Impor Rektor Untuk PTS?
Oleh
Gede H. Cahyana
Lektor
Kepala Universitas Kebangsaan
(Dimuat di koran Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2019)
Setelah
ide impor rektor menuai kritik dan penolakan di berbagai perguruan tinggi
negeri (PTN), lantas muncul pernyataan dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP)
bahwa rektor asing akan diposisikan di perguruan tinggi swasta (PTS). Tahun
2020 yang hanya empat bulan lagi akan menjadi awal pelaksanaan ide tersebut.
Perlukah PTS dipimpin oleh rektor yang berasal dari luar negeri? Luar negeri
yang mana? ASEAN, Timur Jauh, Timur Tengah, Amerika, Australia, Eropa, ataukah Afrika?
Sebelum jauh berdiskusi tentang rektor di PTS, Kepala KSP dan stafnya perlu memahami dulu relasi antara pimpinan PTS dan yayasan. Yayasan adalah satu di antara jenis-jenis Badan Penyelenggara PTS seperti Paguyuban, Persyarikatan, Perkumpulan. Berbeda dengan rektor di PTN (misal ITB, UPI, Unpad) yang memang ada “tangan” Menteri Ristekdikti dalam memilih rektor, di PTS bergantung pada persetujuan Badan Penyelenggara. Senat di PTS, khususnya PTS yang sudah memiliki profesor dari kalangan dosen tetap yayasan atau katakanlah Associate Professor (Prof. Asc) akan memberikan resistensi pada ide rektor asing.
Adakah
yayasan yang setuju begitu saja terhadap orang asing yang memimpin kampus
binaannya? Di mana peran yayasan dalam membina karir dosen tetap yayasan? Bukankah
dosen tetap ini adalah aset SDM yang tak ternilai harganya? Sebab, karir dosen,
katakanlah yang profesor membutuhkan waktu hingga 25 tahun kerja dan sekolah doktor
yang mahal dalam waktu lima tahun. Aset ini yang tidak ternilai.
Itu
sebabnya, kampus yang gagal dalam regenerasi dosen, yakni dosen yang berjabatan
fungsional Prof. Asc. dan Prof, bisa turun akreditasinya di masa depan. SDM
berjabatan fungsional ini harus ajeg ada sehingga harus rutin dikaderisasi.
Tidak bisa dari bajak membajak dosen lantaran sekarang sudah ada homebase dosen. Akankah orang asing yang
tidak dikenal jejak karakter akademiknya dipercaya oleh yayasan dan senat untuk
memimpin kampus yang dirawat puluhan tahun oleh sivitas akademika dan yayasan?
Apa urgensinya?
Sampai
saat ini belum ada urgensi untuk impor orang asing menjadi rektor di PTS. Di PTN
boleh jadi ada lantaran Menteri Ristekdikti punya peran dalam pemilihan rektor.
Cermati saja kasus pemilihan rektor Universitas Padjadjaran yang akhirnya
diulang lagi. Jelas bukan? Bahkan beberapa anggota senatnya cenderung pada
rektor yang WNI, bukan orang asing. Ini pertanda bahwa SDM Universitas
Padjadjaran percaya diri, tidak inferior di bawah orang asing.
Bagaimana
di PTS? Yang dibutuhkan PTS adalah mitra asing yang mumpuni dalam penelitian
(riset). Kemenristekdikti sebaiknya mendatangkan dosen asing dengan kaliber
peneliti di bidang yang dibutuhkan oleh PTS. Kualifikasi dosen asing ini haruslah
yang sudah dikenal di dunia riset dengan indikator Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI), puluhan artikel di jurnal ilmiah bereputasi tinggi, diindeks
Scopus atau Web of Science, dan memiliki paten yang sudah produktif di pasar
komersial. Dosen asing yang secara kognitif sudah diakui internasional dan mencapai
rekognisi tinggi inilah yang dapat memacu riset di PTS.
Tugas
utama dosen asing adalah menjadi tutor bagi dosen di PTS agar bisa menulis artikel
yang terbit di jurnal internasional dengan impact
factor (IF) tinggi. Bukan sekadar internasional apalagi yang predator. Kemenristekdikti
sudah paham persentase dosen yang menulis artikel di jurnal ber-IF tinggi. Ini
tugas berat pendidikan tinggi kita. Maka, manfaatkanlah orang asing itu untuk
mencapai dua target pokok perguruan tinggi, khususnya PTS.
Yang
pertama adalah tema riset. Riset apa yang sedang pesat di luar negeri dan
sejauh mana perkembangannya. Bahasa mudahnya, sudah sampai di mana
temuan-temuan baru (innovation, novelty-nya). Bagi dosen PTS, tema riset
ini seperti berlian terpendam yang sulit diangkat. Perlu tutor dan mentor dalam
riset. Selaras dengan itu, penempatan dosen asing di PTS harus sekaligus dengan
anggarannya. Jangan PTS yang disuruh membayar gajinya. Gaji dan dana riset
sudah termasuk di dalam surat keputusan penempatan (dipekerjakan) di sebuah
PTS.
Yang
kedua adalah masalah publikasi di jurnal ber-IF tinggi. Kendala bahasa, khususnya
bahasa Inggris untuk jurnal sainstek dan bahasa Arab untuk jurnal di kampus swasta
berbasis Islam. Di sinilah peran penting dosen asing yang rekognisinya dikenal
luas di dunia riset dan jurnal internasional. Apalagi kalau dosen asing ini
menjadi editor atau peer reviewer
jurnal bereputasi tinggi. Tentu makin lapang jalan menuju publikasi
internasional tersebut. Bukan dengan main koneksi, tetapi memanfaatkan
kepakaran dosen asing untuk memperkenalkan para dosen PTS menjadi masyarakat
akademik dunia. Tidak sekadar dicantumkan namanya di dalam artikel, tetapi ikut
memberikan kontribusi substantif artikelnya. Dosen PTS harus diberi tanggung
jawab dalam menulis bagian tertentu dari konten artikelnya. Inilah yang
diperlukan dosen PTS untuk “memecahkan telor” publikasi di jurnal internasional
yang terbit di negara-negara maju.
Proposal dan Laboratorium
Bagian
akhir ini adalah sumber dari nilai rendah PTS dalam publikasi. Mayoritas kalah
dalam kompetisi hibah di Kemenristekdikti. Kalah dalam proposal. Banyak dosen
PTS yang berminat meneliti yang dilanjut dengan publikasi di jurnal ilmiah
internasional bereputasi. Namun benturan yang terjadi adalah dalam mewujudkan
ide menjadi proposal yang memenuhi pedoman dan standar Kemenristekdikti. Kontribusi
dosen asing tersebut bisa di hulu proses riset selain di hilir berupa publikasi
seperti dibahas di atas.
Yang
dimaksud laboratorium bukanlah gedungnya. Tetapi isinya. Alat-alat dan bahan
atau zat kimia, tanaman, hewan, dll. Seiring dengan ide impor rektor (dosen)
asing tersebut, agar mereka bisa memajukan PTS maka bantulah PTS untuk
melengkapi laboratoriumnya dengan alat, bahan yang dibutuhkan untuk riset.
Adakah anggaran Kemenristekdikti dalam pembaruan alat dan bahan di laboratorium
untuk semua PTS? Jika siap anggarannya, PTS justru yang akan berlomba-lomba
meminta agar dosen asing bisa dipekerjakan di PTS. Menjadi rektor pun, mungkin saja
disetujui oleh yayasan, senat dan sivitas akademikanya. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar