• L3
  • Email :
  • Search :

20 Desember 2006

Poliandri: Kenapa Haram?

Saya menerima sutel (surat elektronik, e-mail) perihal poliandri dan diskusi poliandri di milis Mediacare. Kenapa poliandri tak diizinkan dalam Islam sebagai solusi menghindari zina?

Berbeda dengan poligami yang diharapkan dapat mencegah selingkuh atau zina, status poliandri justru dekat dengan perusakan nilai-nilai moral dan tatanan kehidupan masyarakat. Singkatnya, poliandri itu tak sesuai dengan fitrah perempuan, baik dari sisi fisiknya (fisiologis) maupun emosinya (psikologis). Sebelum membahas keburukan poliandri, saya hendak membuat analogi yang berupa binatang, yaitu ayam. Penting dipahami, pengambilan analogi ini tidak berarti manusia sama dengan binatang atau ayam. Sama sekali tak ada niat penyamaan demikian. Sebab, manusia adalah makhluk termulia yang Allah ciptakan di antara makhluk lainnya dari kelompok binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dll.

Analogi saya seperti ini. Misalkanlah kita punya satu ayam betina dan empat ayam jantan. Kemudian lima ayam ini dimasukkan ke dalam satu kandang dengan asumsi tidak beradu terus. Aman-aman saja (tapi faktanya, ayam-ayam jago-jantan itu pasti terus bertarung sampai ada yang kalah. Untuk contoh kali ini, umpamakanlah semuanya akur-akur saja). Apa yang bakal terjadi sekian bulan kemudian? Dapat diduga, bahkan nyaris bisa dipastikan, ayam betina itu mulai bertelur. Sebutir sehari, lama-lama menjadi banyak. Setelah semua telurnya keluar, mulailah ayam betina itu mengeraminya. Dalam tempo 21 hari ke depan, satu demi satu menetaslah telur-telur itu menjadi anak-anak ayam yang lucu-lucu. Setelah semuanya menetas, bisakah kita menentukan siapa “bapak” anak-anak ayam itu?

Marilah berandai-andai. Andaikata hal demikian terjadi pada manusia, apa yang akan terjadi? Bukankah satu orang perempuan akan bisa diperistri oleh empat orang lelaki dalam satu waktu dan bahkan tinggal dalam satu rumah? Setelah menikah pertama kali, tak lama kemudian dia (menikah) dinikahi lagi oleh lelaki kedua, lalu oleh ketiga, dan oleh yang keempat. Lalu siapa yang menjadi bapak bagi bayi-bayi mungil nan lucu itu? Kira-kira akurkah keempat suaminya dalam menanti giliran koitus dan dalam mengasuh anak-anaknya? Siapakah yang wajib memberikan nafkah lahirnya? Yang banyak memasok uang buat istrinya bolehkah memiliki jatah lebih banyak bercumbu dengannya? Sehatkah persaingannya, jika boleh disebut demikian, antarsuami itu?

Perihal penetapan bapak bagi bayi-bayinya setiap kali melahirkan, bisakah dites dengan DNA? Sekarang, katanya, sudah bisa dan telah dilakukan untuk kasus-kasus kehilangan anak atau anak yang tertukar di rumah sakit atau dalam masalah hukum lainnya. Banyak yang kena kasus seperti ini, tak jelas siapa bapak bayinya, tetapi bukan lantaran poliandri melainkan selingkuh. Sampai-sampai ada yang membunuh bayinya atau digugurkan sebelum sempat lahir. Kembali ke soal tes DNA. Saya optimis, suatu saat kelak akan ditemukan juga kelemahan tes DNA ini sehingga hasilnya bisa meragukan siapa ayah sang bayi. Akurasinya akan dipertanyakan dengan temuan-temuan baru di bidang instrumentasi dan kontrol. Lagi pula, kasus-kasus yang muncul tentang tes ini tidak 100% diungkap di media massa dan ada yang tidak dipublikasikan dengan beragam alasan. Off the record, begitu kilah pelakunya.

Selain itu, apakah Sang Khalik tidak tahu bahwa akan ditemukan teknologi DNA pada abad ke-20 lalu untuk menduga siapa bapak bayi-bayi itu? Mustahil Al Khalik tak tahu apa yang bakal terjadi. Dia tahu apa yang bakal terjadi, bahkan sejak awal alam ini diciptakan-Nya. Karena tes DNA ini sangat mahal, mungkin juga dilakukan di luar Indonesia, bagaimana kalau orangnya tidak mampu membayar tesnya, lalu siapa bapak sang jabang bayi nan suci itu? Berapa lama ia harus menunggu? Padahal ia harus segera dibuatkan akta-lahir agar sah sebagai warga baru negara nyiur melambai ini atau negara lain tempatnya lahir.

Bayangkan kalau jutaan perempuan berpoliandri, apa yang akan terjadi pada negara ini dan negara-negara lainnya? Bagaimana pada berabad-abad lalu ketika tes DNA belum ada dan istilah DNA pun belum dikenal? Bagaimana kalau anaknya cacat, idiot, imbisil, kembar siam, dll, siapa yang harus menanggung biaya operasi separasinya dan biaya pendidikannya di Sekolah Luar Biasa, apakah suami A, B, C, ataukah D? Jangan-jangan semuanya lepas tangan dan pergi begitu saja lalu mencari lagi perempuan lain yang hendak berpoliandri dan begitu lagi terjadi berkali-kali. Habis manis, sepah dibuang dan bisa menimbulkan akumulasi janda-janda tua yang beranak banyak tetapi dalam kondisi yang lemah, miskin, menderita, tak bersekolah, dan tanpa kekuatan tawar secara sosial. Perempuan menjadi tak berharga sama sekali, sama persis seperti masa sebelum kenabian Muhammad.

Setelah kemelut membiayai sekolahnya dari SD sampai perguruan tinggi karena saling tunjuk dan tak mau mengakui itu anaknya atau sebaliknya suami-suami itu saling berebut anak ketika anaknya prestatif di sekolah, masalah lebih besar lagi datang menghadang setelah anak gadisnya hendak menikah. Siapa wali nikahnya? Bapak A, B, C, ataukah D? Lalu siapa yang akan menjadi ahli warisnya kalau salah satu suaminya meninggal? Adakah suaminya yang masih hidup berhak juga atas warisan harta suami yang meninggal? Jika ada suaminya pengangguran atau malas bekerja, bagaimana kira-kira respons suami-suaminya yang lain yang bekerja keras mencari nafkah terhadap suami penganggur itu? Bagaimana kalau yang penganggur itu fisiknya atletis dan tampan serta disayangi istrinya sehingga tiga yang lainnya menjadi kesal dan merencanakan konspirasi? Begitu juga dalam soal nafkah pangan, sandang, papan, dll, siapa yang wajib menanggungnya?

Lantas, siapa yang mesti ditaati oleh istri ketika ada komando dari keempat suaminya untuk bepergian? Suami pertama ingin ke Bali, yang kedua ingin ke Bunaken, yang ketiga ingin ke Solo, yang keempat justru ingin di rumah saja karena kebelet ingin “yang itu tu”. Pada masa lebaran misalnya, juga pada hari-hari biasa lainnya, siapa yang akan dipatuhinya, apakah suami A, B, C, ataukah D? Tidakkah potensi bertengkarnya menjadi begitu besar? Padahal salah satu dari sekian banyak fungsi menikah adalah membangun rumah tangga agar terwujud cita-cita tertinggi, yaitu sakinah. Minimal anak-anaknya menjadi anak yang taat shalat, menunaikan zakat dan rajin sedekah, gemar membantu orang lain, dan banyak lagi yang lain, tak terbatas jumlahnya.

Satu hal lagi, semua perempuan pasti haid dan suatu saat akan menopause. Bagaimana nanti pada saat giliran suami A, dia haid? Begitu juga ketika giliran B, C, dan D dia haid padahal para suaminya sedang tinggi tegangannya. Tidakkah ini akan menimbulkan pertentangan dengan para suami lainnya? Atau, karena dalam satu rumah apalagi dalam satu tempat tidur, justru antarsuami itu berbaikan dan bermesraan sehingga terjadilah homoseksual di dalam rumah tangga itu? Begitu pula ketika menopause, bagaimana keempat suaminya memenuhi kebutuhan seksnya yang memang tak berbatas usia? (Bahkan pernah ada kakek berusia 78 tahun memperkosa anak SD saking kebeletnya). Apakah sang istri dicerai begitu saja dan tak satu pun yang rela menafkahinya dari sisi pangan, sandang, dan papan karena saling tuding bahwa dirinya paling sedikit berseraga dengan istrinya ketika belum menopause dan belum tua? Tidakkah ini potensial menimbulkan "perang" antarsuami?

Di sisi lain, elastisitas vagina perempuan pun berkurang kalau dia bersetubuh dengan lelaki lain secara berganti-ganti. Taruhlah dia punya empat suami, maka elastisitasnya akan berkurang dibandingkan dia memiliki satu suami. Jangankan empat pada saat yang sama (poliandri), empat lelaki yang berurutan (secara seri) karena kawin-cerai kawin-cerai terus, maka vaginanya bisa tidak elastis lagi. Kontraksinya melemah sehingga daya cengkeramnya juga melemah dan berpengaruh pada kepuasan suami-suaminya. Bagaimana kalau suami-suaminya itu lantas mencari lagi perempuan lain karena tak puas atas servis istrinya? Jika demikian, adakah poliandri yang mampu bertahan sampai istrinya berusia di atas 60-an tahun dan tetap berdaya melayani para suaminya yang terus saja “gagah” walaupun sudah 60 tahun bahkan 70-an tahun? Dan...... banyak lagi yang lainnya.

Bisa dilihat, betapa besar kontradiksi poligami dan poliandri, bertentangan bagai siang dan malam, bagai Bumi dan langit. Poligami itu halal dan diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu sedangkan poliandri haram. Poligami itu lebih mulia ketimbang jajan, zina, serong-selingkuh. Jajan termasuk zina dan menistakan perempuan. Perempuan hanya dibayar dengan sejuta dua juta rupiah per jam. Ada malah yang seratus ribu per jam. Malah konon ada yang mau dibayar dengan semangkok mi rebus campur telur plus sebotol bir di simpang lokalisasi. Inikah yang namanya memuliakan perempuan? Belum lagi potensi penyakit kelamin dan AIDS.

Itu sebabnya, hukuman zina begitu berat. Tentu saja harus ada saksinya atau pezina itu mengaku di depan hakim bahwa dirinya telah berzina. Nilai plusnya kalau dia dirajam atau didera, insya Allah di akhirat kelak dosa zinanya dihapus karena sudah dibayarkan di dunia lewat dera atau rajam itu. Yang lolos dari dera dan rajam dan terus saja berzina sampai akhir hayatnya, dia akan diganjar di akhirat kelak. Itu nanti urusan dia dengan "Tuhannya". Karena begitu beratnya hukuman zina itu dan merusak kesucian pernikahan, maka Islam memberikan spirit pencegahan yang disebut: laa taqrabuz zina: janganlah kau DEKATI zina. Jangankan berzina, mendekatinya saja dilarang.

Yang dimaksud mendekati zina misalnya berpacaran a la kekinian dan banyak lagi contoh lainnya yang sekarang merebak diberitakan media massa. Selain itu, zina juga menyebabkan kesemrawutan keturunan (anak-anak). Padahal salah satu fungsi seks, selain memenuhi kebutuhan syahwat, ialah berketurunan yang diharapkan menjadi anak-anak saleh sehingga dapat mendoakan orang tuanya agar diampuni dosa-dosanya (adakah orang yang tak berdosa?), terutama setelah orang tuanya meninggal. Diharapkan juga anak-anaknya berguna buat dirinya, buat saudaranya, buat orang lain dst. Maka wajarlah banyak orang tua yang bejat moralnya, misalnya MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme) plus zina tetapi tetap mengharapkan anak-anaknya menjadi orang baik (saleh) dan tidak ikut-ikutan bapaknya yang cacat moral itu.

Demikian dan semoga bermanfaat.

Gede H. Cahyana

2 komentar:

  1. anda memandang poliandri dari sudut pandang lelaki, jelas saja 'haram' :P

    anda menganggap cuma lelaki yang bisa punya syahwat berlebih, sehingga boleh menyuruh perempuan 'bersabar'.. lalu apa solusinya untuk perempuan yang punya syahwat lebih? 'bersabar' lagi?

    sudahlah.. saya sih enggak mau memperdebatkan keyakinan.. jika anda anggap poligini lebih mulia dari poliandri, saya hormati itu.. buat saya yang lebih penting adalah niat dalam berkeluarga dan berketurunan.. menurut saya, pada jaman sekarang ini akan sulit mengurus anak untuk dilakukan salh satu pihak (ibu/bapak) saja. partisipasi keduanya sangat penting, lalu betapa sulitnya hal itu terjadi apabila ada 'keluarga lain' dalam keluarga. jatah perhatian si bapak bukan cuma untuk istri barunya kan? anak-anaknya perlu perhatian juga..?

    btw, poliandri itu jamak (fitrah?) dalam dunia hewan dengan alasan tertentu..

    salam,

    BalasHapus
  2. menurut saya, poligami dan poliandrinya sama jeleknya

    BalasHapus