Analisis Banjir 2020
Oleh Gede H Cahyana
Associate
Professor Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan
Koran
Pikiran Rakyat, 4 Januari 2020
Pergantian
tahun 2019 ke 2020 dirayakan masyarakat sambil berhujan-hujan. Dari Bandung hingga
Jabodetabek diguyur hujan. Banjir meluas. Tidak hanya di permukiman di Bandung,
Bekasi, dan Jakarta tetapi juga di jalan tol. Sudah beberapa kali ruas jalan
tol tergenang air. Ada yang salah dalam desain dan konstruksi jalan dan
drainasenya. Salah kalkulasi luas daerah tangkapan (catchment area), arah, dan kecepatan aliran air limpasannya.
Mungkin juga salah dalam antisipasi Periode Ulang Hujan (PUH). Kalau betul,
selayaknya tidak banjir.
Drainase vertikal
Banjir
di Bandung dan Jabodetabek menjadi jawaban bagi teknik drainase yang disebarkan
oleh pemerintah daerah. Mulai dari bidang resapan yang dibuat di halaman
kantor, diisi dengan kerikil. Lalu biopori yang lubangnya berdiameter 20-25 cm
sedalam 1,0 – 1,5 m, diisi sampah. Kemudian drumpori, peresap air seukuran drum
yang ditanam di tanah. Juga ada kolam retensi di Bandung dan Jabodetabek. Yang
terakhir adalah sumur resapan. Di Jakarta disebut drainase vertikal (vertical drainage). Semua teknologi
tersebut pernah viral di masyarakat dan pemerintah merasa itulah solusinya.
Tidak ada yang berani menyangkalnya. Kalaupun ada, pendapatnya dilibas oleh
kekuatan media sosial yang propemerintah.
Tidak
ada yang salah. Semua metode tersebut betul. Hanya saja, semuanya memiliki
kapasitas. Ibarat seorang lifter, dia mampu mengangkat beban 100 kg dalam latihan.
Ketika pertandingan, dia gagal mengangkat 120 kg. Begitu juga banjir. Volume
air hujan yang harus dialirkan lebih besar daripada volume yang tersedia.
Volume ini mencakup volume air di semua selokan yang ada, mulai dari saluran
tersier, sekunder, hingga primer, termasuk semua anak-anak sungai hingga ke
induk sungai. Juga semua ruang antarbutir tanah atau parasitas tanah (perviousness) di seluruh wilayah
kabupaten/kota dan provinsi terisi air.
Mengapa
banjir tetap saja terjadi? Karena volume air hujan lebih banyak daripada volume
ruang yang tersedia. Akibatnya air mengisi luasan wilayah seperti sawah di tepi
jalan tol, merendam padi bahkan naik ke badan jalan tol yang sudah ditinggikan
itu. Hukum alamnya, air hujan pasti meresap apabila masih memiliki ruang
parasitas dan porositas tanah. Terjadi banjir berarti ruang parasitas (bukan
porositas) sudah jenuh air. Tidak mampu lagi menerima air. Air tolakan inilah
yang harus ditangani, direkayasa agar tidak membanjiri sawah, permukiman warga,
dan tol.
Menurut
BMKG, hujan ini baru permulaan. Curahnya akan membesar beberapa pekan ke depan.
Baru permulaan saja sudah banyak merugikan warga. Selain rumah dan isinya juga
ribuan motor dan mobil terendam air. Korban meninggal dan sakit di pengungsian.
Kehilangan aset ekonomi dan mengganggu proses pendidikan. Sekolah diliburkan
sebagian. Belum lagi tekanan psikologis kepada korban. Kesulitan ibadah karena
masjid tergenang. Begitu juga gereja. Mungkin juga pura dan vihara. Terlalu
banyak korban akibat hujan yang selayaknya bisa diantisipasi. Sudah terjadi
berkali-kali.
Semua
hal tersebut terjadi karena pemerintah puas dengan teknologi mikro yang parsial
seperti biopori, drumpori, bidang resapan, drainase vertikal, kolam retensi. Tidak
salah memang, tetapi itu semua hanya berfungsi manakala curah hujannya kecil.
Intensitas hujannya di bawah rata-rata. Andaipun dicari salahnya, maka yang
salah ada jumlahnya. Jumlahnya jauh dari memadai. Sebagai contoh, di Jakarta
baru dibuat tidak lebih dari 1.500 unit drainase vertikal. Padahal kebutuhannya
1,8 juta unit. Ini hanya 0,08 persen. Mencapai satu persen saja masih jauh.
Begitu juga di Bandung, berapa unit biopori, drumpori, sumur resapan yang
dibuat? Jangan sampai masyarakat dibius oleh virtual reality. Kenyataan yang tidak nyata. Seolah-olah ada solusi
banjir padahal tidak.
Kembali ke Jalan Lurus
Bukti
sudah nyata, banjir terjadi di permukiman, di tengah kota, di hamparan sawah,
hingga jalan tol. Genangan di mana-mana. Padahal filosofi aliran air hujan
adalah pematusan secepat-cepatnya. Disebut drainase, berasal dari kata drainage yang etimologisnya ialah dry atau kering. Dikeringkan secepatnya.
Jalan yang lurus itu adalah horizontal
drainage. Lebih tepatnya adalah drainase permukiman. Hujan sederas apapun,
tidak akan tergenang airnya kalau drainase permukiman berfungsi optimal.
Wadahnya adalah laut, reservoir superbesar. Air pasang di Laut Jakarta (Jawa),
tidak masalah. Belanda sudah lama menerapkan sistem Polder dan berhasil. Bisa
dicontoh dengan modifikasi.
Bagaimana
kondisi drainase permukiman di Bandung dan Jakarta? Adakah pemeliharaan
rutinnya? Sudahkah di semua kelurahan, di semua RT/RW secara berkala? Kalau
terjadi banjir maka bisa dijawab bahwa pemerintah dan masyarakat belum optimal
memelihara drainase. Tanggung jawab warga adalah drainase di sekitar tempat
tinggalnya. Apabila semua warga peduli maka otomatis seluruh drainase kota akan
berfungsi baik. Begitu juga ada porsi tugas untuk pemerintah daerah dengan
anggaran rutin yang dimilikinya.
Pemerintah,
bukan masyarakat, harus kembali ke jalan lurus, yaitu jalannya air yang
mengalir ke daerah yang lebih rendah menuju sungai dan berujung di laut. Menata
kembali drainase horizontal. Mendata yang kondisinya baik, rusak, dan hancur. Perbaiki
yang rusak dan hancur, apalagi sudah menjadi jalan setapak atau jalan motor. Revitalisasi.
Banjir bukanlah bencana alam seperti gunung meletus dan gempa. Banjir bisa
dicegah. Bisa direkayasa dan dikendalikan. Bahkan kapan turun hujan mudah
diketahui oleh BMKG. Berbeda dengan gunung meletus dan gempa yang sulit diduga.
Sebagai
resume, semua teknologi mikro seperti biopori, drumpori, drainase vertikal, sumur
resapan, kolam retensi yang dibuat oleh pemerintah sudah bagus. Tetapi itu
untuk curah hujan normal atau di bawah normal. Program tetap dilanjutkan,
khususnya di kantor-kantor pemerintah, mulai dari kantor RW dan kelurahan
sampai ke kantor dan rumah bupati, walikota, dan gubernur. Juga asrama polisi
dan TNI. Begitu pun hotel, rumah sakit, dll. Agar efektif, lokasinya harus
diperhatikan, berkaitan dengan sifat tanah dan ketinggian muka air tanahnya.
Yang
harus lebih ditingkatkan adalah drainase permukiman. Bisa mulai dari kecamatan
yang sering banjir. Orientasikan pada pematusan ke sungai terdekat. Kalau tidak
ada, maka harus dibuat kanal yang berujung di sungai besar. Semuanya bisa
direncanakan dan didesain karena data curah hujannya sudah tercatat rapi. Data
topografi sudah akurat. Jumlah dan arah aliran sungai sudah pasti, semua ke
Citarum untuk Bandung dan ke Ciliwung untuk Jakarta. Siapkan pompa apabila
diperhitungkan aliran airnya lambat. Tentu dengan kapasitas yang sesuai dengan
kapasitas alirannya. Tidak sekadar ada pompa.
Jadikanlah banjir ini sebagai awal kesadaran agar kembali ke jalan yang benar sesuai dengan filosofi hidrologi dan drainase. *
Jadikanlah banjir ini sebagai awal kesadaran agar kembali ke jalan yang benar sesuai dengan filosofi hidrologi dan drainase. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar