• L3
  • Email :
  • Search :

17 April 2006

Pejabat atau Pemimpin?

Dalam sebuah acara Maulid Nabi yang baru saja lewat, ada bahasan tentang pejabat dan pemimpin. Menarik sekali kupasannya dan secara singkat saya tuliskan di sini. Semoga bermanfaat.
Dalam keseharian, kerapkali kita mencampurkan istilah pejabat dan pemimpin dan merasa seolah-olah keduanya sama, atau minimal mirip. Kedua kata tersebut, jika ditelaah, sebetulnya memiliki arti yang berbeda dan bahkan bisa jauh bedanya. Belum lagi kalau dilibatkan kata-kata seperti imam, khalifah, dan wali, maka kian rumitlah makna kata-kata tersebut. Demikian katanya.

Dalam tulisan ini, tiga istilah terakhir takkan dibahas. Yang dikupas adalah dua kata pertama yang sering disalahpasangkan makna dan maksudnya. Dua kata ini sudah demikian akrab di telinga kita, nyaris setiap hari kita dengar langsung, dengar di radio, TV, atau baca di koran-majalah.

Pemimpin.
Nabi Muhammad, nabi terakhir kaum muslim, sering disebut pemimpin. Beliau, sebagai manusia biasa dan tak bisa baca-tulis, jarang disebut pejabat. Pemimpin umat adalah labelnya. Pemimpin adalah orang yang merasa terpanggil untuk memimpin sekelompok orang dan sekelompok orang itu pun merasakan dan mengakui bahwa dialah pemimpinnya. Di sini tampak ada pelibatan rasa, perasaan masyarakat dan perasaan pemimpinnya. Tanpa interaksi antara kedua perasaan itu maka takkan ada kepemimpinan. Yang terjadi seperti bertepuk sebelah tangan.

Maka, seseorang yang terdidik apik, katakanlah sudah bergelar sarjana, magister, doktor atau bahkan profesor sekalipun belum tentu diakui sebagai pemimpin oleh suatu kelompok orang jika mereka merasa bahwa orang itu bukan pemimpinnya. Dengan kata lain, seseorang yang jenius takkan otomatis diterima oleh sekelompok orang sebagai pemimpinnya karena kepemimpinan itu tidak berada di wilayah intelektual atau kecerdasan (apalagi sekadar gelar, yang juga banyak yang palsu, atau minimal tak bermutu) tapi berada di ranah perasaan. Perasaan oranglah yang menentukan apakah seseorang itu pemimpin atau bukan.

Pemimpin sejati adalah orang yang orientasinya melayani sekelompok orang yang dipimpinnya. Hati nuraninya selalu menyetir fisiknya untuk mengabdi dan mengerjakan tugasnya sebagai rasa tanggung jawabnya kepada masyarakat. Dalam tingkat yang lebih tinggi lagi, pemimpin selalu berorientasi pada makna transenden, makna ketuhanan. Dia memimpin demi ibadahnya kepada Allah Swt dan sangat mendambakan pahala-Nya. Orang yang berpredikat pemimpin sangat tidak mungkin berbuat nista, tak mungkin korupsi. Malah membagi-bagikan harta miliknya demi ibadahnya kepada Allah. Dia boleh jadi seorang pebisnis sukses yang halal zat dan praktik bisnisnya, dia mencari harta sebanyak-banyaknya untuk beribadah. Dia ingin menjadi orang yang bebas finansial demi membantu orang lain, demi mempertebal kantong-kantong pahalanya. Dia hanya menggunakan hartanya sekadar cukup untuk hidup sehat agar mampu berpikir jernih, kuat fisiknya, mampu berdakwah, mampu mengajar plus mencari ilmu baru, dan hal-hal positif lainnya.

Pejabat.
Bagaimana dengan pejabat? Pejabat adalah orang yang diserahi tanggung jawab mengelola suatu fungsi tugas dalam organisasi. Ia diangkat untuk membantu atasannya dalam melaksanakan tugas kewajibannya dan biasanya berkaitan dengan tugas-tugas negara atau perusahaan. Seorang pejabat tak perlu mendapat persetujuan hati nurani dari masyarakat. Jangankan persetujuan masyarakat, persetujuan dari bawahan atau rekan kerjanya saja tak perlu. Kalau atasannya sudah memilihnya, maka dia akan segera menjadi pejabat dalam kurun waktu tertentu. Yang diperlukan oleh seorang pejabat adalah keahliannya dalam jabatan yang dipikulnya itu. Ada satu yang menonjol, yaitu perintah atasan mirip undang-undang baginya. Terlebih lagi di ketentaraan, ini sangat jelas terlihat.

Karakter pejabat belum tentu sesuai dengan harapan rakyat. Kenyataannya, mayoritas pejabat membuat masalah di tempat kerjanya. Dan satu hal yang paling besar menggodanya adalah harta. Maka banyaklah terjadi KKN di sejumlah instansi pemerintah, BUMN dan BUMD. Bahkan terjadi juga di perusahaan swasta yang notabene diawasi ketat oleh pemilik perusahaan. Di pemerintahan jauh lebih parah lagi karena uang yang diurusnya adalah uang rakyat, uang yang seolah-olah jatuh dari langit setiap hari. Pungutan liar, pajak, retribusi dan projek-projek selalu saja dikutip dan dijadikan bancakan. Ada kasus yang dikisahkan di sebuah radio di Bandung bahwa ada seorang pegawai negeri di sebuah instansi yang ditekan agar mau ikut arus besar (mainstream) di kantornya, yaitu ikut memanipulasi projek. Karena bersikukuh tak mau ikut, dia ditekan agar keluar dari PNS. Tentu saja dia tak mau. Tersisihlah dia, dikucilkan, menjadi soliter di kantornya yang besar dan ramai itu. Kejadian ini sedikit mirip dengan yang menimpa Nabi Muhammad ketika dikucilkan dan diboikot oleh kaum Quraisy.

Kalau demikian, adakah seorang pemimpin yang sekaligus pejabat? Atau seorang pejabat yang juga pemimpin? Ada. Contoh yang pasti adalah Nabi Muhammad. Beliau pasti seorang pemimpin dan pada saat yang sama beliau juga menjadi pejabat negara Islam pasca-Futuh Mekkah. Ini diakui oleh kaum muslim dan nonmuslim khususnya orientalis yang lapang hatinya, terbuka pikirannya. Kisah tentang kepemimpinan dan kepejabatan nabi terakhir itu bisa dibaca di buku-buku Sirah Nabawiyah.

Selain Muhammad, empat khalifah pertama pasca Muhammad adalah kaliber pemimpin dan pejabat. Begitu pun sahabat lainnya dan para tabi-tabi’in. Adakah yang tak tahu Umar bin Abdulaziz? Adakah yang tak tahu Salahuddin al Ayubi? Merekalah pemimpin sekaligus pejabat negara. Pada zaman sekarang ini, adakah orang-orang sejenis itu? Saya agak ragu menjawabnya. Yang pasti, pada masa lalu, Bung Hatta, Pak Natsir, dan Mr. Roem bisa dikatakan memenuhi kategori pemimpin yang pejabat. Setelah pensiun dari pejabat pun mereka tetap diakui sebagai pemimpin oleh rakyat. Malah ketika Bung Karno masuk ke dalam Demokrasi Terpimpin, Bung Hatta yang telah menjadi mantan Wakil Presiden mengeluarkan tulisan berjudul Demokrasi Kita dan disambut antusias oleh rakyat. Tanpa jabatan pun, seorang pemimpin akan tetap dianggap pemimpin. Sebab, ia adalah rasa di hati.

Namun yang pasti, baik pemimpin maupun pejabat, harus bertanggung jawab atas tugasnya. Baik gajinya besar, digaji kecil, atau bahkan tak digaji pun, kalau dia merasa sebagai orang beragama (Islam) maka amanat tetap harus ditunaikan. Andaikata tak mau lagi memikul amanat itu maka selayaknya dikembalikan kepada pemberi amanat agar orang lain yang bersedia memikulnya mendapat kesempatan beribadah menjadi pejabat. Juga agar tidak berdosa karena berdampak buruk pada banyak orang, pada orang-orang yang dipimpinnya. Jika tidak demikian, Allah Swt akan murka dan bisa diganjar di dunia maupun di akhirat. Apalagi ada kata-kata mutiara bahwa pemimpin adalah pelayan umat. Dia dapat pahala yang luar biasa besarnya jika mampu mengelola amanat yang diembannya itu.

Terlebih lagi ketika menjadi pejabat bagi banyak orang yang orang-orang ini pun punya keluarga seperti suami, istri, anak-anak, maka makin banyak saja tanggung jawabnya. Hanya saja, jika pejabat ini menjalankan kewajibannya dengan ikhlas maka dia pasti beruntung. Sangat beruntung. Sebab, pegawai dan keluarganya pasti akan sangat berterima kasih kepadanya dan selalu mendoakannya agar mendapat rahmat dan berkat dari Allah Swt. Tapi hal sebaliknya bisa saja terjadi. Jika pejabat ini tak amanah dalam jabatannya maka semua orang yang dizaliminya akan berdoa dan berkeluh-kesah kepada Allah. Ada kalimat berbunyi begini: doa orang-orang yang dizalimi akan dikabulkan Allah Swt. Jika tidak di dunia ini, maka ganjarannya akan diterimanya di akhirat dengan sangat-sangat menyakitkan dan abadi.

Jika demikian, akankah kita berlomba meraih jabatan bahkan sambil sikut- kanan-kiri, sambil sogok segepok uang dan main intrik-intrikan? Lantas, akankah kita menyia-nyiakan nasib orang banyak yang berada di bawah jabatan kita, berlaku acuh tak acuh karena menganggap mereka tak lebih dari cacing tanah yang bisa diinjak dan dipermainkan nasibnya?

Apapun anggapan kita, jika kita adalah pejabat, orang-orang itu tetap saja manusia yang juga beragama dan bisa berdoa kepada Tuhannya. Dan sekali lagi, doa orang-orang yang dizalimi akan makbul adanya.

Demikianlah kata ustadz itu mengakhiri taushiyahnya pada peringatan Maulid Nabi di sebuah masjid di Bandung.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar