• L3
  • Email :
  • Search :

17 Maret 2013

Bisnis Buku di Balik Perubahan Kurikulum


Oleh Gede H. Cahyana

Berdasarkan catatan sejarah, ganti menteri diikuti oleh ganti kurikulum, ganti kurikulum berarti ganti buku. Bahkan nama departemen pun diubah menjadi kementerian dan nama Pendidikan dan Kebudayaan diganti menjadi Pendidikan Nasional kemudian beralih lagi menjadi Pendidikan dan Kebudayaan. Yang tetap hanya satu yaitu bisnis buku. Ganti buku sama dengan bisnis baru. Kurikulum 2013, apapun alasan yang disertakannya, pastilah memunculkan buku baru yang harus dibeli, meskipun buku itu sekadar ganti sampul (cover). Bisnis buku pelajaran sekolah adalah bisnis yang menggiurkan, jauh lebih menguntungkan daripada buku umum.

Sejarah mencatat, pada tahun 2008 pemerintah merilis 407 buku yang bisa digandakan dan dijual bebas dengan mengacu pada harga eceran tertinggi. Buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas pada waktu itu menjadi acuan proses belajar mengajar di Indonesia. Hanya saja, buku tersebut mengurangi, bahkan menghapus peluang memperoleh uang dari “royalti” penjualan buku yang dihadiahkan oleh penerbit atau supplier. Sejak dulu tentakel gurita penerbit atau pemasok ini masuk ke sekolah. Dulu ada PP No. 11/2005 yang intinya pemberlakuan buku selama lima tahun. Tapi faktanya, buku tetap bergonta-ganti dari semester ke semester dan sekolah (Disdik) tak berkutik pada untaian uang yang dikibaskan penerbit. Godaan ini kian besar dari semester ke semester seiring dengan kian variatifnya jenis buku dan LKS yang diterbitkan pebisnis buku.

Aspek legal, mulai dari pemerintah pusat s.d pemerintah daerah sudah tak terhitung lagi. Sudah banyak peraturan tentang tataniaga buku pelajaran sekolah tetapi tidak ada yang menyentuh substansinya atau tak diacuhkan oleh guru dan kepala sekolah. Apalagi ada iming-iming komputer, motor, alat-alat laboratorium atau uang jutaan dari penerbit kalau guru dan kepala sekolah mau menggunakan bukunya, baik berupa buku pelajaran maupun lembar kerja siswa (LKS). Pemerintah daerah (cq. Disdik) seolah-olah tak menggubris peraturan dan keputusan pemerintah pusat karena merasa punya hak otonomi.

Itu sebabnya terus bermunculan modus operandi baru dalam penjualan buku di sekolah, misalnya penerbit atau pemasok datang ke sekolah menggunakan mobil display atau van. Tentu saja sebelumnya utusan penerbit sudah kontak dengan kepala sekolah dan guru-guru. Bukunya memang tidak dijualkan oleh guru tetapi murid-murid disuruh membeli langsung ke penerbit. Mobilnya pun tidak masuk ke halaman sekolah tetapi penerbit menjual buku-bukunya di luar sekolah. Untuk soal latihan, guru menyuruh murid mengerjakan soal-soal di buku LKS. Murid yang tidak punya buku dan LKS harus menulis soalnya dulu sehingga sering tidak selesai dan nilainya kecil.

Murid yang lemah ekonominya tidak dapat mengerjakan pelajaran dan tidak dapat menjawab soal LKS. Mau tak mau murid ini merengek ke orang tuanya agar dibelikan LKS. Namun sayangnya, buku berkategori LKS ini kerapkali hanya dibahas dua-tiga halaman lalu tidak pernah lagi dibahas oleh gurunya. Selama satu semester buku LKS itu hanya menumpuk di meja atau di rak buku murid dan tak pernah dibuka-buka lagi. Parahnya lagi, tahun berikutnya tak bisa digunakan oleh adiknya karena sekolah (guru) sudah beralih ke penerbit lain. Begitulah setiap semester atau setiap tahun. Dengan kata lain, guru menyuruh murid membeli buku dan LKS hanyalah demi “royalti” dari penerbit. Harganya pun tidak main-main, antara Rp 200.000 s.d Rp 400.000-an per semester per orang/murid. Bayangkan kalau satu keluarga beranak dua atau tiga orang, berapa juta rogohan ke dompetnya yang justru terjadi ketika ada gembar-gembor sekolah gratis?

Seiring dengan Kurikulum 2013 ini, sebetulnya tak masalah kalau sekolah (guru) menggunakan buku apa saja, yang penting sesuai dengan materi dalam kurikulum. Yang lebih penting lagi, dan ini mendukung sekolah murah (apalagi sekolah gratis) adalah harganya murah dan mudah diperoleh. Mudah diperoleh berarti kuantitasnya banyak di pasar, ada di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok. Yang sering terlupakan, pemerintah hanya mengutamakan daerah perkotaan yang mudah aksesnya dalam memperoleh buku pelajaran. Acuan perubahan kurikulum pun lebih banyak ke sekolah dan murid/guru di kota-kota sedangkan yang di desa atau pelosok masih jauh tertinggal. Belum sempat mempelajari dan menerapkan kurikulum yang berlaku, kurikulum malah sudah diubah. Nyaris begitu setiap kali ganti menteri. Perubahan kurikulum itu bisa terjadi di awal jabatannya, bisa juga dilaksanakan pada tahun akhir masa jabatannya. Yang penting, ada perubahan. Mungkin begitu prinsip para menteri itu. *

1 komentar: