Oleh Gede H. Cahyana
Sejak longsor TPA Leuwigajah pada
21 Februari 2005 yang menewaskan 147 orang, masalah sampah di Bandung masih
berjalin berkelindan. Upaya solusi terus dilaksanakan misalnya dengan beragam
bentuk bak sampah praktis dan artistik namun dirusak oleh vandalisme warga. Terapi
kejut (shock therapy) terhadap mobil
tanpa wadah sampah juga sudah dicoba, termasuk pembuatan biodigester di
sejumlah lokasi seperti di pasar Gedebage. Namun, masalah sampah setia bergelayut
dan pemerintah kewalahan memindahkan sampah dari Bandung ke TPA Sarimukti. Upaya
kuratif ini adalah bagian akhir dari pengelolaan sampah.
Perlu tindakan preventif di bagian awal timbulan sampah dengan menggencarkan
lagi pendidikan lingkungan hidup (PLH).
Ironisnya, pendidikan lingkungan
hidup di sekolah justru meredup ketika penduduk Bandung makin banyak. Selayaknya
PLH ini kian dikembangkan, diperluas hingga ke masyarakat dengan menggerakkan pengurus
RT/RW yang dimotori oleh sarjana teknik lingkungan di tingkat kecamatan. Pendidikan
lingkungan hidup ini menjadi aset untuk perubahan sikap dan perilaku, memandang
sampah sebagai berkah, sumber daya yang bernilai ekonomi, waste for one is added value for another.
Komposisi
dan Potensi
Data terakhir timbulan sampah di Kota
Bandung ialah 2.255 ton/hari (PD Kebersihan, 2015). Apabila dimisalkan dengan
sapi seberat satu ton seekor, maka di Kota Bandung bermunculan 2.255 sapi jumbo
setiap hari. Kalau satu truk mampu memuat 5 ekor sapi, maka muncul 451 truk pengangkut
sapi yang tersebar di wilayah Kota Bandung setiap hari. Merujuk pada data PD
Kebersihan, yang mampu dikelola sekira 1.100 ton/hari sehingga tersisa 1.155 ekor “sapi yang berkeliaran” di
Kota Bandung. Dari total berat sampah tersebut, komposisinya adalah: organik 60%
atau 271 truk dan anorganik 40% atau 180 truk setiap hari. Dari 271 truk tersebut
yang diolah menjadi kompos kurang dari 1 persen atau hanya dua – tiga truk saja.
Yang diolah di semua biodigester kurang dari 2 persen atau 4 – 6 truk saja
sehingga sisanya 265 truk berisi lima “sapi” setiap truk dibuang ke TPA, sungai,
selokan, diurug, dibakar, dan lain-lain.
Adapun sampah anorganik yang 40%
tersebut (180 truk setiap hari), kira-kira 20%-nya bisa didaur ulang (recycleable) yang saat ini dikelola oleh
sektor informal, pedagang barang bekas, dan industri daur ulang swasta,
termasuk bank sampah. Hanya saja, mayoritas pengolahan barang recycleable itu dilaksanakan di luar
Bandung. Sisanya 80% atau 144 truk material recycleable
dibuang ke TPA atau tempat-tempat lainnya. Inilah sesungguhnya potensi ekonomi tersembunyi
sampah Bandung. Komposisi dan potensi sampah recycleable ini bervariasi dari hari ke hari, bulan ke bulan. Angka
yang disajikan di atas bisa berubah setiap saat.
Bandung
Recycle Center
Tahun baru adalah tahun sampah,
Natal dan Idulfitri pun kalah. Volume atau berat sampah pada tanggal 1 Januari
melebihi hari-hari lainnya. termasuk yang recycleable
berbahan plastik. Pemulung dan bandar sampah panen besar. Mereka tidak tidur
dan bekerja sampai pagi, ketika “selebritis: orang-orang yang merayakannya (to celebrate)” mulai tidur. Dini hari
itu juga insan kebersihan kota bertugas, tak hanya di jalan dan permukiman,
tetapi juga puluhan armada truk berseliweran dan keramaian petugas TPA yang
menatap kembang api di langit dalam keheningan pinggir hutan pinus Sarimukti.
Sebagai daerah tujuan wisata, apalagi
libur panjang tahun baru, Bandung didatangi oleh orang dari luar kota yang membuang
sampahnya di Bandung. Kalau diambil positifnya, selain mampu menggerakkan
aktivitas ekonomi, wisatawan dan warga Bandung pun ikut memberikan kehidupan kepada
sektor “pekerja sampah” khususnya yang recycleable.
Ada empat kategori sampah anorganik
recycleable, yaitu kertas, plastik,
logam, dan kaca (beling). Komposisi empat jenis sampah ini bervariasi di setiap
kota. Kota besar lebih banyak sampah anorganiknya ketimbang kota kecil. Di dalam satu kota pun,
variasi anorganik ini terjadi dan biasanya karakteristik permukiman-perumahan
ikut mempengarui jenis dan kuantitasnya. Ini sebabnya, sebagai kota besar,
Bandung membutuhkan recycle center,
pusat daur ulang.
Fokus sampah yang didaur ulang
juga bergantung pada komposisi sampah dan kondisi sektor informal pendaur ulang
sampah bernilai ekonomi tinggi. Apabila pemerintah ingin berperan dalam daur
ulang ini maka opsinya tidak harus untung secara ekonomi tetapi untuk melayani
warga sekaligus membuka peluang baru dalam daur ulang sampah. Sampah yang rendah
nilai ekonominya (low value) seperti plastik
kresek dan lembaran membutuhkan peran serta dan subsidi pemerintah.
Perlu juga kerjasama dengan perguruan
tinggi atau lembaga penelitian agar sampah low
value bisa dijadikan barang yang bernilai (valuable). Plastik keras bekas wadah air minum, soft drink yang bernilai ekonomi tinggi
sudah banyak dipulung dan diolah oleh swasta. Akibatnya, semua plastik kresek
dan lembaran yang tidak diminati oleh pemulung dan bandar dibuang ke TPA sehingga
memperpendek usia-guna TPA. Untuk recycle
center ini, pemerintah jangan
berharap untung dulu dan break event
point yang cepat. Keuntungan itu ada tetapi di belakang, sekian tahun
kemudian.
Recycle
center juga bisa
dijadikan lokasi belajar PLH murid dan masyarakat. Tidak hanya sampah yang
dipelajari, tetapi juga rain water
harvesting sebagai sumber air pencuci sampah, instalasi pengolahan air
minum, instalasi pengolahan air limbah dan pengolahan lumpur (sludge). Di dalam gedung recycle center, penulis melihat lalu-lalang
truk pembawa sampah dari seluruh kota. Suara mesin penggerak konveyor (conveyor belt) bergema dengan deru truk
dan gemericik air cucian sampah.
Di unit IPAL penulis menyaksikan
gerak motor pengaduk air limbah dan zat kimianya. Lalu… bruumm, mesin truk memekakkan
telinga, di sebelah penulis berdiri. Kaget, penulis terkesiap…, mata terbuka,
mengingat-ingat, di atas meja tampak buku Integrated
Solid Waste Management, terbuka di halaman yang membahas recycle center, material recovery facilities. Ternyata penulis bukan berdiri di
gedung recycle center tetapi sedang duduk
di kursi lalu tertidur dan bermimpi. Mimpi tentang Bandung Recycle Center (BRC).
Semoga BRC terwujud suatu saat
kelak, beroperasi optimal serta menjadi salah satu sarana yang membantu kebersihan
kota selain biodigester, komposter, TPA, dan perilaku warga yang kian bersahabat
dengan sampah sambil berkata “sayonara PLTSa”. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar