Ada sejumlah sutel (surat elektronik, e-mail) yang saya terima dan isinya masih di sekitar poligami. Kali ini perihal status “biologis” perempuan yang diperistri, yaitu gadis atau janda. Mana yang lebih baik, begitu tanyanya, gadis ataukah janda? Mudah-mudahan tulisan di bawah ini juga dapat menjawab pertanyaan rekan-rekan di milis "Penulislepas" dan "Mediacare", dua milis yang saya kirimi artikel "Istri Kedua Aa Gym?" pada 1 Desember 2006.
***
Gadis ataukah janda, mana yang lebih baik?
Saya sebetulnya bertanya juga, "baik" itu dilihat dari sudut pandang apa? Kalau ditelisik dari sudut birahi, tentu banyak yang memilih gadis remaja, masih perawan tingting. Sesuai definisinya, gadis ialah perempuan yang belum pernah berhubungan seks, baik melalui pernikahan maupun perzinahan. Berapa pun umurnya: belasan, likuran, tiga puluhan, empat puluhan atau di atas lima puluhan, perempuan yang belum pernah berseraga disebut gadis. Ciri lainnya, selaput daranya masih utuh (atau kalaupun robek, itu disebabkan oleh kecelakaan seperti jatuh, tersangkut, olah raga, atau efek mekanis lainnya. Kalau ini kejadiannya, dia memang sudah tidak gadis lagi meskipun belum pernah koitus).
Kegadisan seorang perempuan pun tidak mudah diketahui atau dirasakan oleh lelaki ketika bersetubuh. Apalagi bagi lelaki yang baru kali pertama menikah dan pertama kali juga bersenggama. Kondisi "kulit" perawan (hymen) itu hanya dapat diketahui kalau dilihat langsung. Dokter kandungan dan bidan pasti tahu caranya. Bisakah "tetes darah pertama" di celana dalamnya atau di seprei menjadi bukti bahwa seorang perempuan memang masih gadis? Menurut dokter, bisa ya, tapi bisa juga tidak. Apalagi sudah ada teknologi untuk "mereparasi" selaput dara yang robek menjadi "kembali perawan". Boleh jadi ada perempuan yang berkategori gadis tetapi tidak "gadis".
Bagaimana dengan janda? Kebanyakan janda sudah digauli oleh mantan suaminya. Memang pernah ada kasus, seorang perempuan (gadis) menjadi janda lantaran ada masalah tertentu yang tidak disepakati oleh kedua pihak keluarga besar sehingga tak lama setelah pernikahannya, dia dicerai oleh suaminya. Kebetulan waktu itu mereka belum sempat menikmati malam pertama. Tetapi kasus ini, bisa diduga, tidak banyak jumlahnya. Yang lumrah terjadi, mayoritas janda sudah tidak perawan lagi. Ada yang tanpa anak, ada juga yang banyak anaknya. Ada karena kematian suaminya, ada juga karena cerai, baik dicerai oleh suaminya atau gugat cerai oleh pihak istri.
Jika berkaca pada poligami Nabi Muhammad, hanya satu perempuan yang status biologisnya masih gadis, yaitu Aisyah r.a. Selebihnya janda. Setelah Khadijah meninggal Muhammad lantas menikah dengan janda juga, bernama Saudah. Baru setelah itu, kira-kira lima tahun kemudian, Rasulullah menikah dengan Aisyah yang usianya enam tahun. Tetapi Aisyah masih tinggal dengan orang tuanya hingga berusia sembilan tahun. Seusia inilah Aisyah lalu pindah ke rumah Rasulullah. Menurut riwayat, beliau digauli pada usia 11 tahun, usia dewasa bagi rata-rata perempuan Arab waktu itu. Jadi, ada rentang waktu lima tahun sebelum malam pertamanya.
Hanya saja di masyarakat Indonesia berkembang pendapat bahwa menikahi gadis pada pernikahan kedua, ketiga, dan keempat selalu dianggap demi memenuhi syahwat semata. Apalagi kalau gadisnya cantik, indah tubuhnya, singset, dll. Tak dapat dimungkiri, pendapat seperti ini sudah dalam masuk ke hati kaum perempuan khususnya, dan sebagian kaum lelaki. Malah ada ibu-ibu yang dengan tandas "mengharuskan" agar perempuan kedua, ketiga, keempat itu berusia tua, jelek, dan bodoh. Mereka berkeinginan demikian karena takut suaminya "lengket terus" dengan madunya.
Lalu apa tolokukurnya? Dalam Islam tidak ada acuan yang mengharuskan memilih gadis atau janda, tak hanya pada pernikahan kedua, ketiga, dan keempat tetapi pada pernikahan kesatu pun tidak ada. Yang ada, setahu saya, silakan (anjuran) memilih gadis pada nikah pertama agar lebih "sreg". Hal ini dapat dilihat pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi yang bunyinya: Hendaknya kamu nikah dengan perawan (gadis) karena mereka lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya dst-nya. (Saya tidak tahu bagaimana status hadis ini, sahih, hasan, atau apa. Pembaca yang tahu silakan menuliskan komentar di bawah artikel ini).
Perihal memilih calon istri, yang menjadi titik tekan ialah kesalehahan (salehah), benar pemahaman dan pengamalan ajaran Islamnya. Oleh sebab itu, sebelum menikah silakan selidiki kehidupan ke-Islam-an calon istri, apakah rajin shalat, rajin zakat, rajin mencari ilmu (thalabul ‘ilmi) dll. Perempuan pun dianjurkan memilih lelaki saleh, benar paham dan amal ibadahnya, persis sama dengan kriteria di atas. Upayakan jangan seperti membeli kucing dalam karung, alih-alih untung yang terjadi malah buntung. Tetapi kalau sudah kadung buntung, tak perlulah putus asa atau menceraikannya (atau gugat cerai dari istri). Kalau mau berpikir positif, karakter buruk istri (atau suami) justru bisa dijadikan alat penambah ibadah dan sabar dalam mendidiknya agar berubah sedikit demi sedikit menjadi salehah (atau saleh).
Berkaitan dengan status gadis tersebut, ada tuturan Aisyah r.a seperti ini. "Di mana saja seharian ini?" tanyanya kepada Nabi Muhammad ketika beliau masuk ke rumahnya.
"Wahai Humaira (panggilan sayang, berarti kemerah-merahan), aku tadi di rumah Ummu Salamah."
"Apa engkau belum kenyang di rumah Ummu Salamah?" tanya Aisyah lagi. Beliau hanya tersenyum.
Lalu Aisyah berkata lagi,"Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mau memberitahuku tentang dirimu? Andaikata engkau turun di dua lembah, yang satu belum pernah digunakan untuk menggembalakan ternak dan satunya lagi sudah digunakan untuk menggembalakan, manakah yang hendak engkau gunakan untuk menggembala?"
"Tentu saja yang belum pernah digunakan untuk menggembala," jawabnya.
"Aku tidak seperti seorang pun di antara istri-istrimu. Masing-masing di antara mereka pernah menikah, selain aku!" tegas Aisyah.
Bagaimana reaksi Muhammad Rasulullah? Beliau pun tersenyum mendengarnya.
Terakhir, ada beragam alasan seseorang berpoligami, baik kepada gadis maupun janda. Di antaranya: semata-mata seks tanpa mengindahkan tuntunan ajaran Islam, bahkan jumlahnya ada yang lebih dari empat orang istri. Ada yang ingin menolong sang janda, terutama membantu pendidikan anak-anak yatimnya. Ada juga yang ingin membuktikan kebenaran ajaran Islam dan mengubah image masyarakat atas poligami sehingga ikhlas menjadi "sampel atau percobaan". Tentu saja masih ada lagi alasan lainnya.
Pembaca budiman, saya sudahi dulu sampai di sini, semoga bermanfaat.
Wassalam.
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar