• L3
  • Email :
  • Search :

24 Maret 2025

Cahaya di Atas Cahaya: Apakah Mutlak?

Kemutlakan Cahaya, Betulkah?
Oleh Gede H. Cahyana

Puasa Ramadhan sudah berada di medio sepuluh hari terakhir. Masa-masa kilatan cahaya (nur) yang diharap-harap oleh kaum muslimin. Malam-malam panjang yang diisi dengan dzikrullah. Cahaya itu pun menghampiri orang-orang yang berhasil mencapai tingkat ketiga shiyam menurut Imam Al-Ghazali: khususil khusus. 

Namun tetaplah berdoa, meskipun shiyam hanya di level dua atau satu, semoga Allah memberikan ampunan-Nya seperti orang-orang yang meraih kelebat spiritual, Lailatul Qadar. Malam kemuliaan. Malam kudus. Sunyi senyap. Iringi dengan doa Allahumma innaka afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu'anni. Ya Allah sungguh Engkau pemaaf, menyukai maaf, maka maafkanlah saya (kami).

Materi tulisan ini adalah kajian historis tentang cahaya dari sejumlah buku dan merujuk pada ayat 35, Surat An-Nuur, al Qur'an al Kariim.

Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim... 
Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, 
Subhanallah wabihamdihi, subhanallah wabihamdihi, subhanallah wabihamdihi, 
Ya Hayyu, Ya Qayyum, birahmatika astaghits. 

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35). 

Cahaya adalah zat pertama yang dilihat manusia, sesaat ia lahir ke dunia. Berkas cahaya melewati lensa matanya dan menimbulkan bayangan. Hanya saja, bayi belum merespon dengan gerak, aksi, atau ucapan yang dipahami ibunya. Bayi lantas mulai mengenal alam dengan bantuan cahaya. Begitu seterusnya sampai masa balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya menutup mata tanpa cahaya yang mampu diidentifikasi oleh retinanya.

Cahaya, dalam hal ini adalah cahaya matahari, sudah ada sejak matahari diciptakan, atau beberapa waktu setelah Big Bang, dentuman dahsyat terjadi. Sekian juta tahun kemudian, setelah melewati zaman es pertama dan kedua, masa hidup dinosaurus, dan memasuki tahun Masehi hingga pada masa kenabian Muhammad SAW, hadirlah keterangan dari Allah tentang cahaya. Ada sekitar 20 surat dan 40 ayat  di dalam Al Qur’an yang menyitir tentang cahaya.

Dalam kajian sainstifik, menurut Einstein, cahaya adalah materi yang memiliki kecepatan absolut atau mutlak tercepat di ruang hampa (vakum). Tidak ada zat yang melebihi kecepatan anggota spektrum gelombang elektromagnet ini. Adapun menurut Al Qur’an, yaitu pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj, malaikat Jibril yang besarnya meliputi semesta dan kecepatannya 50.000 tahun cahaya menunjukkan bahwa ada cahaya selain cahaya yang dimaksud oleh Einstein dan periset lainnya. 

Keduanya atau bahkan semua jenis cahaya (cahaya bintang, cahaya benda pijar, kunang-kunang, dll) adalah ciptaan Allah. Cahaya matahari dan berbagai cahaya lainnya di semesta ini, juga cahaya dalam makna malaikat yang diciptakan dari sejenis cahaya adalah makhluk Allah yang bisa dipercepat, diperlambat, dihentikan, atau bahkan dihancurkan oleh Allah.

Praabad ke-20

Jauh sebelum Muhammad SAW lahir, sebelum beliau dinabikan oleh Allah SWT, di dunia ilmu dan filsafat berkembang paham bahwa cahaya matahari bisa sampai ke Bumi karena merambat melalui media eter. Pendapat Aristoteles ini belum pernah diuji, minimal belum ada catatan atau manuskrip yang bisa ditelusuri oleh ilmuwan muslim pada abad pertengahan. Pendapat ini lantas diuji oleh Michelson dan Morley pada tahun 1887. Dari serangkaian percobaan di beberapa tempat dan dengan variabel penelitian yang rumit, mereka sampai pada kesimpulan bahwa eter itu tidak ada. Artinya, cahaya bisa merambat di ruang hampa dan kecepatannya tidak bergantung pada arahnya. Namun masih ada pertanyaan tersisa, mengapa cahaya bergerak begitu cepat?

Galileo adalah salah seorang yang mempertanyakan tentang kecepatan cahaya. Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1638 yang ditulis dalam bentuk percakapan antara tiga orang bernama Salviati, Sagredo dan Simplicio menceritakan mengenai apa yang mereka katakan tentang kecepatan cahaya.

Pada tahun 1675 astronom Denmark, Ole Roemer, membuat beberapa pengamatan mengenai bulan-bulan Jupiter. Ia memperoleh nilai kecepatan cahaya sebesar 2 x 108 m/detik.  Fisikawan Prancis Louis Fizeu pada tahun 1849 meneliti perbedaan kecepatan cahaya di dalam air yang mengalir. Ia mendapatkan nilai kecepatan cahaya sebesar 3,13x108 m/detik. Para ilmuwan di Biro Standar Nasional di Boulder Colorado, di antaranya Evenson, dengan menggunakan teknik pengukuran hubungan panjang gelombang radiasi dan frekuensi laser-helium-neon memperoleh nilai kecepatan cahaya sebesar 299.792.4574 km/detik. Maka sejak tahun 1973 disepakati bahwa kecepatan cahaya adalah berlandaskan pada percobaan Evenson tersebut.

Ketiadaan eter sebagai medium  perantara rambatan cahaya dan perolehan nilai kecepatan cahaya mengantarkan Einstein pada tahun 1905 untuk membuat gagasan berani. Gagasan bahwa kecepatan cahaya adalah sama dalam semua kerangka referensi. Ia menyatakan, jika sejumlah pengamat bergerak terhadap satu sama lain dan terhadap sumber cahaya dan jika setiap pengamat mengukur kecepatan cahaya yang keluar dari sumber tersebut, maka mereka semua akan mendapatkan nilai yang sama.  

Abad ke-21

Banyak bahan (material) yang mampu memperlambat laju cahaya. Air mampu memperlambat cahaya menjadi 75% dari kecepatan aslinya. Intan, zat yang sangat keras, mampu memperlambat cahaya menjadi 58% dari kecepatan di ruang hampa. Seorang profesor di Universitas Harvard bernama Lene Hau pada tahun 1998 berhasil memperlambat cahaya dari 300.000 km per detik menjadi 30 km per jam.

Pada tahun 2000, di Rowland Institute for Science di Cambridge, Massachussetts, para pakar menggunakan awan atom sodium (natrium) berbentuk batang dengan panjang 0,2 mm dan diameter 0,05 mm. Metode yang digunakan adalah mendinginkan awan atom sodium tersebut hingga hampir nol derajat Kelvin sehingga atom-atomnya berikatan, bergabung menjadi satu dan kompak. Berkas cahaya dilewatkan pada gugus atom tersebut dan diperoleh kecepatan cahaya yang melambat. Pada penelitian selanjutnya diperoleh laju cahaya sepersepuluhjuta dari kecepatan di ruang vakum bahkan menghentikannya pada temperatur nyaris nol derajat Kelvin.

Hal serupa diteliti oleh sekelompok ahli di Universitas Rochester tahun 2003. Dengan menggunakan panjang gelombang cahaya terbatas, para peneliti ini berhasil memperlambat kecepatan cahaya dengan media yang relatif mahal, seperti cold gases dan solid crystalline. Begitu pula peneliti dari Luc Thevenaz dan peneliti dari Ecole Polytechnique Federale de Lausanne di Swiss yang melaksanakan percobaan di laboratorium Nanophotonic and Metrology. Bahannya adalah serat optik sederhana pada temperatur kamar. Tim ini berhasil memperlambat laju cahaya dan juga mempercepatnya. Cahaya bisa diperlambat dan bisa juga dipercepat, bahkan dihentikan. Artinya, cahaya adalah makhluk Allah,

Dari sejumlah hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa cahaya tidak absolut, artinya bisa direkayasa oleh manusia dengan alat dan metode tertentu. Adapun dalam tinjauan Islam, menurut ayat 35 surat An-Nuur, ada cahaya lain yang lebih cepat daripada cahaya tampak yang bisa didifraksi menjadi cahaya pelangi. Ayat ini ada yang menafsirkan sebagai makna batin yang mendalam oleh kalangan sufi. Bagi kaum Dhahiri, Allah itulah cahaya. Yang pasti, cahaya di Bumi ini tidak sama dengan cahaya dalam makna Jibril dan cahaya yang dinisbatkan kepada Allah.

Kesimpulan

Cahaya diakui sebagai zat yang paling cepat melesat di ruang hampa. Dalam makna malaikat (yaitu Jibril), kecepatan cahaya ini jauh melebihi kecepatan cahaya tampak. Kini cahaya bisa diperlambat, bisa dikurangi kecepatannya, bahkan bisa dihentikan. Hanya saja, peneliti sampai saat ini belum mampu mempercepat cahaya di atas kecepatan yang sampai saat ini dipercaya sebagai kecepatan yang tercepat (mutlak). 

Apabila cahaya bisa diperlambat maka hipotesis yang muncul, cahaya pun bisa dipercepat. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa diubah dan berubah di semesta ini, selama ia adalah makhluk Allah. Persoalannya adalah pada alat dan metodenya yang boleh jadi ditemukan pada masa mendatang. Dengan demikian, tidak ada yang mutlak di semesta ini, termasuk cahaya. Wa Allahu 'alam. * 

Daftar Pustaka

1. Al Qur’an, Surat An Nuur: 35.

2. Asyarie, S., Yusuf, R. 1984. Indeks Al Qur’an. Bandung: Pustaka Salman ITB

3. Halliday, Resnick. 1990. Fisika Jilid 2. Jakarta: Erlangga

4. Ismunandar. 2007.  Kimia Populer, Dari Kasus-Kasus Merkuri Sampai Energi Matahari. Bandung: Penerbit ITB

5. Pranggono, B. 2006. Mukjizat Sains dalam Al Qur’an. Bandung: Ide Islami

6. Purwanto, A. 2008. Ayat-Ayat Semesta. Bandung:  Mizan

7. Wospakrik, H. J. 2005. Dari Atomos Hingga Quark. Jakarta: Universitas Atma Jaya – Kepustakaan Populer Gramedia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar