Oleh Gede H.
Cahyana
Berdasarkan
catatan sejarah, ganti menteri diikuti oleh ganti kurikulum, ganti kurikulum
berarti ganti buku. Bahkan nama departemen pun diubah menjadi kementerian dan
nama Pendidikan dan Kebudayaan diganti menjadi Pendidikan Nasional kemudian
beralih lagi menjadi Pendidikan dan Kebudayaan. Yang tetap hanya satu yaitu
bisnis buku. Ganti buku sama dengan bisnis baru. Kurikulum 2013, apapun alasan yang
disertakannya, pastilah memunculkan buku baru yang harus dibeli, meskipun buku
itu sekadar ganti sampul (cover). Bisnis
buku pelajaran sekolah adalah bisnis yang menggiurkan, jauh lebih menguntungkan
daripada buku umum.
Sejarah
mencatat, pada tahun 2008 pemerintah
merilis 407 buku yang bisa
digandakan dan dijual bebas dengan mengacu pada harga eceran tertinggi. Buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya
oleh Depdiknas pada waktu itu
menjadi acuan proses belajar mengajar di Indonesia. Hanya saja, buku
tersebut mengurangi, bahkan
menghapus peluang memperoleh uang dari “royalti” penjualan buku yang
dihadiahkan oleh penerbit atau supplier.
Sejak dulu tentakel gurita penerbit atau pemasok ini masuk ke sekolah. Dulu ada
PP No. 11/2005 yang intinya pemberlakuan buku selama lima tahun. Tapi faktanya,
buku tetap bergonta-ganti dari semester ke semester dan sekolah (Disdik)
tak berkutik pada untaian uang yang
dikibaskan penerbit. Godaan ini kian besar dari semester ke semester seiring
dengan kian variatifnya jenis buku dan LKS yang diterbitkan pebisnis buku.
Aspek legal, mulai dari pemerintah pusat s.d pemerintah daerah sudah tak
terhitung lagi. Sudah banyak peraturan tentang tataniaga buku pelajaran sekolah
tetapi tidak ada yang menyentuh substansinya atau tak
diacuhkan oleh guru dan kepala sekolah. Apalagi ada iming-iming komputer,
motor, alat-alat laboratorium atau uang jutaan dari penerbit kalau guru dan
kepala sekolah mau menggunakan bukunya, baik berupa buku pelajaran maupun
lembar kerja siswa (LKS). Pemerintah daerah (cq. Disdik) seolah-olah tak
menggubris peraturan dan keputusan pemerintah pusat karena merasa punya hak
otonomi.
Itu sebabnya terus bermunculan modus operandi baru dalam penjualan buku di
sekolah, misalnya penerbit atau pemasok datang ke sekolah menggunakan mobil display atau van. Tentu saja sebelumnya
utusan penerbit sudah kontak dengan kepala sekolah dan guru-guru. Bukunya
memang tidak dijualkan oleh guru tetapi murid-murid disuruh membeli langsung ke
penerbit. Mobilnya pun tidak masuk ke halaman sekolah tetapi penerbit menjual
buku-bukunya di luar sekolah. Untuk soal latihan, guru menyuruh murid
mengerjakan soal-soal di buku LKS. Murid yang tidak punya buku dan LKS harus
menulis soalnya dulu sehingga sering tidak selesai dan nilainya kecil.
Murid yang lemah ekonominya tidak dapat mengerjakan pelajaran dan tidak
dapat menjawab soal LKS. Mau tak mau murid ini merengek ke orang tuanya agar
dibelikan LKS. Namun sayangnya, buku berkategori LKS ini kerapkali hanya
dibahas dua-tiga halaman lalu tidak pernah lagi dibahas oleh gurunya. Selama
satu semester buku LKS itu hanya menumpuk di meja atau di rak buku murid dan
tak pernah dibuka-buka lagi. Parahnya lagi, tahun berikutnya tak bisa digunakan
oleh adiknya karena sekolah (guru) sudah beralih ke penerbit lain. Begitulah
setiap semester atau setiap tahun. Dengan kata lain, guru menyuruh murid
membeli buku dan LKS hanyalah demi “royalti” dari penerbit. Harganya pun tidak
main-main, antara Rp 200.000 s.d Rp 400.000-an per semester per orang/murid.
Bayangkan kalau satu keluarga beranak dua atau tiga orang, berapa juta rogohan
ke dompetnya yang justru terjadi ketika ada gembar-gembor sekolah gratis?
Seiring dengan Kurikulum 2013 ini,
sebetulnya tak masalah kalau sekolah
(guru) menggunakan buku apa saja, yang penting sesuai dengan materi
dalam kurikulum. Yang lebih penting lagi, dan ini mendukung
sekolah murah (apalagi sekolah gratis) adalah harganya murah dan mudah
diperoleh. Mudah diperoleh berarti kuantitasnya banyak di pasar, ada di mana-mana,
dari kota sampai ke pelosok. Yang sering terlupakan, pemerintah hanya
mengutamakan daerah perkotaan yang mudah aksesnya dalam memperoleh buku
pelajaran. Acuan perubahan kurikulum pun lebih banyak ke sekolah dan murid/guru
di kota-kota sedangkan yang di desa atau pelosok masih jauh tertinggal. Belum
sempat mempelajari dan menerapkan kurikulum yang berlaku, kurikulum malah sudah
diubah. Nyaris begitu setiap kali ganti menteri. Perubahan kurikulum itu bisa
terjadi di awal jabatannya, bisa juga dilaksanakan pada tahun akhir masa
jabatannya. Yang penting, ada perubahan. Mungkin begitu prinsip para menteri
itu. *
Ironisnya dunia pendidikan
BalasHapus