Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim...
Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah,
Subhanallah wabihamdihi, subhanallah wabihamdihi, subhanallah wabihamdihi,
Ya Hayyu, Ya Qayyum, birahmatika astaghits.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35).
Cahaya adalah zat pertama yang
dilihat manusia, sesaat ia lahir ke dunia. Berkas cahaya melewati lensa matanya
dan menimbulkan bayangan. Hanya saja, bayi belum merespon dengan gerak, aksi,
atau ucapan yang dipahami ibunya. Bayi lantas mulai mengenal alam dengan
bantuan cahaya. Begitu seterusnya sampai masa balita, anak-anak, remaja,
dewasa, tua dan akhirnya menutup mata tanpa cahaya yang mampu diidentifikasi
oleh retinanya.
Cahaya, dalam hal ini adalah
cahaya matahari, sudah ada sejak matahari diciptakan, atau beberapa waktu
setelah Big Bang, dentuman dahsyat
terjadi. Sekian juta tahun kemudian, setelah melewati zaman es pertama dan
kedua, masa hidup dinosaurus, dan memasuki tahun Masehi hingga pada masa
kenabian Muhammad SAW, hadirlah keterangan dari Allah tentang cahaya. Ada
sekitar 20 surat dan 40 ayat di dalam Al
Qur’an yang menyitir tentang cahaya.
Dalam kajian sainstifik, menurut Einstein, cahaya adalah materi yang memiliki kecepatan absolut atau mutlak tercepat di ruang hampa (vakum). Tidak ada zat yang melebihi kecepatan anggota spektrum gelombang elektromagnet ini. Adapun menurut Al Qur’an, yaitu pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj, malaikat Jibril yang besarnya meliputi semesta dan kecepatannya 50.000 tahun cahaya menunjukkan bahwa ada cahaya selain cahaya yang dimaksud oleh Einstein dan periset lainnya.
Keduanya atau bahkan semua
jenis cahaya (cahaya bintang, cahaya benda pijar, kunang-kunang, dll) adalah
ciptaan Allah. Cahaya matahari dan berbagai cahaya lainnya di semesta ini, juga
cahaya dalam makna malaikat yang diciptakan dari sejenis cahaya adalah makhluk
Allah yang bisa dipercepat, diperlambat, dihentikan, atau bahkan dihancurkan
oleh Allah.
Praabad ke-20
Jauh sebelum Muhammad SAW
lahir, sebelum beliau dinabikan oleh Allah SWT, di dunia ilmu dan filsafat
berkembang paham bahwa cahaya matahari bisa sampai ke Bumi karena merambat
melalui media eter. Pendapat Aristoteles ini belum pernah diuji, minimal belum
ada catatan atau manuskrip yang bisa ditelusuri oleh ilmuwan muslim pada abad
pertengahan. Pendapat ini lantas diuji oleh Michelson dan Morley pada tahun
1887. Dari serangkaian percobaan di beberapa tempat dan dengan variabel
penelitian yang rumit, mereka sampai pada kesimpulan bahwa eter itu tidak ada.
Artinya, cahaya bisa merambat di ruang hampa dan kecepatannya tidak bergantung
pada arahnya. Namun masih ada pertanyaan tersisa, mengapa cahaya bergerak
begitu cepat?
Galileo adalah salah seorang
yang mempertanyakan tentang kecepatan cahaya. Dalam bukunya yang diterbitkan
pada tahun 1638 yang ditulis dalam bentuk percakapan antara tiga orang bernama
Salviati, Sagredo dan Simplicio menceritakan mengenai apa yang mereka katakan
tentang kecepatan cahaya.
Pada tahun 1675 astronom
Denmark, Ole Roemer, membuat beberapa pengamatan mengenai bulan-bulan Jupiter.
Ia memperoleh nilai kecepatan cahaya sebesar 2 x 108 m/detik. Fisikawan Prancis Louis Fizeu pada tahun 1849
meneliti perbedaan kecepatan cahaya di dalam air yang mengalir. Ia mendapatkan
nilai kecepatan cahaya sebesar 3,13x108 m/detik. Para ilmuwan di
Biro Standar Nasional di Boulder Colorado, di antaranya Evenson, dengan
menggunakan teknik pengukuran hubungan panjang gelombang radiasi dan frekuensi
laser-helium-neon memperoleh nilai kecepatan cahaya sebesar 299.792.4574
km/detik. Maka sejak tahun 1973 disepakati bahwa kecepatan cahaya adalah
berlandaskan pada percobaan Evenson tersebut.
Ketiadaan eter sebagai medium perantara rambatan cahaya dan perolehan nilai
kecepatan cahaya mengantarkan Einstein pada tahun 1905 untuk membuat gagasan
berani. Gagasan bahwa kecepatan cahaya adalah sama dalam semua kerangka
referensi. Ia menyatakan, jika sejumlah pengamat bergerak terhadap satu sama
lain dan terhadap sumber cahaya dan jika setiap pengamat mengukur kecepatan
cahaya yang keluar dari sumber tersebut, maka mereka semua akan mendapatkan
nilai yang sama.
Abad ke-21
Banyak bahan (material) yang
mampu memperlambat laju cahaya. Air mampu memperlambat cahaya menjadi 75% dari
kecepatan aslinya. Intan, zat yang sangat keras, mampu memperlambat cahaya
menjadi 58% dari kecepatan di ruang hampa. Seorang profesor di Universitas
Harvard bernama Lene Hau pada tahun 1998 berhasil memperlambat cahaya dari
300.000 km per detik menjadi 30 km per jam.
Pada tahun 2000, di Rowland
Institute for Science di Cambridge, Massachussetts, para pakar menggunakan awan
atom sodium (natrium) berbentuk batang dengan panjang 0,2 mm dan diameter 0,05
mm. Metode yang digunakan adalah mendinginkan awan atom sodium tersebut hingga
hampir nol derajat Kelvin sehingga atom-atomnya berikatan, bergabung menjadi
satu dan kompak. Berkas cahaya dilewatkan pada gugus atom tersebut dan
diperoleh kecepatan cahaya yang melambat. Pada penelitian selanjutnya diperoleh
laju cahaya sepersepuluhjuta dari kecepatan di ruang vakum bahkan
menghentikannya pada temperatur nyaris nol derajat Kelvin.
Hal serupa diteliti oleh
sekelompok ahli di Universitas Rochester tahun 2003. Dengan menggunakan panjang
gelombang cahaya terbatas, para peneliti ini berhasil memperlambat kecepatan
cahaya dengan media yang relatif mahal, seperti cold gases dan solid
crystalline. Begitu pula peneliti dari Luc Thevenaz dan peneliti dari Ecole
Polytechnique Federale de Lausanne di Swiss yang melaksanakan percobaan di
laboratorium Nanophotonic and Metrology. Bahannya adalah serat optik sederhana
pada temperatur kamar. Tim ini berhasil memperlambat laju cahaya dan juga
mempercepatnya. Cahaya bisa diperlambat dan bisa juga dipercepat, bahkan
dihentikan. Artinya, cahaya adalah makhluk Allah,
Dari sejumlah hasil penelitian
tersebut, disimpulkan bahwa cahaya tidak absolut, artinya bisa direkayasa oleh
manusia dengan alat dan metode tertentu. Adapun dalam tinjauan Islam, menurut
ayat 35 surat An-Nuur, ada cahaya lain yang lebih cepat daripada cahaya tampak
yang bisa didifraksi menjadi cahaya pelangi. Ayat ini ada yang menafsirkan
sebagai makna batin yang mendalam oleh kalangan sufi. Bagi kaum Dhahiri, Allah
itulah cahaya. Yang pasti, cahaya di Bumi ini tidak sama dengan cahaya dalam
makna Jibril dan cahaya yang dinisbatkan kepada Allah.
Kesimpulan
Cahaya diakui sebagai zat yang paling cepat melesat di ruang hampa. Dalam makna malaikat (yaitu Jibril), kecepatan cahaya ini jauh melebihi kecepatan cahaya tampak. Kini cahaya bisa diperlambat, bisa dikurangi kecepatannya, bahkan bisa dihentikan. Hanya saja, peneliti sampai saat ini belum mampu mempercepat cahaya di atas kecepatan yang sampai saat ini dipercaya sebagai kecepatan yang tercepat (mutlak).
Apabila
cahaya bisa diperlambat maka hipotesis yang muncul, cahaya pun bisa dipercepat.
Tidak ada sesuatu yang tidak bisa diubah dan berubah di semesta ini, selama ia
adalah makhluk Allah. Persoalannya adalah pada alat dan metodenya yang boleh
jadi ditemukan pada masa mendatang. Dengan demikian, tidak ada yang mutlak di
semesta ini, termasuk cahaya. Wa Allahu 'alam. *
Daftar Pustaka
1. Al Qur’an,
Surat An Nuur: 35.
2. Asyarie, S., Yusuf, R. 1984. Indeks Al Qur’an. Bandung: Pustaka Salman ITB
3. Halliday, Resnick.
1990. Fisika Jilid 2. Jakarta:
Erlangga
4. Ismunandar. 2007. Kimia
Populer, Dari Kasus-Kasus Merkuri Sampai Energi Matahari. Bandung: Penerbit
ITB
5. Pranggono, B. 2006. Mukjizat Sains dalam Al Qur’an. Bandung: Ide Islami
6. Purwanto, A. 2008. Ayat-Ayat Semesta. Bandung:
Mizan
7. Wospakrik, H. J. 2005. Dari Atomos Hingga Quark. Jakarta: Universitas Atma Jaya – Kepustakaan Populer Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar