Artikel ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat, 2 Januari 2007. Isinya adalah ajakan kepada semua orang, khususnya pejabat publik, untuk lebih peduli pada ekologi dan lingkungan hidupnya. Yang disentuh di sini tidak hanya pejabat di departemen, dinas, badan, lembaga yang berkaitan langsung dengan lingkungan, tetapi juga semua pejabat lainnya. Sebab, jangankan yang di luar "mata rantai lingkungan", yang berada di dalamnya saja banyak yang tak peduli dan hanya mengacu pada program-program (baca: projek) lingkungan yang memang ada uangnya.
Istilah Enviro Intelligence (En Q) atau Ecological Intelligence ini diilhami oleh kecerdasan yang lebih dulu populer, yaitu IQ, EQ, dan SQ. Mudah-mudahan En Q ini dapat memicu dan memacu kinerja pejabat publik kita.
*****
Habis kemarau terbitlah banjir. Habis tsunami meluaplah sungai. Aceh kembali dipapar "bencana". Namun kali ini lebih disebabkan oleh perbuatan manusia, yaitu pembabatan areal Hutan Leuser. Hal serupa terjadi di Sumatera Utara dan Selatan. Bagaimana di Jawa Barat, khususnya di Bandung Selatan? Ternyata banjir juga. Malah diduga daerah ini akan banjir "abadi". Sumber airnya tak lain dari luapan Citarum, seutas sungai sepanjang 270 km yang bermuara di pesisir Kabupaten Karawang. Sudah diketahui bahwa ada 14 kecamatan yang potensial digenangi banjir. Apalagi pada Januari-Februari 2007 intensitas hujan, menurut BMG, semakin tinggi dan nyaris mengguyur seluruh Jawa. Akankah seperti di Aceh Tamiang?
Selain banjir yang memutus transportasi dan merusak ekonomi yang memang sudah parah akibat penutupan pabrik di Bandung Selatan, erosi pun menjadi-jadi. Airnya coklat tua, makin keruh disarati lempung sehingga sedimentasinya kian tebal lantas mendangkalkan alur sungai dan waduk Saguling. Terancamlah pasokan listrik yang memang sudah defisit. Tanpa listrik, tak banyaklah kerja yang bisa dilakukan. Tidak hanya itu, sungai yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung ini pun "dikerubuti" air limbah (outfall) pabrik dan menerima limpasan air limbah domestik dari Kota Bandung, baik langsung dari anak-anak sungainya maupun efluen dari IPAL Bojongsoang. Bisa diukur, seberapa parah polutan organiknya dan berapa pula polutan logam beratnya.
Memang, sejak awal dekade 1990-an, kerusakan hulu Citarum telah menyentak pemerintah pusat dan daerah. Berbagai upaya dilakukan di antaranya pengerukan. Hanya saja, dikeruk tanpa peduli pada sumber erosi, yaitu kondisi hutan di hulunya, maka kegiatan itu menjadi sekadar projek tanpa hasil jangka panjang. Yang terjadi: banjir lagi banjir lagi. Mengapa pemerintah (seolah-olah) bergeming menatap laju deforestasi dan degradasi ekologi Citarum? Tak hendakkah pemerintah merevolusi pola peduli lingkungan atas dirinya, industrialis dan warga tatar Bandung selaku pejabat publik, PNS, pegawai swasta, rakyat biasa? Apa kabar Citarum Bergeutar (bersih, geulis, lestari)? Sudah bersihkah dikau? Cantikkah? Lestarikah (fungsi) lingkunganmu? Apa kabar Gerakan Cikapundung Bersih? Pada skala nasional, apa kabar Prokasih (program kali bersih)?
Banjir Citarum adalah skala besar. Tetapi yang skala kecil pun (cileuncang) terjadi dan nyaris merata di Bandung. Sumber petakanya tak lain daripada sampah. Padahal Perda K3 sudah dirilis tetapi belum menjadi alat kendali perilaku warga. Onggokan sampah tampak di mana-mana. Yang terdekat ialah sampah di rumah dan di kantor. Ada kantor yang menyediakan dua bak sampah berdampingan. Yang satu untuk sampah basah (sisa makanan) dan satunya lagi untuk sampah kering (kertas, plastik). Coba perhatikan, sampah di bak itu pasti bercampur. Berani "bertaruh?". Yang seharusnya masuk ke bak sampah kering malah dibuang ke bak sampah basah. Begitu sebaliknya. Padahal perintah dan keterangannya sudah dibuat bagus dan hurufnya besar-besar. Buta hurufkah? Tidak juga. Ironis, bukan?
Yang juga berkaitan dengan banjir ialah hutan kota atau pohon penyejuk kota. Kalau banyak pohonnya, secara alamiah tak perlulah dibuatkan sumur atau bidang peresap. Apalagi tidak semua daerah cocok dibuatkan sumur peresap. Tapi apa yang terjadi? Pohon-pohon besarnya banyak yang ditebang lalu diganti dengan yang kecil-kecil. Tak lama berselang, banyaklah yang mati. Sepatutnya ditanam dulu pohon yang agak besar, dipelihara, lalu sekian tahun kemudian barulah yang besar ditebang. Ikuti saja slogan nan elok, yaitu esa hilang dua terbilang. Tebang satu, tanamlah dua. Ini demi peduli ekologi, konservasi air, dan penangkal banjir. Terlebih lagi pepohonan itu mampu mengubah karbon dioksida menjadi oksigen dan menambah kenyamanan psikologis warga kota. Bukankah nyaman duduk-duduk di bawah pohon rindang?
Enviro-intelligence
Mengapa masalah klasik seperti banjir belum juga usai dan disinyalir takkan tuntas? Kekerapan banjir, longsor, diare, dan krisis beras menjadi bukti keidiotan kita secara enviro-intelligence atau ecological-intelligence. Paparan di atas meneguhkan bangsa kita sebagai tancerdas secara lingkungan-ekologis. Tak punya rasa memiliki dan tak peduli pada apa yang akan terjadi, apalagi kalau bencana itu tidak menimpanya. Misalnya, ada cukong kayu yang tinggal di Jakarta tetapi menguasai berhektar-hektar hutan di berbagai daerah. Raihan uangnya milyaran rupiah tanpa harus susah payah menanam pohon dan tak pernah kena banjir.
Melihat fenomena tersebut, cerdaskah bangsa kita? Kalau ditilik dari intelektualnya, dari strata sekolahnya, dapat dikatakan sudah cerdas tanpa menafikan 13 juta orang yang masih buta huruf. Artinya, yang bodoh secara harfiah memang ada; tetapi yang bodoh dalam arti jahil, dan ini yang justru berbahaya, jauh lebih banyak jumlahnya. Umumnya mereka bergelar sarjana, magister, doktor, profesor, jenderal, peneliti, guru, dosen, pengusaha, dan pejabat publik. Bisa dipastikan, koruptor kelas kakap ialah manusia pintar. Kalau tidak pintar atau tidak cerdik pasti cepat ketahuan dan ditangkap. Namun demikian, bukan orang pintar yang kita butuhkan melainkan orang jujur yang pintar. Minimal orang jujur yang biasa-biasa saja kecerdasan intelektualnya, asalkan tidak imbisil.
Lantas secara emosi, cerdaskah bangsa kita? Emosi ialah ukuran hati (kalbu). Kerapkali kita saksikan ribut-ribut adu mulut dan tinju di masyarakat, juga perseteruan antarwakil rakyat dan birokrat, dan antarsesepuh masyarakat. Perilaku itu berhulu di hati yang tidak peka, tak peduli, dan tidak partisipatif. Tipis empatinya (empathy). Simpulnya ialah belum cerdas-emosi. Masih diperbudak oleh nafsu dan ambisius dengan cara menihilkan peran kolega kerja. Egoismenya kental dan senantiasa mencurigai orang lain. Mereka memosisikan orang lain sebagai musuh. Suka tak suka, orang lain harus di belakangnya dan harus mengikutinya perintahnya. Soliter dan individualis.
Bagaimana secara spiritual? Istilah spiritual di sini lebih diarahkan pada makna menghidupkan atau memberikan kehidupan. Kata spiritual berakar pada kata Latin "spiritus" yang artinya sesuatu yang memberikan kehidupan, pemberi vitalitas. Merujuk pada artinya itu, di sini spiritual diartikan sebagai upaya menghidup-hidupkan warga bangsa dalam setiap tugasnya masing-masing. Dengan kata lain, spiritual di sini tidak diarahkan pada agama, tetapi cenderung pemberian nilai pada hidup manusia secara sosial dan negara sebagai institusi, termasuk menghidupkan hati dari kebekuan kecerdasan lingkungan-ekologis.
Dengan menggabungkan ketiga jenis kecerdasan itu maka masyarakat, terutama pejabat publik akan dapat membangun kecerdasan lingkungannya. Tidak berpikir jumud dan mengerahkan kecerdasannya untuk kemaslahatan lingkungan-ekologis. Kekuasaan yang digenggamnya dijadikan alat bela-lingkungan dan tegas (emphatic) melawan pelanggar peraturan dan memenjarakannya dengan denda setinggi-tingginya. Kekuatan politiknya juga diterapkan untuk mengerahkan dukungan politis dan boikot terhadap perusak lingkungan, seperti industrialis dan pengusaha cacat moral. Satu syaratnya, dia harus menjadi orang "bersih" terlebih dulu. Jika dia "kotor", mustahillah dia mampu "membersihkan" orang lain.
Sudah waktunya kita memilih pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, dan hankam yang “bersih” dan berorientasi pada enviro-intelligence. Setelah mumpuni secara intelektual, hendaklah belajar mencerdaskan emosinya lalu menguatkan spiritualnya dengan tujuan mengukuhkan enviro-intelligence. Andaikata kecerdasan enviro tak jua berhasil, maka dalam lingkup Jawa Barat ini, jadikan saja Citarum sebagai sungai sakral seperti Sungai Gangga di India. Mungkinkah? Yang pasti, sulitlah berenang (menyelam) di air banjir nan keruh: you should never dive in the murky water!
Cara lain, terjemahkan saja angka 2007 menjadi: dua kali lebih kreatif, lebih jujur, dan lebih amanah dalam bertugas. Lalu 007 dijadikan jimat a la James Bond agar menjadi orang kreatif pelawan perusak lingkungan, siapa pun mereka, termasuk pejabat yang idiot enviro-intelligence-nya. Semoga bertambah umur bertambah pula kecerdasan lingkungannya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar