Kami Bertengkar karena Persib
Oleh Gede H. Cahyana
Mulai ikut-ikutan mendukung Persib pada tahun 1986,
saat Liga Perserikatan digelar. Hanya sekadar dukungan moral, ikut deg-degan
saat “Pangeran Biru” berlaga. Maestro Persib saat itu adalah Ajat Sudradjat. Ia
ikon yang menjadi bintang di setiap pertandingan. Juga karena face-nya yang ngganteng dan tentu saja body-nya
yang atletis. Ia pujian perempuan masa itu, idola kaum muda, bahkan ibu-ibu dan
nenek-kakek. Orang Sunda, Ajat milik orang Jawa Barat waktu itu.
Waktu itu, saya, juga teman-teman saya, ada tujuh
orang dari SMAN I Tabanan Bali, baru masuk tahun kedua tinggal di Bandung. Kami
tinggal di Lebak Gede atau Lebak Siliwangi, kompleks Sabuga ITB sekarang. Kami
tinggal di dua rumah kontrakan. Satu rumah di bawah kantor BATAN di dekat
lapangan voli dan satu lagi di dekat kolam.. Saya dan tiga teman tinggal di rumah
yang dekat kolam. Karena kebaikan ibu kost, terutama anak-anak perempuannya (hm
hm hm), seorang di antaranya kemudian menjadi istri Arief Yahya (sekarang
Menteri Pariwisata di Kabinet Presiden Jokowi), kami diberi satu televisi yang
ditaruh di ruang tamu.
Kami bukanlah pemain sepak bola. Hanya sesekali saja
menyepak bola. Tapi kami suka nonton bola pada saat itu, sebagai katarsis stres
kuliah. Tentu saja, tidak semua memihak Persib. Ada teman yang mendukung
Persija, ada Persebaya. Setiap pertandingan, selalu ada beda dukungan. Pendukung
Persiman Manokwari pun ada, meskipun dukungan itu tidak konsisten. Dukungan
kerapkali berubah-ubah. Ini wajar saja karena tidak ada tim sepakbola yang dari
Bali di laga itu. Suasana pun memanas selama pertandingan.
Duduk di lantai beralaskan karpet, ada yang di kursi,
semua teriak dan tepuk tangan kalau tim idolanya menggempur lawan hingga ke
dekat gawang. Begitu silih berganti. Karena sesama teman dan akrab, saling ejek
dan cemooh pun menggema. Bertengkar tak terelakkan. Tentu saja bukan adu jotos.
Tengkar mulut saja dan sekadar dorong punggung atau pukul lengan tapi tak
terlalu keras. Kalaupun keras, itu pun bukan karena marah betulan. Untung saja ada teh, kopi dan kacang serta gorengan yang
bisa dikudap bersama. Makanan ringan ini berperan mendinginkan suasana hati dan
pikiran yang panas.
Praktis, pada 1986 itu, dukungan kepada Persib membahana.
Ajat pun menghiasi koran dan tabloid. Setiap makan di warung, Ajat dan Persib
hadir di sana. Di angkot, ada Ajat. Di kampus, ada Persib. Di rumah, di jalan,
di mana saja, pada tahun itu, selalu ada Ajat, ada Persib. Ajat dan Persib
seolah-olah lebur menjadi satu. Ia bagai mata uang (koin), satu sisinya Ajat,
sisi yang lain Persib. Hingga hari ini, Persib belum melahirkan idola sekaliber
Ajat Sudradjat.
Namun demikian, kita ucapkan selamat kepada Persib atas
prestasinya pada LSI tahun 2014 ini. Sebab, 19 tahun penantian bukanlah waktu
yang pendek. Hampir satu generasi, mulai dari seseorang lahir hingga melahirkan
bayi.
Bravo Persib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar