• L3
  • Email :
  • Search :

2 April 2006

TPA Sampah Superdarurat?

Tutup sudah TPA Jelekong. Putus sudah aliran armada sampah ke sana. Tak ada lagi konvoi dumptruck. Malah banyak yang diam santai di tepi jalan, semisal di Simpang Dago, dekat Kebun Binatang, di jalan Bengawan dan di sebelahnya ada onggokan bukit sampah menunggu diangkut. Sampah diam, dumptrucknya juga diam. Sama-sama diam. Yang bergerak, barangkali, adalah orang-orangnya. Orang-orang di PD Kebersihan yang megap-megap dan jantungnya berdebar-debar. Mereka tak bisa berbuat selain menanti keputusan walikota yang sekian waktu lalu telah menggembar-gemborkan sejumlah opsi TPA. Tapi akhirnya, pemkot kembali lagi ke TPA lama, ke Cicabe dan Pasirimpun. Inilah yang disebut pemkot sebagai “superdarurat”. Dalam musibah banjir, longsor dll ada istilah “tanggap darurat”. Ini masuk akal. Yang tidak masuk akal adalah “superdarurat”. Amat sangat daruratkah?

Sampai artikel ini ditulis, belum juga ada solusi yang dijanjikan itu. Pemerintah berjanji ada solusi tahun 2006 ini. Sekarang masih awal Januari 2006. Jadi masih ada 11 bulan ke depan untuk menyelesaikan sampah Bandung? Begitukah yang dimaksud pemerintah? Pernah berkembang berita bahwa TPA Babakan seluas 10,2 hektar di Kecamatan Arjasari yang akan dipilih. Tapi belum jelas juga. Serba tak pasti. Akibatnya, sampah yang terus timbul dari kegiatan sehari-hari terus menumpuk di TPS dan bak sampah. Bau busuk mulai tertebar dan lalat, tikus kian banyak. Setiap keluarga sudah mulai lagi memilah-milah sampahnya, mana yang organik dan mana anorganik. Yang organik dikuburkan agar tak dikerubungi lalat. Yang anorganik dikumpulkan lalu diberikan kepada pemulung.

Selain Babakan, muncul pula rencana pengalihan sampah ke Citatah, 29 km dari Bandung. Namun setali tiga uang, sama saja dengan rencana lainnya, belum ada lampu hijau dari pemerintah kota untuk memakai lahan di kawasan bukit kapur itu. Muncul kabar bahwa warga Citatah menolak rencana tersebut. Lalu di mana sampah Bandung mesti diletakkan? Andaikata Citatah jadi sebagai TPA, suatu saat kelak TPA itu pun bakal penuh. Jika demikian terus-menerus ke mana sampah harus dibuang sepuluh atau dua puluh tahun mendatang? Jika orang tak peduli lagi pada volume sampahnya yang terus membesar terlebih lagi pemerintah tak bisa mencarikan solusinya, yakinlah kita akan hidup di dalam kubangan sampah. Bau seantero kota akan serupa dengan bau pasar yang pengap dan kotor lalu mengurangi selera makan. Lalat terbang lalu-lalang bebas hinggap di bahan baku makanan dan jajanan pasar. Bahkan mungkin sampai juga ke rumah penduduk yang relatif jauh dari pasar atau jauh dari TPA/TPS.

Selain itu, kalau Citatah terpilih menjadi TPA maka masyarakat di sepanjang jalan utama menuju Cianjur akan diakrabi oleh truk-truk sampah. Selain debu kapur dan residu pembakaran kapur yang sudah biasa memenuhi udara daerah tersebut nanti akan dipenuhi pula oleh aroma asam busuk dari konvoi truk sampah. Intensitas kecelakaan pun bisa naik tajam lantaran orang berusaha menghindar atau menjauh dari truk sampah yang lewat. Sedikit banyak bisa mengurangi konsentrasi sopir dalam berkendara. Sudah itu, jalannya berkelak-kelok naik-turun dan sempit. Di kiri atau kanan jalan jurang menganga siap menampung kendaraan yang terperosok. Orang terus dihantui ketakutan akan celaka sehingga tak tenang lagi beraktivitas sehari-hari di jalan itu. Kinerja menurun dan produktivitas merosot. Malah pada Hari Ibu lalu sudah terjadi tabrakan yang menewaskan dua orang di tol Padalenyi antara truk sampah dan truk lainnya. Tepatkah Citatah dijadikan TPA jika demikian dampaknya?

Opsi Lokasi
Tak mudah memang menetapkan mana lokasi TPA yang tepat untuk suatu kota. Jangankan memilih lokasi TPA, untuk memilih lokasi terminal saja tidak mudah. Masyarakat lewat berbagai ormasnya selalu bereaksi, baik lantaran alasan ekonomi maupun politis. Kedua muatan itu selalu berpadu, sulit dipisahkan. Pemilihan TPA juga begitu, sulit dan terjadi pro-kontra antarwarga yang lahannya dijadikan opsi TPA. Apalagi pemilihan TPA sangat-sangat kompleks, jauh lebih kompleks daripada perhitungan teknis desain di atas kertas. Para desainer bisa dengan mudah menghitung luas lahan dan berapa lama waktu hidup (lifetime) TPA. Estimasi debit lindi juga bisa dihitung asalkan data geohidrologinya tersedia dan absah/valid. Jumlah rate per hari pun bisa dihitung relatif akurat. Namun masalahnya lebih condong pada aspek sosial bukan lagi sekadar kalkulasi teknis matematis.

Sampah bagi orang-orang, secara psikologis, adalah benda tak berharga, terlepas dari banyak orang menjadi kaya lantaran sampah. Koordinator pemulung malah bisa menjadi juragan sampah yang pulang-pergi ibadah haji setiap tahun. “Kantornya” memang berantakan dan kotor tapi omzetnya puluhan juta sehari. Bisa diyakini, “pengusaha sampah” juga tak suka pada bau busuk sampah organik. Lebih gembira dia pada sampah anorganik yang bisa “disulap” menjadi uang. Jika ditanya apakah “pengusaha sampah” lebih suka TPA-nya jauh dari tokonya ataukah dekat, pastilah dia menjawab makin jauh makin baik. Sebab, dia lebih banyak mengandalkan sampah anorganik yang belum sempat dikirim ke TPA. Dia banyak menampung sampah yang sudah dipilah pemulung. Bisa diduga, dia akan sedih kalau semua sampahnya dibawa ke TPA yang jauh sehingga tak ada lagi yang disetorkan pemulung kepadanya. Artinya, orang yang berbisnis sampah pun tak selalu suka pada sampah yang tak bernilai ekonomi baginya.

Itu tadi pendapat “pengusaha sampah”. Bagaimana pendapat masyarakat? Umumnya masyarakat satu kata dalam masalah sampah, yaitu buang sejauh-jauhnya. Apalagi bagi yang bekerja di kantor nyaman ber-AC setiap hari, sampah sudah seperti musuhnya, harus disingkirkan. Dengan entengnya pegawai kantor meremas kertas lalu melemparkannya ke bak sampah. Bayangkan kalau setiap kantor membuang satu kilogram sampah kertas sehari, berapa ton yang tertampung dalam sehari? Sampah pasar apalagi, jauh lebih banyak dan lebih cepat busuk. Jika semua orang tak hendak dekat dengan sampah, di mana di Bandung ini orang harus membuang sampah? Nyaris semua jengkal tanah Bandung telah dihuni dan semua orang di daerah yang dekat dengan rencana TPA pasti menolak. Masyarakat tak suka sampah dekat-dekat dengan rumahnya. Jangankan sampah kiriman dari daerah lain, sampah dari rumahnya pun tak ingin lama-lama dilihatnya. Dia ingin sampahnya cepat enyah dari rumah. Jika semua orang di semua daerah menolak lahan di dekatnya dijadikan TPA, lalu ke mana sampah itu mesti dibuang?

Karena mau tak mau TPA itu mesti ada dan harus segera, carilah tempat di luar kota sekitar Bandung yang rendah harga lahannya, buruk akses ekonominya, dan layak kondisi geohidrologinya. Pemerintah daerah pasti punya data perihal lokasi di atas sehingga tak ada alasan berlama-lama, tidak gesit, tak sigap, tak cekatan. Bersamaan dengan itu, sediakan uang yang asalnya dari pajak dan retribusi itu untuk relokasi warga di sekitar lahan. Mahal? Tentu saja mahal, tapi akan menjadi murah dalam kalkulasi belasan tahun. Yang penting, jangan ada pihak pemerintah dan rekanannya yang memanfaatkan projek tersebut demi kepentingan kantong pribadi dan kawan-kawannya. Jika betul demikian, sebetulnya tak sulit mencari lokasi TPA dari sudut pandang sosiologi. Adapun kalkulasi matematis bisa mengikuti karena segala bentuk teknologi proteksi atas bau, gas, dan lindi telah pula berkembang. Jika betul operasi-rawatnya, bukan tak mungkin TPA itu menghasilkan biogas yang potensial untuk penerangan di sekitar TPA asalkan sudah diplot sejak aal operasinya. Minimal dapat menghemat BBM sekaligus lindinya tak mencemari air tanah.

Betulkah semudah itu? Bisa dijawab, ya, daripada berlama-lama pusing tak tentu arah. Sementara itu dari detik ke detik sampah terus menumpuk di seantero kota. Ini jauh lebih merugikan warga sebab potensial menebar penyakit lewat air, udara, dan sampah. Buanglah pola pikir biar lambat asal selamat lalu ganti dengan biar cepat asal selamat. Selamat berpacu dalam waktu, berlomba dengan bukit-gunung sampah. Semoga menang. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar