• L3
  • Email :
  • Search :

23 April 2009

Cikarang Memiliki Oxidation Ditch Terluas di ASEAN




Cikarang Memiliki Oxidation Ditch Terluas di ASEAN
Oleh Gede H. Cahyana

Bekasi, terutama Cikarang adalah daerah yang memang sudah diplot untuk kawasan industri sejak awal 1990-an. Pesatnya pertumbuhan industri ini otomatis memperbanyak air limbah yang ditimbulkannya sehingga memerlukan instalasi pengolahan. Satu di antara instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang dibuat dan merupakan IPAL terbesar atau terluas di ASEAN adalah oxidation ditch milik Kawasan Industri Jababeka. Hampir dua tahun penulis ikut menjadi konsultan perencana dan supervisi pembangunan IPAL ini. Dalam proses desain dan pembangunannya, penulis dan team mempelajari oxidation ditch dan menggunakan produk buatan Passavant Werke, Jerman. 

Kalau diretas sejarahnya, seratus tahun terakhir ini, pengolahan air limbah yang banyak diterapkan, baik untuk air limbah domestik maupun air limbah industri, termasuk air limbah rumah sakit, apalagi air limbah yang kaya warna seperti tekstil, adalah activated sludge. Meskipun relatif lebih mahal biaya investasi dan operasi-rawatnya, namun activated sludge lebih banyak dibuat daripada proses pengolahan air limbah secara anaerob. Sebabnya adalah kemudahan dalam “beternak” bakteri aerob dibandingkan dengan bakteri anaerob yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti temperatur, pH, materi toksik dalam air limbah, variasi beban organik dan hidrolis, dll. Selain itu, variasi activated sludge juga sangat banyak, mencapai belasan varian sehingga banyak pula peluang untuk memilihnya. Salah satunya adalah oxidation ditch.

Secara etimologis, frase tersebut berasal dari dua kata dasar, yaitu oxide dan ditch. Oxide berkaitan dengan oksigen dan ditch berarti saluran, selokan, parit, kanal. Menurut istilah, oxidation ditch adalah bak berbentuk parit yang digunakan untuk mengolah air limbah dengan memanfaatkan oksigen (kondisi aerob). Namun istilah ini sering disalahartikan atau dipertukarkan dengan istilah oxidation pond yang merupakan kolam oksidasi atau sering juga disebut stabilization pond. Di unit ini oksigen yang diperoleh bakteri berlangsung secara alami tanpa bantuan alat mekanis semacam aerator sehingga di bagian bawahnya terjadi kondisi anaerob. Kondisi septic ini tidak terjadi pada ditch yang bekerja optimal. Begitu pula, di dalam ditch terjadi pengadukan yang nyaris sempurna (complete mixing), jauh lebih teraduk daripada pond, terutama di sekitar rotornya. Rotor inilah yang mendukung pengadukan, sirkulasi, aerasi dan oksidasi air limbah dan merupakan modifikasi Kessener brush aerator (jenis aerator yang dipasang memanjang di pinggir saluran).

Rotor itu pun menentukan kapasitas oksigenasi khususnya yang berkenaan dengan bentuk, ukuran, dan kedalaman celupan (depth of immersion). Kedalaman celupan ini ada nilai optimumnya, tidak boleh kurang atau lebih karena kapasitas transfer oksigennya akan menurun dan nilainya ditentukan oleh kedalaman kritisnya (critical depth). Begitu pula, makin cepat putaran rotornya, makin banyak oksigen yang masuk ke dalam air limbah. Agar tidak terjadi endapan, kecepatan minimum yang diharapkan antara 0,25 s.d 0,3 m/d. Dengan kecepatan ini, partikel dan bioflok berada dalam kondisi tersuspensi. Dalam praktiknya, jumlah rotor ikut mempengaruhi kecepatan yang dihasilkan. Makin banyak rotor, makin banyak juga oksigen yang ditransfer ke dalam massa air limbah dan bioflok tetapi makin mahal biaya investasi dan perawatannya. Umumnya, konsentrasi oksigen sangat tinggi di sekitar rotor. Air limbah yang baru saja melewati rotor kaya akan oksigen dan sebaliknya, miskin oksigen ketika kembali ke rotor setelah berkeliling sepanjang parit oksidasi. Hal ini berlaku untuk parit oksidasi yang hanya memiliki satu rotor. Jumlah unit rotor yang dipasang dipengaruhi oleh taraf pencemaran air limbah dan debitnya.

Konstruksi dan Operasi
Parit oksidasi berbentuk lingkaran, oval atau ellips dengan beberapa variasi pada salah satu ujungnya. Air limbah yang diolah di unit ini harus diskrin dulu dengan coarse screen dan dikominusi dengan comminutor agar ranting dan sampah menjadi berukuran kecil dan dapat disisihkan. Setelah itu air limbah dialirkan ke dalam grit chamber untuk menyisihkan pasirnya. Tahap selanjutnya adalah primary settling tank yang berfungsi mengendapkan partikel yang lolos dari grit chamber. Efluen settling tank ini selanjutnya masuk ke parit oksidasi. Pada setiap unitnya, air limbah selalu mengalami pengenceran (dilusi) otomatis ketika kembali mengalir melewati bagian inlet. Faktor dilusi ini bisa mencapai nilai 20 s.d 30 sehingga nyaris teraduk sempurna meskipun bentuk baknya mendukung aliran plug flow, yakni hanya teraduk pada arah radial saja dengan aliran yang searah (unidirectional). Influennya serta merta bercampur dengan air limbah yang sudah dioksigenasi dan mengalami fase kekurangan oksigen. Pengulangan ini berlangsung terus-menerus selama pengoperasian parit oksidasi.

Bahan parit bisa berupa pasangan batu kali, batu-bata, atau beton. Pilihan bahan bergantung pada besar kecilnya debit yang diolah dan kondisi air tanah setempat serta jauh-dekatnya dengan permukiman. Pada instalasi yang besar, parit oksidasi selalu dilengkapi dengan secondary settling tank yang difungsikan untuk mengendapkan bioflok dan air limbahnya dialirkan secara kontinyu. Untuk menambah efisiensi pengolahannya, dilengkapi juga dengan fasilitas resirkulasi lumpur (returned sludge). Berbagai macam cara dapat diterapkan untuk mengembalikan lumpur endapan di secondary settling tank ini. Yang biasa dilakukan adalah dengan memasang pompa lumpur ulir (screw pump). Endapan lumpur (sludge) dialirkan secara hidrolis ke bak penampung lumpur. Karena secara hidrolis maka elevasi alas bak screw pump berada di bawah taraf muka air di secondary settling tank. Resirkulasi ini berlangsung kontinyu 24 jam sehari. Untuk mengatur konsentrasi lumpur yang masuk ke dalam parit oksidasi maka di unit penampung lumpur ini dilengkapi juga dengan kanal untuk membuang kelebihan lumpur (excess sludge) yang dialirkan ke unit pengering lumpur (sludge drying bed).

Modus kedua pengoperasian parit oksidasi adalah secara berkala. Parit oksidasi ini tidak dilengkapi dengan secondary settling tank. Bioflok dibiarkan mengendap di dalam parit sampai endapannya terkumpul cukup banyak di lantai parit dalam tempo tertentu. Di sini parit difungsikan juga sebagai sedimentor. Setelah mayoritas biofloknya mengendap maka air olahannya dialirkan ke outlet, lalu dibuang ke saluran atau sungai sedangkan sludge-nya dipompakan ke bak pengering lumpur. Tentu saja tidak semua lumpurnya disedot dan dikeringkan tetapi ada porsi tertentu yang disisakan untuk starter pada periode pengolahan air limbah selanjutnya. Modus operasi seperti ini mengingatkan kita pada pola operasi sequencing batch reactor yang hanya diterapkan untuk kapasitas kecil, biasanya untuk pabrik kecil atau pabrik besar dengan kuantitas air limbah sedikit. Agar pertumbuhan bakterinya optimum, sebaiknya air limbah pabrik (terutama pabrik yang air limbahnya sedikit mengandung zat organik) digabung dengan air limbah domestik dari kamar mandi dan kloset, juga dicampur dengan air limbah dapur asalkan di bagian awalnya dilengkapi dengan penangkap lemak (grease trap).

Pada instalasi besar, bentuk penampang melintang parit berupa trapezium. Bentuk segiempat juga bisa tetapi hanya untuk IPAL berkapasitas kecil. Kedalaman parit antara 1,5 – 2 m, bergantung pada besar-kecilnya debit yang diolah dan luas lahan yang tersedia. Lebar paritnya biasanya disesuaikan dengan panjang rotor yang dibuat oleh pabrik. Dengan demikian, saat mendesain parit oksidasi, perancang harus berhubungan dengan vendor atau pabrikan rotor dan mempelajari spesifikasi teknis rotornya. Rotor yang biasa digunakan adalah cage rotor, berisi lembaran pelat logam yang dipasang mirip sikat yang biasa digunakan untuk membersihkan tabung reaksi di laboratorium. Poros (shaft) rotor ini diputar oleh motor berkecepatan tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Putarannya bisa mencapai 72 rpm (revolution per minute, putaran per menit) dengan kedalaman celupan 13,5 cm.

Foto terlampir adalah parit oksidasi yang masih dalam tahap praolah atau trial run dan commissioning test. Air limbah sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam reaktor sambil diberikan bakteri yang berasal dari septic tank. Belasan mobil tinja dikerahkan untuk memberikan “kehidupan” awal bagi mikroba di dalam reaktor oxidation ditch. Tampak pemasok oksigen berupa rotor, yakni mammoth rotor yang dipasang melintang terhadap arah aliran air limbah, sedang berputar sambil memasukkan oksigen. Percikan air yang kontinyu terjadi inilah yang memudahkan oksigen masuk ke dalam air dan memberikan tambahan oksigen bagi bakteri. Motor pemutarnya berada di belakang kaki penulis.

Dilampirkan juga skema konfigurasi unit parit oksidasi aliran berkala dan aliran kontinyu. Aliran kontinyu selalu dilengkapi dengan secondary settling tank atau final clarifier, returned sludge dan excess sludge. Yang juga tidak boleh dilupakan adalah unit sludge drying bed yang dilengkapi dengan fasilitas filtrate chamber untuk menampung filtrat kemudian dialirkan ke grit chamber yang selanjutnya diolah lagi di parit oksidasi. Hanya saja, faktanya di lapangan, kebanyakan IPAL (juga IPAM yang complete treatment) tidak dilengkapi dengan pengering lumpur ini dengan berbagai alasan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar