• L3
  • Email :
  • Search :

6 April 2006

Api di Bukit Punclut

Api di Bukit Punclut, Bandung Utara

Kupasan Punclut pun marak lagi! Malah lebih membara ketimbang tiga-empat tahun lalu. Bukit kecil di Bandung Utara itu kembali diributkan oleh sejumlah kalangan di kota Bandung. Pasalnya, walikota dianggap menggores luka lama. Memberikan angin segar kepada investor yang akan menguliti tanah gembur di kawasan itu.

Padahal Gubernur menyatakan daerah itu adalah kawasan lindung. Sebab, jauh sebelum ini, sudah ada pelindung Punclut, yaitu SK Gubernur No. 181/1992. Peruntukannya sebagai bentang konservasi air. Dengan SK itu Punclut dizonasi menjadi tiga, yaitu zone hutan lindung, budi daya, dan pemukiman. Pemukiman ini tentu sangat terbatas dan berupa pemukiman akrab berwawasan lingkungan.

Kita tak usah heran kalau ide tersebut didukung penuh oleh asosiasi pengembang. Mereka adalah kelompok yang paling berkepentingan di sana. Kucuran rupiah telah membayang-bayangi di setiap tidurnya. Maka, kalau jadi, sebentar lagi akan ramai mobil truk berseliweran, buldozer, shovel, backhoe, palu dan godam tiang pancang menghantam bukit itu. Pasak-pasak beton mendesak butir-butir tanah yang berisi air. Sumber air dua juta orang warga Bandung. Dua juta orang takluk di kaki segelintir pengembang dan pemilik lahan di sana. Bagaimana dengan isi pasal 33 UUD 1945?

Padahal Bandung krisis air. Ini faktanya. Potensi air tanah di cekungan Bandung cuma 1.400 l/d. Ini sudah kritis karena eksploitasinya antara 620 - 1.700 l/d. Atau, dari 2.500-an unit sumur bor yang ada sekarang, pemenuhan kebutuhan air warga Bandung mencapai 50 juta m3/tahun. Bahkan bisa lebih dari angka itu.

Selain karena “perlombaan” membor air tanah dalam antara industri, PDAM dan masyarakat, penurunan paras (muka, level) air tanah dalam itu juga diakibatkan oleh kecepatan alirnya yang kurang dari 2 m/tahun. Penurunan ini terdeteksi di antaranya di Batujajar, Cimindi, Ujung Berung dan Majalaya dengan variasi 0,5 - 12 m/tahun. Bahkan di Dayeuhkolot, parasnya telah lebih dari 80 meter di bawah muka tanah.

″Menata″ atau menata?
Kini, sekitar setengah dari total 268 ha sudah dimiliki pengembang. Masa depan bisa saja angka itu bertambah. Tapi yang tak habis pikir, pemkot seperti mencatut nama warga yang setuju atas rencana tersebut. Malah warga, katanya, bersedia membela pemkot bila ada yang menentangnya. Penentangnya notabene adalah warga Bandung juga. Kalau nanti terjadi banjir yang rugi warga Bandung juga, terutama yang di selatan.

Bagaimana kalau nanti ada warga Bandung yang merasa rugi akibat krisis air saat kemarau dan kebanjiran saat hujan berdemo ke Punclut melawan warga yang setuju di sana? Bagaimana kalau warga yang kena bencana itu menyandera pengembang dan pegawainya? Bisa terjadi kerusuhan sosial. Yang repot pastilah pemkot. Tentu saja pejabat sekarang bisa bebas lenggang kangkung karena, barangkali, sepuluh atau duapuluh tahun lagi sudah tidak jadi pejabat atau sudah meninggal. Yang kena getahnya adalah pejabat baru pada saat itu. Ini layaknya politik adu domba. Ini bahaya. “Perang” bisa benar-benar meletus kalau tidak ditanggapi secara dingin.

Pemkot beralasan, daerah itu sudah rusak sehingga mesti “ditata”. Tinggal apa dan bagaimana cara menatanya, bukan? Akan tetapi, kalau caranya dengan memberikan izin kepada swasta untuk membangun fasilitas di sana, ini patut dikaji lagi. Memang, ada embel-embel harus penghijauan dulu. Masalahnya, mau ditanami dengan pohon apa dan setinggi berapa? Apa bisa instan begitu? Apa yakin akan tumbuh? Berapa lama antara waktu tanam dan waktu pembangunan? Alih-alih subur, jangan-jangan layu sebelum berkembang.

Kalau kita lihat dari rencana pembangunannya, daerah itu akan dijadikan tujuan wisata agrobisnis modern. Fasilitas yang dibangun adalah perumahan, perkebunan, pusat dagang, hotel, convention hall dan executive club. Eksploitasi inilah yang ditakutkan memperbesar limpasan air hujan, meningkatkan frekuensi banjir, mematikan mata air, menurunkan debit sungai dan paras air tanah. Jika dampak buruk tersebut benar terjadi, maka pemulihannya membutuhkan waktu lama. Puluhan tahun.

Inilah polemik tengkar kepentingan (conflict of interest) yang kian masif. Kasus ini menyangkut kontroversi konservasi atau kelanggengan sumber air. Hal yang juga acap terjadi antara PDAM, industri, pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, PLN dan pemukiman. Dengan karakteristik seperti itu, wajarlah warga Bandung bertanya, “Kenapa musim hujan sering banjir di Bandung Selatan dan Barat tapi air ledeng justru tidak ngalir?” Jawaban soal air ledeng terpulang kepada PDAM. Sedangkan mengapa banjir dan sulit air saat kemarau berkaitan dengan banyak hal selain kawasan konservasi seperti kondisi sungai, drainase, penanganan sampah dan jalan. Dan kasus ini akan menjadi-jadi kalau Punclut menjadi gersang.

Kata ahli hikmah, ada analogi begini. Dalam sebuah kapal, jika ada satu (apalagi beberapa orang) yang ingin melubangi dasar kapal di bawah tempat duduknya, dan tidak dicegah oleh penumpang lainnya, maka bisa diyakini semua penumpangnya akan tenggelam. Punclut pun begitu. Kalau ada sejumlah orang yang merasa berhak atas lahan di Punclut lalu berlaku semau-gue, sewenang-wenang “menata” lahan itu, maka bisa terjadi kerusakan ekologis. Ini alamat bencana.

Opsi solusi
Sesungguhnya, selain sebagai reservoir air, Punclut pun berperan dalam agenda lingkungan kota Bandung. Di antaranya: erosi, sedimentasi sungai, sistem koleksi air kotor, sistem koleksi dan tempat pembuangan akhir sampah, polusi udara, zonasi pertanian, industri, pemukiman, banjir dan drainase kota.

Maka, logislah menetapkan kawasan Badut, misalnya Punclut menjadi kawasan konservasi karena secara topografis daerah aliran sungai (DAS) atau hulu sungai berupa bukit atau gunung. Masalahnya, kawasan itu kian susut akibat perambahan pemukiman sehingga muncul gangguan fungsi hidrologi. Menimbang hal itu, masih terbukakah peluang membangun di kawasan konservasi, khususnya di Punclut?

Ini sebaiknya didiskusikan lagi. Namun, lantaran Pemkot begitu ngotot ingin “menata” kawasan itu maka saya hanya ingin menulis begini. Tolong wajibkan sewajib-wajibnya investor membuat sumur dan bidang peresap air. Tapi jangan yang asal ada dan asal-asalan. Sebab, bidang resap tersebut tak ada gunanya ketika musim kemarau. Jangan-jangan pada musim hujan pun tidak optimal fungsinya. Ini bisa sia-sia.

Atau, izin hanya diberikan untuk rumah panggung saja. Ini sesuai dengan konsep konservasi air. Jadi, perlu penelitian hidrogeologi agar diketahui kondisi awal resapan sebelum dibangun dan perkiraannya setelah dibangun. Sertakan pula pengawasan ketat, taat asas dan adil agar tidak ada pemukiman ikutan yang merugikan kawasan konservasi, bersifat liar dan tak peduli pada masalah lingkungan. Jika tidak demikian, membangun kawasan Punclut benar-benar menjadi petaka bagi kawasan di bawahnya.

Kewajiban lain investor adalah penghijauan lahan di setiap pinggir jalan agar mampu menahan laju alir air. Tapi jangan dengan perdu semusim atau cuma bertahan tahunan. Juga jangan dengan tanaman yang rakus air. Takut terjadi pengurasan air (water logging). Juga wajib menyediakan titik hijau (green spot) di sudut-dudut dan persimpangan jalan atau daerah khusus dengan memperhatikan stabilitas tanah. Investor juga mesti menyisihkan dana buat kawasan lindung, reboisasi, dan menyediakan fasilitas drainase ramah lingkungan. Jika ini dipenuhi dengan taat asas dan adil, bukan tidak mungkin kawasan konservasi Punclut dibangun dengan ramah lingkungan alias environmentally friendly.

Namun, jika itu tidak dilakoni maka konservasi air di kawasan hutan ataupun konservasi tidak ada lagi. Ini berdampak pada pengurangan frekuensi kejadian hujan, air infiltrasi berkurang sehingga pada musim kering berikutnya, aliran dasar berkurang sedangkan pada musim hujan menimbulkan banjir. Pada musim kemarau debit air menurun dan pelanggan PDAM yang resah. Debit aliran dasar/mantap ikut berubah. Pencemaran limbah domestik, industri dan pertanian/perkebunan kian besar. Ketika musim hujan, limpasannya meningkat. Erosi pun demikian sehingga kekeruhan kian tinggi, terjadi sedimentasi dan sungai menjadi dangkal. Muncul lagi bahaya banjir.

Lebih jauh lagi, debit S. Cikapundung terganggu. Debit musim hujan dan musim kemarau menjadi ekstrim sehingga nisbah antara debit maksimum dan minimumnya menjadi besar. Ini tidak sehat. Sungai dikatakan sehat bila nisbah tersebut mendekati 1 dan disebut tidak sehat bila nisbahnya lebih dari 20. Pada saat bersamaan, pemkot justru tengah gencar-gencarnya berkampanye soal Gerakan Cikapundung Bersih (GCB). Cikapundung dibersihkan setiap bulan sembari memberikan peluang terjadinya polusi dan pengotoran dari Punclut (tapi itu terjadi hanya menjelang peringatan KAA, sebab sekarang sudah tak pernah lagi sehingga sampah pun menumpuk). Ironiskah ini? Tumpang tindih?

Padahal, dalam prinsip pembangunan-pengembangan kota, pemkot harus mampu mengakomodasi sejumlah fungsi, di antaranya kebutuhan air, selain pemukiman, ruang rekreasi, transportasi, daerah komersial dan fasilitas sosial budaya lainnya. Harmonisasi fungsi inilah tujuan dari perencanaan kota. Namun, akibat dari benturan kepentingan dan penyelewengan dana, tidak amanah, maka tujuan itu tak tercapai. Termasuk sistem perencanaan yang belum terintegrasi, bongkar pasang antarinstansi, ekspansi industri tak terkendali dan tak mampu-bernas mengatur tata guna lahan.

Selanjutnya, semua bentuk akomodasi fungsi kota tersebut (hakikatnya tentu saja eksploitasi lingkungan) mesti ada di dalam koridor daya dukungnya agar mampu menyangga kebutuhan fisik manusia, dan tidak defisit ekologis akibat konsumsi lebih besar daripada kemampuan pemulihannya (regenerasi).

Sebagai pamungkas, taat asas dan ketat pengawasan, artinya kuat dalam penegakan hukum termasuk menumbuhkan kepercayaan kepada hukum dan peraturan agar tak terdegradasi ke titik terendah, adalah kuncinya. Juga mematangkan insan perencana pembangunan, membangun SDM yang multidisiplin, benar-benar ahli dan bermoral serta mengubah visi dan asumsi bahwa pendapatan tinggi (hasil eksploitasi lingkungan) selalu berdampak positif. Ini belum tentu. Sebab, pada saatnya nanti akan dibayar dengan mutu lingkungan dan mutu hidup kita. Akan tercatat pada “prasasti” hidup sejarah masa depan kita.

Semoga apa yang ditakutkan oleh pegiat lingkungan, yakni terjadinya prahara seperti di dunia persilatan dalam legenda “Api di Bukit Menoreh”, tak terjadi di Bukit Punclut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar