Jalan Gajah Mada tidak akan kita temukan di Bandung. Tapi sebaliknya, Jl. Imhoff Tank cuma ada di Bandung. Nah, mengapa jalan yang disebut terakhir itu berbau asing dan satu-satunya di Indonesia, tentu ada riwayatnya.
Tahun 1916, sepuluh tahun setelah Bandung berstatus gemeente (21 Februari 1906), dan setahun sebelum Meneer B. Coops jadi walikota (burgemeester) Bandung yang pertama (1917), pemerintah Belanda ingin warganya hidup saniter. Saat itu, Bandung dibagi jadi dua wilayah: barat dan timur dengan Sungai Cikapundung sebagai garis sempadan. Dan waktu itu, dua pertiga warganya tinggal di belahan barat. Maka, selain mendirikan “PDAM” yang dikelola oleh Technische Dienst Afdeling, Belanda juga membuat instalasi pengolah air limbah (IPAL) domestik di belahan barat.
Terlihat betapa seabad lalu, meski penjajah, Belanda sudah peduli pada lingkungan di tanah jajahannya. Padahal kala itu, kita yakin, pencemaran belumlah separah sekarang. Lalu, mengapa Imhoff Tank yang dipilih, bukannya activated sludge (lumpur aktif) temuan Ardern dan Locket yang lebih dulu berkembang? Sebab, selain murah, unit yang patennya dipegang oleh Dr. Karl Imhoff (1904, pakar air limbah dari Jerman), unit ini juga terbaik kinerjanya saat itu. Ia unggul daripada unit lain karena berupa pengolah bikamar atau “dual-purpose two-story tank” yaitu ruang hidrolisis dan sedimentasi.
Air limbah rumah tangga warga Belanda dialirkan lewat saluran sepanjang 14 km di sepanjang jalan akses yang dinamai Jl. Imhoff Tank menuju IPAL dan air olahannya dibuang ke Sungai Citepus, di dekat IPAL-nya. Tapi sayang, unit ini sekarang sudah rusak dan dipenuhi lumpur. Pemkot Bandung menggantinya dengan kolam oksidasi di Bojongsoang seluas 85 ha dengan panjang total saluran sekitar 300 km.
Ingin ke sana? Mudah saja. Satu kilometer arah timur terminal bis Leuwipanjang, menyusuri Jl. Soekarno-Hatta (By pass), sebelum Jl. Moh. Toha. Warga setempat, khususnya orang-orang tua, biasanya tahu lokasinya. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar