• L3
  • Email :
  • Search :

28 Mei 2018

Mimpi Recycle Center di Bandung

Oleh Gede H. Cahyana

Sejak longsor TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 yang menewaskan 147 orang, masalah sampah di Bandung masih berjalin berkelindan. Upaya solusi terus dilaksanakan misalnya dengan beragam bentuk bak sampah praktis dan artistik namun dirusak oleh vandalisme warga. Terapi kejut (shock therapy) terhadap mobil tanpa wadah sampah juga sudah dicoba, termasuk pembuatan biodigester di sejumlah lokasi seperti di pasar Gedebage. Namun, masalah sampah setia bergelayut dan pemerintah kewalahan memindahkan sampah dari Bandung ke TPA Sarimukti. Upaya kuratif ini adalah bagian akhir dari pengelolaan sampah. Perlu tindakan preventif di bagian awal timbulan sampah dengan menggencarkan lagi pendidikan lingkungan hidup (PLH).

Ironisnya, pendidikan lingkungan hidup di sekolah justru meredup ketika penduduk Bandung makin banyak. Selayaknya PLH ini kian dikembangkan, diperluas hingga ke masyarakat dengan menggerakkan pengurus RT/RW yang dimotori oleh sarjana teknik lingkungan di tingkat kecamatan. Pendidikan lingkungan hidup ini menjadi aset untuk perubahan sikap dan perilaku, memandang sampah sebagai berkah, sumber daya yang bernilai ekonomi, waste for one is added value for another.


Komposisi dan Potensi
Data terakhir timbulan sampah di Kota Bandung ialah 2.255 ton/hari (PD Kebersihan, 2015). Apabila dimisalkan dengan sapi seberat satu ton seekor, maka di Kota Bandung bermunculan 2.255 sapi jumbo setiap hari. Kalau satu truk mampu memuat 5 ekor sapi, maka muncul 451 truk pengangkut sapi yang tersebar di wilayah Kota Bandung setiap hari. Merujuk pada data PD Kebersihan, yang mampu dikelola sekira 1.100 ton/hari sehingga  tersisa 1.155 ekor “sapi yang berkeliaran” di Kota Bandung. Dari total berat sampah tersebut, komposisinya adalah: organik 60% atau 271 truk dan anorganik 40% atau 180 truk setiap hari. Dari 271 truk tersebut yang diolah menjadi kompos kurang dari 1 persen atau hanya dua – tiga truk saja. Yang diolah di semua biodigester kurang dari 2 persen atau 4 – 6 truk saja sehingga sisanya 265 truk berisi lima “sapi” setiap truk dibuang ke TPA, sungai, selokan, diurug, dibakar, dan lain-lain.

Adapun sampah anorganik yang 40% tersebut (180 truk setiap hari), kira-kira 20%-nya bisa didaur ulang (recycleable) yang saat ini dikelola oleh sektor informal, pedagang barang bekas, dan industri daur ulang swasta, termasuk bank sampah. Hanya saja, mayoritas pengolahan barang recycleable itu dilaksanakan di luar Bandung. Sisanya 80% atau 144 truk material recycleable dibuang ke TPA atau tempat-tempat lainnya. Inilah sesungguhnya potensi ekonomi tersembunyi sampah Bandung. Komposisi dan potensi sampah recycleable ini bervariasi dari hari ke hari, bulan ke bulan. Angka yang disajikan di atas bisa berubah setiap saat.

Bandung Recycle Center
Tahun baru adalah tahun sampah, Natal dan Idulfitri pun kalah. Volume atau berat sampah pada tanggal 1 Januari melebihi hari-hari lainnya. termasuk yang recycleable berbahan plastik. Pemulung dan bandar sampah panen besar. Mereka tidak tidur dan bekerja sampai pagi, ketika “selebritis: orang-orang yang merayakannya (to celebrate)” mulai tidur. Dini hari itu juga insan kebersihan kota bertugas, tak hanya di jalan dan permukiman, tetapi juga puluhan armada truk berseliweran dan keramaian petugas TPA yang menatap kembang api di langit dalam keheningan pinggir hutan pinus Sarimukti.

Sebagai daerah tujuan wisata, apalagi libur panjang tahun baru, Bandung didatangi oleh orang dari luar kota yang membuang sampahnya di Bandung. Kalau diambil positifnya, selain mampu menggerakkan aktivitas ekonomi, wisatawan dan warga Bandung pun ikut memberikan kehidupan kepada sektor “pekerja sampah” khususnya yang recycleable.

Ada empat kategori sampah anorganik recycleable, yaitu kertas, plastik, logam, dan kaca (beling). Komposisi empat jenis sampah ini bervariasi di setiap kota. Kota besar lebih banyak sampah anorganiknya  ketimbang kota kecil. Di dalam satu kota pun, variasi anorganik ini terjadi dan biasanya karakteristik permukiman-perumahan ikut mempengarui jenis dan kuantitasnya. Ini sebabnya, sebagai kota besar, Bandung membutuhkan recycle center, pusat daur ulang.

Fokus sampah yang didaur ulang juga bergantung pada komposisi sampah dan kondisi sektor informal pendaur ulang sampah bernilai ekonomi tinggi. Apabila pemerintah ingin berperan dalam daur ulang ini maka opsinya tidak harus untung secara ekonomi tetapi untuk melayani warga sekaligus membuka peluang baru dalam daur ulang sampah. Sampah yang rendah nilai ekonominya (low value) seperti plastik kresek dan lembaran membutuhkan peran serta dan subsidi pemerintah.

Perlu juga kerjasama dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian agar sampah low value bisa dijadikan barang yang bernilai (valuable). Plastik keras bekas wadah air minum, soft drink yang bernilai ekonomi tinggi sudah banyak dipulung dan diolah oleh swasta. Akibatnya, semua plastik kresek dan lembaran yang tidak diminati oleh pemulung dan bandar dibuang ke TPA sehingga memperpendek usia-guna TPA. Untuk recycle center ini, pemerintah jangan berharap untung dulu dan break event point yang cepat. Keuntungan itu ada tetapi di belakang, sekian tahun kemudian.

Recycle center juga bisa dijadikan lokasi belajar PLH murid dan masyarakat. Tidak hanya sampah yang dipelajari, tetapi juga rain water harvesting sebagai sumber air pencuci sampah, instalasi pengolahan air minum, instalasi pengolahan air limbah dan pengolahan lumpur (sludge). Di dalam gedung recycle center, penulis melihat lalu-lalang truk pembawa sampah dari seluruh kota. Suara mesin penggerak konveyor (conveyor belt) bergema dengan deru truk dan gemericik air cucian sampah.

Di unit IPAL penulis menyaksikan gerak motor pengaduk air limbah dan zat kimianya. Lalu… bruumm, mesin truk memekakkan telinga, di sebelah penulis berdiri. Kaget, penulis terkesiap…, mata terbuka, mengingat-ingat, di atas meja tampak buku Integrated Solid Waste Management, terbuka di halaman yang membahas recycle center, material recovery facilities. Ternyata penulis bukan berdiri di gedung recycle center tetapi sedang duduk di kursi lalu tertidur dan bermimpi. Mimpi tentang Bandung Recycle Center (BRC).

Semoga BRC terwujud suatu saat kelak, beroperasi optimal serta menjadi salah satu sarana yang membantu kebersihan kota selain biodigester, komposter, TPA, dan perilaku warga yang kian bersahabat dengan sampah sambil berkata “sayonara PLTSa”. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar