmosfer meningkat. (Silakan baca serial tulisan Hari Bumi: Climate Change Solutions di blog ini).

Temuannya berawal dari harga kelapa di daerahnya yang sangat murah karena produksinya melimpah sehingga hanya tersisa 10% dari harga normal. Nyaris tak berharga sama sekali. Namun karena petani yang juga guru SD ini tahu bahwa semua bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan, mulailah idenya menjalar-jalar. Selain itu, juga tak lepas dari harga solar yang mahal untuk pengisi tangki mobilnya. Kebun kelapaku banyak, katanya dalam hati, apa yang bisa kulakukan? Begitulah pertanyaan yang sering berseliweran di kepalanya.

Di kebun sebelah rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon kelapa itulah ia lantas melaksanakan eksperimen kecil-kecilan, coba-coba, trial and error. Dari minyak kelapa bekas yang disaring (filtrasi), diperoleh filtrat yang dicampurnya dengan minyak tanah dan sejumlah zat aditif lainnya dengan rasio 1:20 untuk memberikan ekstra “kick’. Menurut Kitti, tak hanya minyak bekas yang bisa digunakan tapi juga minyak kelapa murni yang belum digunakan menggoreng. Tentu saja minyak bekas yang biasanya dibuang ke sungai lebih murah harganya sekaligus mengurangi pencemaran sungai.

Akhirnya, jadilah bahan bakar alternatif bagi mesin truknya, selain untuk mesin pabrik dengan penghematan 30% daripada minyak diesel. Sekarang bahan bakar masa depan yang terbarui ini juga digunakan oleh tetangganya untuk mesin-mesin tambak udang. Sudah dicoba pula untuk mesin traktor pertanian dan perahu nelayan setempat. Bahkan beberapa ferry menggunakannya untuk penyeberangan ke pulau Koh Samui, tempat berlibur di Thailand Selatan. Mereka, para pemilik jasa penyeberangan yang mengoperasikan tiga boat bisa menghemat 440.000 baht atau sekitar USD 10.000 sebulan. Sedangkan Kitti bisa mengirit 5.000 baht, sekitar USD 115 sebulan. Dengan semangat, produksinya saat ini mencapai 300 l seminggu, disimpan di drum di halaman rumahnya.

Berkat temuannya itu, tak pelak lagi, pujian pun datang dari pencinta lingkungan, dari kelompok Greenpeace regional Asia Tenggara. Walau demikian, ada juga yang masih ragu, takut kalau mesin kendarannya rusak (blow up). Karenanya, pemerintah Thailand dalam hal ini National Energy Policy Office, masih melanjutkan riset BBMK ini dengan kajian sisi kelayakan ekonomi, kualitas dan keamanan mesin-mesin kendaraan. Wajar saja pemerintah Thailand bersemangat karena tak kurang dari satu milyar butir kelapa dihasilkannya dalam setahun.

Bagaimana di Indonesia? Sama dengan Thailand, kita punya jutaan pohon kelapa yang bahkan gugusan pulaunya disebut nusa nyiur melambai, Rayuan Pulau Kelapa. Tinggal sekarang kemauan pemerintah untuk mendanai riset di sektor ini agar ada inovasi teknologi produksi BBMK yang optimal dari sisi kualitas dan tak kalah dengan BBM yang sebentar lagi akan habis karena tak terbarui. Namun begitu, yang juga patut dicari dan dikembangkan adalah energi alternatif (opsi) selain BBMK.

Opsi selain BBMK
Arah pengembangan energi alternatif adalah mensubstitusi energi konvensional saat ini, yakni BBM dan bahan bakar fosil (BBF) lainnya seperti batubara dengan mencari dan meningkatkan pemanfaatan energi alternatif yang murah, ramah lingkungan (environmental friendly). Beberapa di antaranya adalah etanol, telah digunakan di Swedia, Brazil, Australia, Kanada, Mexico atau minyak kelapa sawit (palm oil) yang sedang dikembangkan di Malaysia. Selain itu, ada juga sumber energi murah dan ramah lingkungan lainnya seperti energi air alias batubara putih, energi surya, angin, pasang surut atau gelombang dan biogas.

Energi air misalnya, termasuk energi bersih, tidak mencemari udara dan tidak mengandung zat radioaktif seperti halnya energi nuklir. Energi angin pun demikian. Ia bisa digunakan untuk memutar kincir seperti di negara Kincir Angin, Belanda dan menghasilkan listrik. Selanjutnya adalah energi pasang surut karena laut kita sangat luas yang gelombangnya tinggi bertubi-tubi. Yang juga potensial dan telah banyak diterapkan adalah energi surya yang melimpah di katulistiwa sepanjang tahun.

Terakhir adalah energi tertua yang dikenal manusia, yaitu energi biomassa. Tapi kendalanya bukan hanya vegetasi hutan yang menipis dan sangat diperlukan untuk konservasi air, juga potensinya mencemari lingkungan, degradasi lahan, flora dan fauna. Sebab itulah yang patut dikembangkan adalah energi biomassa dari IPAL anaerob berupa metana atau biogas dan juga dari sanitary landfill di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Setiap 1000 kg zat organik berupa COD ekivalen dengan 12 juta BTU (british thermal unit) sebagai metana, dan 10.000 BTU sekitar 1 KWH energi listrik.

Tantangannya sekarang: bagaimana menjinakkan energi biogas itu agar dapat digunakan dengan aman dan nyaman, comfortable. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar