Surat
Untuk Tuhan
Oleh Gede H. Cahyana
Hujan deras pekan ini disertai angin
puting-beliung, merusak sawah dan ladang di desa pinggir kota. Seorang lelaki
paruh baya bermuram durja. Sambil bicara dengan istrinya, ia merapikan selimut
usang ke dada anak keduanya lalu duduk di dekat Si Sulung yang murid SD.
“Enam bulan ke depan kita tidak
punya bahan makanan. Singkong dan ubi belum jadi, keburu dihantam badai, bu” lirihnya.
“Ya pak,” singkat kata istrinya,
perempuan asli desa di lereng gunung itu.
“Padi dua bulan, rebah ditutupi
banjir. Tak ada yang bisa menolong kita.”
Meskipun ia dan istrinya tidak lulus
SD, tidak pandai, tetapi ada secercah iman dan harapan.
“Tuhan akan menolong. Tidak akan
mati kelaparan,“ gumamnya dalam yakin.
Ia lantas merobek selembar kertas
dari buku lusuh anaknya, dan dengan terbata-bata, ia tulis satu-dua huruf,
dua-tiga kata hingga menjadi kalimat. “Tuhan, sawah dan kebun rusak. Habis tak
bersisa. Singkong dan ubi makin sedikit di dapur. Jagung habis. Tolong beri
kami uang lima juta rupiah.”
Esoknya, ia berbegas ke kantor pos,
pagi-pagi. Setelah ditempeli prangko biasa, ia serahkan kepada pegawai kantor
Pos dan langsung pulang.
Begitu membaca alamat tujuan di
sampul surat itu, pagawai kantor Pos tertawa lebar. Kepala cabang kantor Pos
itu pun tidak bisa menahan tawanya. Berderai-derai tawanya sehingga perutnya
makin menyembul ke luar sela-sela kancing bajunya.
Sejurus kemudian, ia terkesiap. Ia
salut kepada lelaki itu. Imannya tinggi, pikirnya. Ia masih percaya pada adanya
Tuhan. Lelaki dusun, bodoh, dan miskin itu, masih punya harapan. Ia lantas
mengajak pegawai kantor Pos itu menyumbang sukarela dan meneruskannya juga ke
warga di sekitar kantor, termasuk menelepon kantor pusat.
“Terkumpul juga uang tetapi tidak
sejumlah yang diminta lelaki itu. Tak apalah.” Kepala kantor Pos lantas menulis
surat untuk lelaki desa itu.
Dua hari berselang, lelaki itu
mendatangi kantor Pos dan menanyakan surat balasan dari Tuhan. Dengan sopan,
kepala kantor Pos memberikan surat yang berisi uang. Riang hati lelaki itu dan
balik ke rumah.
“Tidak mungkin. Ini hanya dua juta
rupiah. Sisanya ke mana?”
Ia pun merobek selembar kertas dari
buku lusuh anaknya dan menulis lagi. Segera ke kantor Pos dan tanpa bicara
langsung dimasukkan ke kotak surat.
Kepala kantor Pos langsung membuka
dan membacanya. “Tuhan, terimakasih, uang sudah kuterima. Tetapi jumlahnya
kurang. Tolong kirimkan kekurangannya langsung ke rumah. Jangan lewat Pos lagi.
Sebab, pegawai kantor Pos kota ini pencuri semua.” ***
Keren Pak...sebuah hikayat mensuarakan jeritan rakyat
BalasHapus