• L3
  • Email :
  • Search :

4 Desember 2006

Reposisi Textbook Pendidikan Tinggi

Reposisi Textbook Pendidikan Tinggi

Oleh Gede H. Cahyana
(Sudah dimuat di koran Pikiran Rakyat, 24 Februari 2001)

Pendidikan tersier kita sudah usang dan basi! Siapa yang tidak masygul dengan ujaran tajam ini? Bagai petir di siang bolong, selain kuping jadi panas, juga menohok akademisi; 2,5 juta mahasiswa, 150 ribu dosen di 77 PTN dan sekitar 1.300 PTS. Termasuk, tentu saja, pembuat kebijakan di Depdiknas, utamanya Ditjen Dikti. Atau, mestikah mereka yang bertanggung jawab karena semua peraturan dari situ? Atau, perlukah UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang condong sentralistik itu direformasi?


Mutu dan Anggaran
Kualitas pendidikan tinggi, kita tahu, tak lepas dari mutu pendidikan di SD-SMU. Dan kita pun sadar, lulusan SMU banyak yang tidak siap ke perguruan tinggi. Tolok ukurnya adalah calon mahasiswa di PTN atau terlebih di PTS. Tak semuanya memang karena ada juga yang baik. Tapi yang terbanyak, justru yang ilmunya kurang memadai. Ini bergantung pada mutu guru, prasarana dan sarana sekolahnya.

Mutu pendidikan primer-sekunder itu, tidak dikupas di sini. Tidak juga parameter mutu lainnya seperti Tridharma, eksistensi perguruan tinggi, atau yang lagi in, status kampus ber-Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Yang disorot ibaratnya udara untuk bernafas. Ialah textbook! Lantaran inilah, industri pendidikan kita belum juga tinggal landas. Menjadi utopia, jauh panggang dari api. Jangankan sejajar dengan negara yang mapan tradisi saintek-nya, dengan yang berkembang saja, kita tak mampu. Maka, banyaklah yang mirip kerakap tumbuh di batu, mati enggan, hidup tak mau.

Masalah textbook (buku-induk) yang ditinggal zaman (out of date) itu, hulunya di alokasi anggaran pendidikan tinggi yang sangat rendah. Dengan jatah hanya 25% dari 6% APBN atau sekitar 1,5% APBN, siapa pun, akan sulit memungkiri anggapan di atas. Bandingkan misalnya dengan Amerika Serikat yang mencapai 55% anggaran universitas. Bahkan Inggris, tak tanggung-tanggung, hingga 90%. Selain itu, juga akibat dari penyakit kronis dikotomi “anak mas-anak tiri” PTN-PTS dan dosen yayasan-kopertis, selama ini. Lantas, kalau saat AFTA 2003 nanti banyak job chief executive perusahaan domestik ditimang orang Singapura, dan sederetan dominasi lainnya, tak usah sewotlah.

Reposisi Buku-induk
Meski demikian, bagi yang optimis, peluang pembenahan tetap ada, belum terlambat. Yaitu, kreasi kesiapan otot, memacu kemampuan otak, bervisi futuristik, menyusun dan menciptakan peluang. Utamanya, mereposisi perbukuan termasuk buku-induk. Tak hanya di universitas tapi juga pra-universitas. Benar, banyak jalan menuju Roma, selagi kiamat belum tiba. Paling tidak, ada tiga jalan yang bisa ditempuh.

Kesatu, revisi buku-induk. Buku kuno yang menoreh ukiran sejarah, kita tahu, harganya bisa selangit di pusat-pusat lelang. Diburu bukan saja karena isinya tapi juga karena nuansa historisnya. Selain tak lekang oleh waktu, juga tua-tua keladi, makin tua makin menjadi (mahal). Mau lihat? Datanglah ke museum, atau ke pameran dan festival lontar atau ke balai lelang dan seremonial rekor literasi. Atau, ke kolektor yang di lemari kacanya, tergeletak sepi membisu buku dan manuskrip kuno.

Tapi, buku-induk (textbook) bertajuk teknologi tua, justru sebaliknya. Harganya malah jatuh 50% di toko, tersisa 25% di pasar loak, atau yang tragis, jadi pengaput kue serabi. Kalau tetap dijadikan buku-ajar, jadi sarapan mahasiswa, garapan dosen, acuan substansi dan bukan historisnya, tak pelak lagi, alumninya bakal gagap teknologi. Adakah kita seperti itu? Sebab itulah, perlu revisi buku-induk tua termasuk yang edisi-baru isi-kuno, untuk reparasi proses belajar-mengajar. Memang tidak semuanya, hanya jurusan-jurusan teknik tradisional, konvensional ataupun ilmu sosial yang usang karena teori baru.

Diakui, ide revisi ini tak semudah membalik telapak tangan. Lembaga revisi yang unsurnya para pakar, mesti diujudkan dulu. Dimulai dengan membentuk gugus tugas atau tim revisi yang unik per jurusan. Setelah tim ini masif, bisa beranjak ke, misalnya, soal pemilihan buku. Sedangkan soal dana, pemerintah mesti turun tangan. Kalau tidak, jangan berharap pihak universitas atau yayasan (apalagi yang profit oriented atau yang tak peduli pada lembaganya, asal jalan saja) akan proaktif soal ini. Caranya, jadikan anggaran segmen pendidikan, 25% APBN, agar tiada tuduhan konservasi kebodohan dan kemiskinan.

Kedua, impor buku. Meskipun mahal, tapi instan dan cepat saji. Yang penting pemerintah punya kemauan dan, itu tadi, dukungan dana. Kemudian, hibahkan ke segenap universitas. Atau, lulusan dari mancanegara membawanya ke sini, difotokopi oleh mahasiswa. Jalan pintas dan melawan paten, tentu saja. Tapi itulah realitas. Dan jujur diakui, kita pun kerap melakukannya. Mereka, para pengusaha fotokopi, jasa duplikasi ini, di satu sisi menolong, di lain sisi merugikan penulis dan penerbit. Termasuk ci-luk-ba dengan polisi, sehingga bussiness as usual lagi. Tetap marak hingga kini. Salah siapa?

Kembali ke soal impor buku. Jepang, contohnya. Pada masa Meiji (1868-1912), negara sakura ini banyak mengadopsi buku dari Eropa. Belajar sendiri, percaya diri, hal utama bagi mereka. Wajarlah ekonominya tumbuh sprint, awal abad lalu. Juga terbukti, dengan memodifikasi teknologi, mereka hasilkan teknologi baru yang mutunya lebih baik. Dan kita tahu, betapa cepat gurita ekonominya bangkit jadi naga raksasa pasca ledakan bom atom ketika PD II.

Yang juga patut dicontoh adalah India. Selain impor buku, negara semilyar orang ini pun memupuk penulisan buku. Banyak karya terjemahan dan tulisan asli penulis domestiknya. Negara yang akrab dengan banjir dan gempa ini, cepat tanggap dalam absorbsi saintek. Risetnya pun banyak yang primer, jadi kajian global, mengisi jurnal mondial. Bahkan menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, ada di perpustakaan universitas kita. Jadi referensi skripsi, tesis dan disertasi kita. Itulah ujud ajaran tokohnya, Mahatma Gandhi.

Karenanya, kalau betul optimis, kinilah saatnya pemerintah membanjiri universitas dengan buku impor, dari mana pun asalnya. Sebuah adi karya, memang. Dan sebuah awal yang baik. Tapi, ada yang lebih baik. Ada yang lebih elegan, lebih bergengsi, lebih percaya diri sekaligus mengibarkan panji mutu SDM kita di atmosfer literasi dunia. Ialah mencetak buku sendiri.

Ketiga, mencetak buku. Projek peningkatan perbukuan, utamanya buku-induk universitas, ikhlas diakui, banyak yang asal jadi. Lebih-lebih karya terjemahan. Seleksinya kurang ketat sehingga sebenarnya, tak semuanya layak cetak. Selain kaku tuturannya juga kerap menyimpang dari makna aslinya. Sebab, kualifikasi penterjemah dan editornya sering bias dengan kebutuhan. Juga karena tidak diujicobakan ke jurusan terkait di perguruan tinggi, yang mapan maupun yang sedang tumbuh. Tapi, langsung saja terbit dan diedarkan.

Sedangkan yang ditulis oleh penulis domestik, sangat sedikit. Selain soal royalti dan kemampuan, juga kurang perhatian pada unsur kekinian (aptuditas), dominasi buku-induk tua, sedikit unsur riset dalam-luar negeri, dari jurnal dan disertasi. Termasuk dosen yang fanatik pada madzhab atau buku tertentu. Ia wajibkan, meski tersirat, muridnya jadi Nak Turut. Kalau berbeda, dianggap salah. Padahal, samudra ilmu demikian luas dan dalam. Boleh jadi, dosennya belum tahu, tapi siswanya sudah. Inilah diktator literasi.

Mencetak buku, sejauh ini, banyak perniknya. Juga, tidak semua penerbit punya idealisme, mau mencetak buku non-fiksi, utamanya buku-induk. Labanya belum terang benar karena konsumennya eksklusif, kalangan mahasiwa dan dosen saja. Lama habisnya. Harganya pun tidak kompetitif dengan kemampuan masyarakat. Kecuali, tentu saja, buku paket sponsor pemerintah atau buku “pedoman” koneksitas birokrat, yang melanda pendidikan primer dan sekunder kita.

Posisi Non-Buku-Induk
Bicara buku, tentu tak lepas dari buku yang non-buku-induk. Terbukti, tiras penjualan jenis buku ini lebih besar sehingga lebih menjanjikan laba. Misalnya, buku riset sosio-budaya, ekonomi ataupun politik, tentang peristiwa silam atau sekarang. Gegar buku awal reformasi sudah menjawabnya. Mulai dari yang kacangan, guntingan - suntingan berita koran, yang buku bukan buku (non-book book), hingga yang berbobot serius. Semuanya laris manis dan sah-sah saja. Malah ikut jadi kontributor pembelajaran rakyat.

Yang juga lagi marak, sekaligus menarik saat ini adalah “Buku Putih”. Banyak yang telah menerbitkannya dan isinya pun unik. PWI Jawa Barat, misalnya, pada 1989 pernah menerbitkannya. Dan kini, kasus memorandum DPR kepada Presiden pun, dibukuputihkan oleh PKB. Hanya sayangnya, tidak semua “Buku Putih”, isinya “putih”, bahkan kerap hanya apologi, tidak memuat kebenaran (the holy and truth). Karenanya, laku atau tidak, sering kali bukanlah soal. Yang penting uneg-uneg tersampaikan.

Tetapi, pembukuputihan, secara akademis, sangat baik dan elegan. Malah, polemik dan debat dengan data akurat seperti itu, harus dipupuk agar subur. Inilah pembelajaran ihwal penulisan dan argumentasi yang terstruktur, bertanggung jawab. Pada saatnya nanti, ia adalah warisan untuk generasi berikutnya. Sedangkan soal, mana yang benar dan mana yang salah, biarkan waktu yang membuktikannya, yang akan menjawabnya. Sementara, proses hukum tetap berlangsung.

Artinya, jangan ada lagi pencekalan dan pelarangan buku atau apapun jenisnya. Biarkan tumbuh sebebas-bebasnya, kalau kita menghargai nalar. Kalau tidak sependapat, jawablah dengan buku lagi atau tulis artikel di media massa. Masyarakat seperti inilah yang mesti kita tuju. Masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Bukan masyarakat perusak apalagi masyarakat kriminal. Mestinya, artikel dijawab dengan artikel atau buku dijawab dengan buku. Pendeknya, tulisan dijawab pula dengan tulisan.

Yang terakhir dari segmen ini adalah buku fiksi. Inilah yang paling menjanjikan laba bagi penerbit. Tanpa menafikan pengarang lokal, sederetan nama bisa disebut. Agatha Cristhie, Danielle Steel, Tom Clancy dan Roald Dahl. Fiksi, tetap penting untuk habitasi membaca, membantu penalaran masyarakat, sekaligus menghibur. Selain mahasiswa dan dosen, pembelinya juga adalah masyarakat umum yang terdidik, kalangan pelajar dan ABG.

Atau, jika dikaitkan dengan buku-induk, bisakah ia difiksikan, semacam sainfiksi sehingga menjadi populis? Atau, dipopulerkan semacam buku fenomenal, A Brief History of Time-nya Stephen Hawking, Sang Fisikawan. Demikian. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar