• L3
  • Email :
  • Search :

25 Januari 2008

PLTSa Ibarat Khamr

Dimuat di Kompas Jawa Barat, 24 Januari 2008.

Agenda lingkungan yang penting di Bandung pada awal 2008 ini adalah PLTSa. Enam bulan lalu pemkot bertekad meletakkan batu pertama PLTSa pada 8 Januari 2008 tetapi beralih menjadi penanaman pohon. Anehnya, ketika Amdal sedang dalam proses dan belum jelas apakah akan layak sebagai pelicin PLTSa, pemkot malah sudah memastikan pembuatan pabrik itu. Fatalnya lagi, di setiap tatap muka dengan tokoh atau dianggap tokoh yang pro atau diskenariokan pro-PLTSa (yang notabene kumpulan orang awam terhadap insinerasi, waste to energy, wasted energy) pemkot selalu memakai kacamata kuda dalam mendeklarasikan pembuatan pabrik itu. Yang menyedihkan, “tokoh” dan orang-orang itu senantiasa mengatasnamakan masyarakat banyak.

Cultural Dope
Harus diakui, apapun istilahnya, ada satu tradisi lama yang jelas terlihat di permukaan ranah sosial berkaitan dengan tokoh masyarakat. Pelibatan tokoh atau “tokoh” dalam upaya membangun sesuatu yang berskala besar dan tinggi sensitivitasnya selalu saja memperalat elite di perguruan tinggi, tokoh sosial budaya, kekuatan ekonomi dan politik. Pola ini mengacu pada anggapan bahwa masyarakat awam selalu bisa dibodohi dan akan manut-manut saja kalau tokohnya sudah bicara dan memutuskan sesuatu. Rakyat awam atau wong cilik dianggap kumpulan orang bodoh yang diyakini akan mengekor pejabat atau tokoh masyarakat. Inilah yang disebut cultural dope.

Secara psikoanalisis, opini yang memandang dan memola masyarakat sebagai kelompok bodoh sesungguhnya sudah memperkosa demokrasi dan memperdaya masyarakat dengan “candu”. Terlebih lagi memasang banyak spanduk di semua sudut kota dengan klaim dan mengatasnamakan forum ormas, LSM, gerobak kuning, dan banyak lagi yang lain. Di sinilah kekuatan uang dan wewenang bicara lantang. Jauh lebih parah lagi ketika unsur ulama dilibatkan untuk mengucapkan satu kata: “setujuuu”. Perilaku ini justru memupuk politik pecah belah di antara tokoh agama yang membahayakan persatuan - kesatuan bangsa.

Ibarat Khamr
Patut diakui, khamr memang ada manfaatnya. Bagi penikmatnya, khamr dianggap malaikat pemberi ketenangan. Siapa saja yang meneguknya akan menjadi ringan pikirannya, lepas beban hidupnya. Setelah itu tubuhnya terasa nyaman, dapat berpikir, dan bekerja dalam aktivitas rutinnya. Dulu, kata ustadz, khamr masih dibolehkan dan larangannya diterapkan secara bertahap. Karena madaratnya lebih banyak daripada manfaatnya, akhirnya khamr itu dilarang atau diharamkan dalam Islam.

Kalau ibarat ini diambil, PLTSa pun ada manfaatnya. Manfaatnya itu terasa bagi siapa saja yang belum sadar akan dampak buruk yang bakal menimpanya. Seperti khamr, pada awalnya nikmat, bahkan bisa fly, tetapi lama-lama menjadi ketagihan dan akhirnya merusak organ tubuh, kesadaran berpikir, dan cidera psikologis. Patut diakui, tak seorang pun dapat menolak bahwa PLTSa bisa menghasilkan listrik. Namanya saja pembangkit listrik, tentu saja dapat menghasilkan listrik. Hanya saja, berapa efisiensinya, bagaimana efektivitas transformasi energinya, ini yang dipertanyakan. Betulkah lebih efisien mengolah sampah dengan PLTSa daripada teknologi lainnya? Belum lagi kalau dikaitkan dengan ancaman kesehatan, pendidikan masyarakat, dan kelanggengan fungsi ekologi.

Hal tersebut sama persis dengan pertanyaan, betulkah khamr bermanfaat dan sebesar apa manfaatnya? Yang kecanduan tentu saja mengatakan bahwa khamr itu sangat nikmat dan bermanfaat menjaga kebugaran tubuhnya. Tetapi yang tahu efeknya terhadap kesehatan, apalagi bagi dokter spesialis khamr (dan narkoba) akan berkata dengan tegas bahwa madaratnya jauh lebih banyak.

Fikih Prioritas
Dalam agama, ada ajaran yang mengajak kita untuk memilih sesuatu berdasarkan neraca baik-buruknya, manfaat-madaratnya. Kalau ada beberapa alternatif yang semuanya berisi madarat dan manfaat, maka pilihlah yang paling sedikit madaratnya, pilih yang banyak manfaatnya. Tak dimungkiri, banyak aspek kehidupan yang memiliki dua sisi, positif dan negatif. Tinggal kita yang diminta berupaya keras agar jangan salah pilih. Apalagi kalau pilihan itu sensitif atas kelangsungan hidup manusia dan ekosistem. Perlu kearifan tinggi dalam menentukan pilihan, tak sekadar mengedepankan kekuasaan belaka atau alasan pragmatis yang ditegakkan di atas makna ekonomi politis yang menafikan rasa populis.

Skala materi pun patut dipertimbangkan. Sesuatu yang mengundang kontradiksi, katakanlah khamr, harus diputuskan dengan bijak, tak tergesa-gesa. Sang Pencipta manusia telah demikian arif mengajari manusia dalam mengambil keputusan untuk sesuatu yang berisi nilai manfaat dan madarat seperti khamr sehingga tidak langsung diharamkan tetapi melalui proses yang panjang. Kebijakan pemimpin besar seperti Nabi Muhammad yang menerima wahyu atas pemberlakuan ayat larangan khamr itu menjadi pelajaran bagi pejabat masa kini. Tak bolehlah sewenang-wenang apalagi dengan jalan kekerasan dan intimidasi dalam memutuskan kebijakan publik di alam demokrasi.

Apalagi semua pegawai pemkot dan anggota DPRD adalah pelayan masyarakat yang gaji, tunjangan mobil, rumah, bahkan makanan, baju dan ongkos perjalanannya dibiayai rakyat lewat instrumen pajak dan retribusi. Jadi, siapa sebetulnya yang berkuasa di negara demokrasi ini, rakyat ataukah pejabat? Mari kita peduli atas kualitas kesehatan dan kenyamanan hidup saudara sebangsa, seprovinsi, sekota, sekecamatan, sekelurahan, seperumahan. Kita senang, mereka pun senang. Di sana senang, di sini senang, di mana-mana kita senang.

Akhir kata, negara kita sudah memberikan mekanisme referendum untuk mengambil keputusan yang rumit. Andai ingin dicoba, referendum terbatas untuk warga Bandung bisa dilaksanakan. Langkah ini diharapkan lebih demokratis dan fair, meskipun bukan yang terbaik. Silakan yang pro dan kontra mengampanyekan kelebihan dan kekurangan PLTSa. Semoga cara ini dapat mendidik masyarakat menjadi kian peduli pada kondisi kotanya. *

2 komentar:

  1. Assalamualaikum Pak Gede, Salam kenal.
    Di artikel ini anda banyak memberikan stressing pada culture masyarakat (dan memang itu niat anda dlm artikel tsb-tdk mengulas di sisi solusi) Lantas apa program subtitusi dari PLTSa? Faktor2 apa saja yang ditimbang manfaat & madharatnya?

    wass

    BalasHapus
  2. Anda keliru berkata bahwa tekanan artikel saya pada culture masyarakat. Ini hanya bagian kecil dari 100% masalah sampah di semua kota besar. Bagi saya tidak ada substitusi. Istilah ini pun keliru. Yang tepat, pendekatan alamiah dengan memanfaatkan keberlimpahan kekayaan biomassa yang diberikan Allah kepada manusia dan berserak-serak di semua tanah kita, khususnya di Bandung Raya.

    Faktor-faktor ini Anda tanyakan lagi, itu semua sudah pernah saya bahas di semua artikel saya tentang sampah sejak bulan Maret 2005. Silakan Anda agak sabar sedikit untuk membaca semua artikel saya tentang sampah dan PLTSa di blog ini.

    Demikian dan trims atas kunjungan Anda. Semoga anda, dan juga siapa pun, baik pro maupun kontra atas PLTSa, mendapat pencerahan setelah membaca tuntas semua tulisan saya. Jangan setengah-setengah.

    Yang tak kalah penting adalah menuliskan identitas yang sangat jelas kalau ingin berdiskusi panjang di blog ini. Yang seperti inilah yang akan dilayani sampai di mana dan sampai kapan pun. Demikian dan salam.

    BalasHapus