• L3
  • Email :
  • Search :

7 Desember 2006

Hak Istri dalam Poligami

Hak Istri dalam Poligami

Respons kontra terhadap pernikahan Aa Gym ternyata tak hanya datang dari kalangan ibu-ibu tetapi juga dari pemerintah pusat. Kentara sekali emosinya, terutama ketika menghadapi tekanan publik yang antipoligami, sampai-sampai menitah Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta untuk mengadakan konferensi pers atau pernyataan umum di media massa. Kata-katanya tendensius dan reaktif tanpa mau mempelajari dulu seluk-beluk dan alasan sang poligamis (yaitu Aa Gym) serta membawa-bawa terminologi "kyai" dalam konotasi negatif. Bung Hatta, setahu saya, tidaklah sereaktif itu, malah cenderung pendiam dan merespons kalau sudah lengkap informasinya.

Benang merah respons pemerintah tersebut adalah kekhawatiran pada "ketidakadilan" sang poligamis terhadap istri-istrinya. Takut perempuan Indonesia makin tak berdaya sehingga keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dianggap mubazir dan tak ada gunanya sehingga harus dilikuidasi. Selain itu, ada indikasi bahwa kalangan tertentu yang memiliki hasrat penyebarluasan isu kesetaraan jender, tentu saja dengan dukungan penuh dana asing telah masuk ke pemerintahan. Kali ini, pemerintah kita tidak steril dari pengaruh mereka sehingga lantas setuju pada upaya antipoligami, bukan saja bagi PNS, TNI, Polri, tetapi juga bagi seluruh WNI. Anggapan bahwa poligami selalu menistakan perempuan sudah kadung merasuk ke selaput kelabu otak pengurus negeri ini sehingga menjadi paranoid. Mendengarnya saja sudah membuatnya takut luar-dalam. Padahal apa masalahnya, bagaimana mekanismenya, siapa saja pelakunya, mengapa harus dilakukan, dan kapan poligami (boleh) dilakoni belumlah dipahaminya.

Satu hal yang patut diingat, poligami adalah opsi (alternatif) dalam berumah tangga. Ia tidak wajib, juga tidak sunnah. Mau monogami..... silakan! Hendak poligami...... juga silakan. Baik yang monogami maupun yang poligami, kedua kubu ini tetap harus bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya. Suami tetap harus memberikan kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah). Termasuk adil dalam menggilir. Yang monogami tentu saja tak serepot atau seberat yang poligami. Belum lagi kebutuhan ruhaninya, seperti sekolah dan pengetahuan agama, pembelajaran akhlak, dan hal-hal yang terkait dengan pembentukan kecerdasan emosi dan spiritualnya.

Namun demikian, lelaki yang "tinggi tegangannya", apalagi tetap "tinggi" walaupun sudah puasa (saum), tetap diizinkan berpoligami. Ini jauh lebih baik dan lebih mulia daripada zina dalam kondisi monogami. Artinya, berpoligami lantaran alasan seks semata demi kemuliaan yang lebih tinggi, yaitu tidak berzina apalagi seks bebas, selingkuh-dualingkuh, serong-serongan, jauh lebih mulia ketimbang “jajan sate” di lokalisasi, di hotel atau di kantor megah. Malah "pejajan sate" itu mestinya dihukum mati (rajam) atau didera jika dia belum menikah. Tentu saja harus ada saksi-saksinya. Pendeknya, harus sesuai pula dengan hukum Islam. Jika tanpa saksi (sekali lagi: TANPA SAKSI), maka tak bisalah mereka dirajam atau didera. Dia HARUS dibebaskan. Tinggallah sekarang urusan dia dengan "Tuhannya", kalau dia memang ber-Tuhan, bukan?

Kembali ke soal pemberdayaan perempuan dan ini adalah catatan untuk Menteri Pemberdayaan Perempuan. Janganlah negara kita ini dibandingkan dengan negara Inggris, Australia, Belanda, dll yang melarang poligami. Dengan aturan agama yang mayoritas dipeluk rakyatnya, sejak dulu mereka melarang poligami. Tetapi sudah menjadi rahasia umum pula, mereka menutup rapat-rapat matanya pada seks bebas dan pelacuran. Bahkan melegalkan pernikahan kaum homoseks dan lesbian. Alasan mereka, menikah itu ada konsekuensi logisnya, seperti hak waris, nafkah, asuransi, pertanggungan, dll sedangkan seks bebas suka-sama-suka dan pelacuran tidak demikian. Apalagi kalau pemuka agamanya sudah mengeluarkan hukum dari agama anutannya.

Baiklah, mari kita baca dan telaah, betapa tinggi apresiasi Islam atas kaum perempuan. Islam sudah memberdayakan perempuan ketika statusnya pada masa Nabi Muhammad dianggap warga kelas dua. Bahkan banyak yang dibunuhi karena malu memiliki anak perempuan. Begitu datang Islam, dan lewat pernikahan Muhammad dengan para janda yang alasannya ialah politik, humanisme, dan demi penerapan syari’at, maka tinggilah posisi atau maqam (bukan makam/kuburan) kaum perempuan. Perempuan Islam tak hanya setara dengan lelaki tetapi justru sangat dihormati. Dalam hadis nabi, ada tiga kali penghormatan kepada ibu, lalu setelah itu sekali penghormatan kepada bapak. Dalam perang pun perempuan selalu dilindungi bersama dengan anak-anak dan orang jompo. Bahkan surga pun ada di telapak kaki ibu. (Maaf, jangan menyuruh saya menunjukkan surga itu di telapak kaki ibu saya. Maaf...., ini sekadar intermezzo).

Di bawah ini adalah kewajiban suami atas istri-istrinya, sekaligus sebagai hak bagi kaum istri. Yang saya tulis di sini hanya beberapa saja. Sejatinya, jumlahnya jauh lebih banyak.

1. Hak pangan.
Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia, kebutuhan yang oleh Abraham Maslow ditaruh di tempat terendah dalam piramida kebutuhannya. Kebutuhan fisiologis ini begitu mendesak dan sangat berpengaruh pada kesehatan tubuh. Namun demikian, kewajiban suami tidak sekadar mampu memberikan makanan pokok berupa nasi dan lauknya, tetapi juga harus bergizi sesuai dengan kemampuannya. Kekuatan ekonomi menjadi tolokukur kemampuannya dalam memberikan makanan yang memenuhi unsur kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, terus?menerus sepanjang hayatnya.

Dimensi lain dari hak pangan ini adalah istri berhak menuntut keadilan suaminya dalam berbagi uang belanja dan disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Yang punya anak banyak tentu saja uang belanjanya harus lebih banyak. Yang punya bayi wajarlah menuntut uang beli susu, bubur bayi, vitamin, dll untuk kebutuhan bayinya. Yang anak-anaknya bersekolah wajar juga menuntut bekal untuk jajan es krim, bakso, dll. Semua itu harus dilakoni oleh suami dengan adil. Maka kian jelaslah bahwa adil itu bukanlah sama rata sama jumlah, melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi istri dan anak-anaknya.

2. Hak sandang.
Tak bisa dimungkiri, demi kehormatan perempuan, suami wajib memberikan pakaian yang sesuai dengan syari’at Islam, yaitu menutup auratnya. Bahannya bebas saja asalkan mampu menutupi aurat, bukan membungkus tubuhnya sehingga lekuk-likunya masih tampak. Terhadap anak-anak gadinya juga harus sama, yaitu disediakan baju yang menutup aurat. Selain hak istri dan anak-anak gadinya, pakaian jilbab ini pun adalah kewajiban suami menyediakannya. Suami harus mampu membeli baju yang menutupi seluruh aurat istri dan anak gadisnya. Tak usah yang mahal dari butik terkenal, tetapi sesuaikan dengan isi kantong suami. Yang penting, menutup aurat.

Dalam memenuhi hak istri ini pun suami harus adil. Istri yang gemuk atau besar fisiknya tentu harus dibelikan baju atau kain yang lebar sehingga otomatis harganya lebih mahal. Biaya jahitnya pun lebih mahal sehingga istri yang kurus tidak boleh cemburu atau iri karena biaya menjahit bajunya lebih murah sehingga sedikit juga uang yang diberikan untuk menjahit bajunya itu. Yang punya anak remaja tentu berbeda juga harga bajunya dengan anak-anak yang masih kecil.

Sepatu, giwang, cincin, gelang, bedak, lipstick, eyeshadow dan semua perhiasan perempuan pun hendaklah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan istri-istrinya. Prinsipnya adalah adil dan.... adil, tetapi bukan sama rata dan sama rasa. Yang penting aturlah agar rumah tangga itu menjadi akur. Istilahnya yang tepat ialah sakinah.

3. Hak papan.
Satu hal yang patut diingat oleh kaum lelaki, istri-istrinya berhak memperoleh tempat tinggal sesuai dengan kemampuannya. Kalau tak mampu membelikan rumah, maka menyewa atau kontrak rumah juga boleh-boleh saja. Yang penting istri-istrinya itu terlindungi dari ancaman air hujan, dingin angin, panas mentari, dan dilihat oleh orang-orang yang bukan muhrimnya. Besar kecilnya rumah juga harus adil. Yang anaknya banyak tentu perlu rumah yang lebih besar daripada yang anaknya sedikit.

Bolehkah menempatkan semua istrinya dalam satu rumah? Boleh-boleh saja asalkan mampu menjaganya. Suami dan istri-istrinya harus bisa berlapang hati kalau ada anak-anak yang berbeda ibu saling berkelahi. Jangan lantaran anak-anaknya bertengkar lantas antaristri juga bertengkar. Di tempat tidur juga begitu, sehingga walaupun satu rumah, kamar-kamar untuk istri sebaiknya terpisah. Bagaimana kalau satu kamar? Boleh-boleh saja asalkan semua istrinya setuju satu kamar.

Lalu kalau mau senggama dengan salah satu di antaranya bagaimana? Untuk yang satu ini, memang harus ada musyawarah dulu agar istri yang lain pindah kamar dulu atau dicarikan waktu dan tempat yang pas. Semua istri dilayani dengan cara yang sama seperti itu. Musyawarah, ini prinsipnya. Sebab, dalam musyawarah itu pun ada nilai ibadahnya. Keridhaan adalah intinya dan minta pahala dari Allah adalah tujuannya. Artinya juga, suami harus punya kekuatan ekonomi. Ia harus mampu menyediakan rumah, baik sewa maupun beli sendiri untuk semua istrinya.

4. Hak didik.
Perihal pendidikan istri dan anak-anaknya bukan lagi hak tetapi menjadi wajib. Semua kaum muslim harus pintar dari sisi kecerdasan intelektualnya, juga cerdas emosinya, dan cerdas spiritualnya. Ini hanya bisa diperoleh kalau istri-istrinya mampu disekolahkan oleh sang suami, minimal dalam majelis taklim di masjid-masjid. Sebab, tak semua majelis taklim itu gratis, tetapi ada yang urunan menggaji gurunya. Ini bagus dan membuat semangat para ustadz mengajarkan ilmunya karena bisa pula menjadi sumber uang buat keluarganya. Membantu orang yang membuat kita berilmu tentu bernilai ibadah pula. Tak berbeda dengan belajar di sekolah formal dan gurunya memperoleh gaji dari pemerintah atau yayasan sekolah.

Tak hanya ilmu tentang agama seperti shalat, zakat, haji, puasa, berdagang, dll, tetapi suami pun harus berupaya mendidik istrinya dari sisi ilmu-ilmu seperti di sekolah umum. Semua biaya menuntut ilmu itu harus ditanggung oleh suaminya. Bahkan kalau sang suami berpendidikan S3, maka bolehlah dia menyekolahkan istrinya sampai S3 juga. Tentu saja kalau kemampuan intelektual istrinya memenuhi syarat dan lulus tes masuk. Pendek kata, istri berhak dan dalam hal tertentu menjadi wajib mencari ilmu agar makin kuat imannya, makin mampu hidup bermasyarakat, punya ilmu pendidikan anak, dan ilmu cara membahagiakan suaminya.

Itu sebabnya, suami hendaklah menganjurkan istri-istrinya belajar apapun yang bermanfaat buat keluarganya. Boleh kursus memasak, boleh belajar berbisnis, boleh belajar menjahit, buka salon, dll sekaligus membuka lapangan kerja buat orang lain. Training-training motivasi, misalnya ESQ Ary Ginanjar juga boleh diikuti oleh semua istrinya kalau uang suaminya memungkinkan.

5. Hak gilir.
Giliran dikunjungi suami juga menjadi hak istri. Jangan sampai ada istri, misalnya sudah menopause, disepelekan dan tidak diperhatikan. Walaupun sudah tak subur lagi, seorang suami wajib mengunjunginya dan tetap tidur bersamanya meskipun tidak bersenggama. Yang penting jangan sampai membuatnya sedih karena tidak disambangi. Sebab, istri yang sudah menopause, secara psikologis justru makin sensitif sehingga hatinya perlu dibesarkan agar merasa tetap diperhatikan.

Namun demikian, andaikata ada istri yang rela tidak digilir, baik sementara maupun selamanya, ini boleh-boleh saja. Ia bisa memberikan jatah gilirannya kepada madunya. Peristiwa ini terjadi pada istri Nabi Muhammad yang bernama Saudah. Ia memberikan jatah gilirnya kepada Aisyah ra. Yang penting, harus ada musyawarah, ada izin dari yang memiliki jatah giliran. Kalau dibicarakan (dimusyawarahkan), dan inilah ciri rumah tangga sakinah, oke-oke saja. Sebab, jika dilakoni dengan ikhlas maka pahalalah hasilnya.

Hal yang sama juga harus diterapkan pada istri yang sakit, haid, atau nifas (baru saja melahirkan). Suami harus menemaninya sekalipun tidak bersenggama. Apalagi menyenggamai istri yang haid atau nifas diharamkan dan berdosa. Tinjauan kesehatan reproduksi pun sependapat dengan tinjauan syari’at ini. Bermesraan tanpa senggama sambil ngobrol akan bisa menyenangkan hati istri. Apalagi titik tertinggi sensitivitas perempuan, katanya, ketika mereka sedang haid atau setelah melahirkan. Bagaimana kalau suami ngebet dan ingin bersenggama? Caranya, tutupi saja bagian vaginanya dan lakukan dengan apapun di tubuh istri asalkan jangan duburnya (anal sex) karena lubang ini diharamkan.

6. Hak pergi, safar.
Seorang suami yang sibuk pergi ke mana-mana, misalnya menjadi pakar dalam ilmu tertentu, maka hendaklah dia mengajak semua istrinya. Kalau tidak mampu dan berbagai kendala lainnya, sebaiknya tak seorang pun diajaknya. Kalau dia kuliah lagi di luar negeri dalam waktu lama, maka ini pun bisa dimusyawarahkan, siapa yang akan diajak. Jika tak ada titik temu dalam musyawarah, maka bisa diundi. Apapun hasilnya, semuanya harus ikhlas siapa yang akan menemani suaminya ke luar negeri. Pada saat suami studi di luar negeri, misalnya sampai empat tahun, semua istrinya harus tetap dipenuhi hak-haknya seperti pangan, sandang, papan seperti disebut di atas. Hanya giliran senggama saja yang dihentikan untuk sementara atas hasil musyawarah. Jika ikhlas, maka pahala pula balasannya.

Andaikata suami punya kekuatan ekonomi, bisa saja dia menggilirkan istri-istri dan bahkan anak-anaknya pergi ke luar negeri. Misalnya, tahun pertama adalah jatah istri pertama, tahun kedua untuk yang kedua, tahun ketiga untuk yang ketiga, dan tahun keempat untuk yang keempat. Ketika wisuda, silakan hadirkan semua istrinya untuk melihat dia diwisuda sambil jalan-jalan atau malah dilanjutkan pergi ke Mekkah untuk ibadah umroh sebagai rasa syukur sudah lulus studinya. Indah bukan? Atau, silakan saja atur menurut versi rumah tangga masing-masing asalkan ADIL. Sebab, rumah tangga setiap orang itu khas atau unik.

7. Hak perasaan dan cinta
Inilah yang dikecualikan oleh Allah dalam Al Qur’an. Keadilan dalam enam poin di atas mesti diupayakan dipenuhi oleh suami. Yang ketujuh ini, yaitu adil dalam perasaan dan cinta memang sulit karena abstrak. Siapa yang tahu dan mampu menilai perasaan seseorang? Itu sebabnya, dalam bersenggama, kualitas orgasme seorang istri sangat sulit disamakan atau diadilkan dengan istri yang lain. Suami memang harus berusaha agar semua istrinya orgasme ketika senggama. Tetapi ada yang berhasil sampai ke puncak, ada yang hanya pertengahan, dan mungkin saja ada yang gagal. Namun karena senggama itu bisa dilakukan berkali kali dalam waktu hari-hari berikutnya maka orgasme itu bisa diupayakan lagi.

Yang harus dilakukan suami, dia wajib melaksanakan permainan pendahuluan sebelum penetrasi. Beberapa menit dalam tahap awal ini sangat menentukan akhir permainan. Pihak istri pun harus berupaya menggugah syahwatnya sendiri agar dia bisa juga memperoleh orgasme. Istri harus berupaya keras menemukan titik-titik sensitif di tubuhnya lalu diberitahukan kepada suaminya agar titik-titik itu dirangsangnya. Kerja sama seperti inilah yang dibutuhkan oleh suami-istri sehingga mampu meraih mawaddah (senang, cinta dalam hubungan jimak/koitus dan berkaitan dengan birahi) dan juga memperoleh rahmah (kasih sayang nonbiologis, berasal dari fitrah ilahi yang sifatnya ar-Rahman).

Dengan demikian, seorang suami yang tak mampu memberikan orgasme kepada salah satu istrinya setelah dia berupaya seperti alinea di atas, dia tidak bersalah. Apalagi kalau istrinya memang sudah lanjut dan telah menopause sehingga sulit orgasme. Jadi tidak semata-mata kegagalan orgasme istri adalah kesalahan suami. Teknik senggama pun bisa dipraktikkan dengan beragam cara seperti dalam Kamasutra. Yang penting itu tadi, jangan dilakukan di dubur istri.

Terakhir, suami yang saleh akan berupaya sekuat tenaga tidak ejakulasi prematur dan kalah duluan. Sekali-sekali kalah boleh saja, asal jangan untuk seterusnya. Sebab, kepuasan senggama adalah HAK istri juga. Suami harus berupaya bertahan sampai batas-batas tertentu. Pendeknya, bahagiakanlah semua istri kalau sudah berpoligami.

Pembaca budiman, demikianlah hak-hak istri yang wajib ditunaikan oleh poligamis, lelaki yang berpoligami. Semoga bermanfaat.


Artikel yang berkaitan:

Istri Kedua Aa Gym?

Poligami: R. A. Kartini

Poligami Nabi Muhammad

Kanal Seks

Poliandri, Kenapa Haram?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar