• L3
  • Email :
  • Search :

10 April 2006

Ingin Menulis? Mulailah Dari Peta-Pikiran

Ingin Menulis? Mulailah dari Peta Pikiran
Oleh Gede H. Cahyana


Seseorang berkata bahwa ia sulit sekali menulis, syahdan menuliskan pengalaman hidupnya yang paling membahagiakan hatinya. Setelah tiga-empat kalimat langsung saja macet dan tak bisa bergerak. Diam. Begitu berkali-kali sampai-sampai dia kesal dan menggerutui dirinya, bahkan “mengutuki” dirinya sebagai orang bodoh yang tak berguna.

“Wah, gawat juga nih!” gumam saya. Lalu saya katakan bahwa semua orang sudah dibekali potensi menulis. Apalagi kalau sudah pernah duduk dan bahkan tamat Aliyah, SMK, SMA. Apatah lagi yang sempat kuliah atau sudah sarjana, pasti akan lebih mudah untuk menulis. Sebab, ada orang yang tak pernah kuliah, atau jangankan kuliah, mengenyam bangku SMA (SMK) saja tak pernah, tapi mampu menulis. Sejumlah kyai di Jawa Timur, setahu saya beliau-beliau itu tidak sekolah seperti yang kita alami sekarang, malah terkenal sebagai esais, prosais, atau artikelis.

Lalu mengapa kesulitan itu mesti hinggap pada orang-orang yang terdidik apik dan dilengkapi sarana yang bagus? Selain rekan tersebut, adakah hal serupa terjadi juga pada orang lain? Di sini tentu tak pada tempatnya saya menilai orang lain. Di sini lebih baik saya bertutur soal diri saya dan orang-orang yang ada di sekitar saya. Hanya tuturan pengalaman saya saja yang saya ceritakan di sini, terutama interaksi saya dengan mahasiswa yang juga menemukan kesulitan ketika disuruh membuat tulisan singkat. Padahal tulisan itu tinggal diadaptasi dari buku-ajar atau dari jurnal ilmiah (populer) yang tersedia di perpustakaan.

Perihal interaksi itu, sering juga saya sedih karena sejumlah mahasiswa belum mampu membuat proposal dan menulis skripsinya, padahal selangkah lagi dia sudah berhak bergelar sarjana. Malah ada yang menyerah sebelum bertanding, tak jadi mengerjakan skripsinya atau lambat memulainya. Kebanyakan memang lambat memulainya atau lambat panas sehingga lambat juga penuntasannya. Namun di balik itu saya juga gembira sebab mereka akhirnya mampu juga menamatkan kuliahnya setelah bergumul hebat melawan dirinya. Sekali lagi, melawan dirinya. Inilah yang sesungguhnya terjadi: Melawan diri!

Mulailah dari Peta-Pikiran
Bagaimana caranya melawan diri itu? Perang! Perang adalah caranya. Perang melawan diri, melawan kejumudan berpikir atau terkungkung dalam pola pikir yang telah tertanam kuat sejak di bangku SD, SMP, SMA. Sejak kecil kita dididik untuk mengelola otak kiri, otak yang berpikir logis matematis sehingga melupakan peran otak kanan. Otak kanan inilah yang justru berperan dalam kreativitas tata-tulis, dan banyak lagi segmen kreativitas lainnya.

Berbekal pola pikir otak kanan itulah, Tony Buzan, penulis buku Use Both Sides of Your Brain, mengembangkan prinsip Peta-Pikiran. Lebih lanjut lagi, ide Buzan itu diperluas oleh Joyce Wycoff lewat bukunya: Mindmapping. Di kalangan dosen dan mahasiswa IKIP, FKIP atau Universitas Pendidikan, pola ini sudah pula mereka pelajari dan bahkan telah dilaksanakan diseminasi di sejumlah perguruan tinggi lewat Kopertis. Setahu saya, ada penataran yang diterima dosen PTS, yaitu Applied Approach dan Proses Belajar-Mengajar (PBM) yang di dalamnya ada materi ini. (Intermezzo. Hanya saja, yang saya alami, kebanyakan narasumbernya hanya berkutat di ranah teoretis, tidak banyak masuk ke ranah implementatif. Banyak di antara narasumbernya tidak menulis artikel atau apapun namanya, tetapi hanya memberikan presentasi sebatas teori di atas kertas. Artinya, banyak penataran, pelatihan atau apapun namanya, tidak berhasil menyentuh materi yang siginifikan bagi dunia kependidikan khususnya tata-tulis. Maaf, ini juga swakritik bagi saya!)

Mari kembali ke topik kita. Adakah saya mengalami keterkuncian otak ketika menulis? Saya sering mengalaminya. Kerapkali. Tetapi saya berusaha berontak melawannya. Bagaimana caranya? Saya kembali pada resep dari Buzan dan Wycoff di atas. Dari situlah saya menapak lagi, sedikit-demi sedikit, sambil mengedit tulisan sebelumnya. Butuh waktu memang, tapi tak apa-apa. Semuanya perlu waktu. Belajar pun perlu waktu. Membaca alfabet atau huruf hijaiyah saja butuh waktu. Apalagi belajar menulis artikel, ilmiah populer, ilmiah, dan karya tulis lainnya. Wajiblah kita bersahabat, berdamai dengan masa.

Resep tersebut berprinsip pada berpikir acak, nonlinier dan bebas. Dinamai juga berpikir lateral, berpikir menyamping melewati poros utama yang disebut ide. Secara sederhana, Peta-Pikiran mirip dengan sistem distribusi air minum PDAM yang berpola Dead-End (bukan yang berpola Loop). Dalam sistem distribusi jenis ini, ide utama adalah pipa induknya (main pipe). Dari pipa induk ini lantas dipasang banyak pipa cabang dengan diameter lebih kecil. Sepanjang pipa cabang ini pun kemudian dikoneksikan lagi pipa-pipa kecil yang disebut pipa lateral. Selanjutnya dari pipa lateral itu dipasang lagi pipa yang lebih kecil, disebut pipa servis dan akhirnya dipasang pipa persil menuju rumah pelanggan.

Tampak betapa Peta-Pikiran mirip jaringan pipa distribusi PDAM (Dead-End Pattern) yang semrawut lantaran banyak cabangnya. Tapi tak apa-apa. Tak ada yang salah dalam pola pikir ini dan semuanya boleh dimulai dari mana saja yang kita mau atau dari mana saja pikiran kita muncul. Yang penting: tulis dan tulis, lalu berpikir lagi dan tulis lagi. Keberanian menuliskan apa saja yang terlintas di otak dan tanpa-ragu-takut-salah adalah resep manjur, bahkan menjadi the elixir of life. Bebaskan pikiran dari rasa takut. Tak ada yang salah dalam Peta-Pikiran, demikian tegas Wycoff.

Lalu praktiknya bagaimana? Cobalah tulis ide utama di tengah-tengah kertas lalu lingkari atau kotaki atau berilah bentuk grafis lainnya seenak kita. Dari pusat ide ini lantas dibuat kata atau frase yang ditautkan ke ide utama itu. Tuliskan saja semua yang ada dalam benak kita, karena inilah kunci utama Peta-Pikiran, lalu hubungkan dengan garis ke pusat ide tadi. Begitu seterusnya. Tak ada batas akhir sampai di mana suatu pohon pikiran ini berhenti. Tak ada kata atau frase akhir sampai di mana “pipa” itu berakhir. Kenyataannya, pipa PDAM memang berakhir di rumah pelanggan. 

Tapi tidak demikian dengan Pipa-Peta-Pikiran. Ia tanpa akhir! Ia bisa terus berkembang seluas-luasnya, setinggi-tingginya. Batasnya adalah kreativitas pikiran kita. Atau, batasnya adalah ketika kita sudah menemukan sesuatu yang akan kita tulis dan kita berteriak dalam bisikan bahwa “inilah yang saya cari” atau “inilah yang saya inginkan”. Ketika kita sudah sampai pada frase “bisikan” tersebut berarti kita sudah siap menuliskannya. Dari “pipa servis” atau bahkan “pipa persil” inilah kita akan menyusun kalimat demi kalimat sehingga terangkai menjadi jalinan cerita yang unik. Murni 100% karya kita! Bolehkah kita menuliskannya dari “pipa lateral” atau “pipa cabang?” Tentu saja boleh. Dari “pipa induk” pun atau dari ide utama pun boleh. Bebas dan bebas!

Pamungkas, mari berpikir merdeka lewat “pipa-pipa” dalam Peta-Pikiran. Mari berlayar di tengah alam pikiran, mengalir di dalam pipa pikiran, melepaskan kekangan yang mengungkung pikiran. Bebaslah sebebas burung terbang, perkasalah seperkasa ombak lautan.

Dicoba, mari dicoba.*

3 komentar:

  1. thanks bgt utk tulisannya... teknik yg harus dicoba.

    saya selalu buntu sewaktu akan menulis. teknik yg terpikirkan adalah merekam ide2 yg tiba2 muncul pada tape recorder mini yg selalu ada disamping, apapun itu, walau dalam bentuk potongan2 terpisah. lalu rekaman itu ditulis di msword, untuk kemudian di edit dan disusun kembali sesuai alurnya....

    tapi masalahnya saya belum punya tape recorder-nya... hiks... hiks..

    BalasHapus
  2. Tape... itu kan relatif murah. Saya suka "tape" singkong (peuyeum kata orang di tatar Sunda).

    Tapi untuk tape yang satu ini, yaitu tape recorder... ya ada juga kok yang relatif murah. Semua memang perlu biaya. Untuk bisa menulis, kalau memang harus membeli tape recorder ya... cobalah dibeli..

    Demikian dan salam.

    BalasHapus
  3. Terimakasih atas ilmu yang bapak berikan, saya mungkin seorang yang baru mengenal bapak, tapi dari ilmu yang bapak berikan disini menjadikan saya tergugah untuk terus mencoba hal-hal yang nampaknya belum terbiasa bagi saya sendiri. Semoga sehat selalu dan semoga ilmunya bisa mengalir.

    BalasHapus