• L3
  • Email :
  • Search :

14 Juni 2006

Insinerasi Bukan Solusi

Metropolis terkotor. Inilah predikat baru Kota Bandung menyusul penganugerahan Adipura 2006. Julukan yang menohok itu langsung menghapus jejak Bandung sebagai der bloem der indes bergsteiden. Sirna semuanya lantaran sampah. Salah siapa? Tentu saja salah DPRD, pemkot, aparat dan masyarakat! Semuanya punya porsi salah masing-masing. Namun demikian, yang paling salah adalah aparatur pengelola daerah karena perangkat institusinya sebagai eksekutif tak mampu menuntaskan masalah sampah sejak kasus Leuwigajah. Selain terlihat lamban dan gamang, semua solusinya bersifat instan-reaktif.

Predikat resmi tersebut pun kontan menutup julukan klasiknya, Parijs van Java, dan menjadi raport merah pemerintah di bidang lingkungan. Penyematnya bukan lagi LSM seperti awal tahun 2006 lalu melainkan (wakil) presiden. Bersama Kota Bekasi, Kota Bandung telah memerahkan telinga aparatur Provinsi Jawa Barat sehingga badan, balai, dan lembaga ikut-ikutan kebakaran jenggot. Sebab, baru kali inilah dalam sejarahnya, Bandung resmi disebut kota sampah. Ada satu lagi yang wajib diwaspadai, yaitu potensinya sebagai metropolis terparah polusi udaranya yang disebabkan oleh sampah.

Insinerasi, Layakkah?
Setelah sampah, jangan pula air dan udara yang jadi masalah. Apa pasal? Insinerasi! Inilah bahaya laten kedua setelah sampah. Tak tampak sekarang tapi bisa muncul segera setelah insinerasi beroperasi. Kerjanya memang cepat memusnahkan sampah. Dalam tempo singkat sampah yang combustible (bisa terbakar) akan lenyap, berubah menjadi masa lain dan energi, mengikuti hukum kekekalan masa dan energi. Akibat panasnya yang mencapai 900 - 1.000 derajat Celcius, sisanya berupa abu dan sampah noncombustible. Berat abunya antara 25% - 40% dari berat awal sampah atau 10% - 15% dari volume awalnya. Kisaran reduksi volumenya 85% - 90% sehingga mudah diangkut ke disposal point, seperti TPA. Hanya saja, abu ini berpotensi mencemari air karena mengandung gegaram inorganik terlarut.

Reduksi volume memang menggoda, terlebih lagi ada iming-iming energi listrik. Tak salah memang, insinerasi menghasilkan uap (steam) pemutar turbin (steam turbin) dan generator (pembangkit) listrik. Tapi jangan lupa, insinerasi tidak siginifikan sebagai sumber energi jika sampahnya mayoritas sampah basah (sabah), tinggi kadar airnya, rendah kalorinya. Andaikanlah semua sampah Bandung (7.000 m3) diinsinerasi, berapa persenkah potensi listriknya terhadap konsumsi listrik orang Bandung sekarang? Signifikankah? Jika ditambah dengan sampah dari luar Bandung, betulkah mudah dilaksanakan dan lebih menguntungkan? Koran "PR" pernah menulis begini: Dengan dilakukannya pengolahan sampah menjadi energi listrik, selain akan menghilangkan sampah, masyarakat juga akan dapat memanfaatkan energi yang dihasilkannya. Selain sampah dari Kota Bandung, bukan tidak mungkin kita juga akan memerlukan sampah dari kabupaten lain untuk diolah, kata Wali Kota Bandung, Dada Rosada, usai menghadiri penandatanganan nota kesepahaman itu di Hotel Hyatt, Rabu (21/9) malam.

Mari berandai-andai, semua sampah dari luar Bandung diolah di insinerator itu. Bukankah cara ini memunculkan masalah baru? Lalu-lintas yang sudah macet akan makin semrawut oleh truk sampah. Warga Bandung makin stres oleh bau sampah yang diangkut truk dan oleh seliweran truk-truknya setiap hari selama 24 jam selama bertahun-tahun, sepanjang operasi insinerator. Pada saat yang sama, pemerintah harus menambah jumlah armada truknya supaya semua sampah di TPS bisa diangkut tepat waktu agar insineratornya kontinu beroperasi. Kalau telat, pasokan listriknya akan fluktuatif dan bisa menimbulkan masalah dengan PLN atau dengan pembeli energinya yang lain seperti industri. Tambahan truk itu pun menyedot uang rakyat. Belum lagi biaya operasi-rawatnya, termasuk gaji sopirnya yang berjumlah ratusan orang (termasuk sopir cadangan) sehingga menjadi masalah tersendiri dalam pengaturan jadwal dan ritnya. Ujung-ujungnya, warga Bandung lagi yang menanggung retribusi dan risikonya.

Ancam Lingkungan
Dari aspek lingkungan, insinerator sungguh merugikan, menjadi petaka baru. Berapa tonkah abu dan gas pencemar CO2, S2O, dll yang diemisikan ke langit Bandung per hari? Berapa per bulan, berapa dalam setahun? Sekarang saja polusi udaranya sudah parah. Misalkanlah efisiensi penyisihan partikulatnya sangat hebat, mencapai 99%; berarti ada 1% yang lolos menjadi pencemar. Jangan-jangan emisinya malah tak terkendali lantas menghasilkan abu-kabut. Parahnya lagi, Kota Bandung dikitari pegunungan sehingga anginnya tak bisa bebas mengalir, malah memerangkap abunya. Sakit saluran pernapasan akan menjadi langganan orang Bandung, terutama yang tinggal di dekat insinerator. Yang jauh pun bisa kena karena abunya ditiup angin, menyebar berputar-putar ke segala arah tapi tetap berada di cekungan Bandung. Pohon, gedung, rumah, kendaraan, kebun pun diselumiti abu, mirip debu akibat letusan Merapi. Debu Merapi hanya terjadi sewaktu-waktu, tapi abu insinerasi berlangsung seumur-umur selama masa operasinya dan menjadi benih bencana terbesar bagi lingkungan. Apabila ini betul terjadi lalu insineratornya ditutup setelah ratusan milyar uang dibenamkan di sana, maka yang rugi lagi-lagi orang Bandung sebagai pembayar pajak dan retribusi yang terus naik.

Disebut di atas, insinerator dapat menimbulkan masalah air. Selain polusi air oleh abunya yang dibuang ke TPA, insinerator pun memerlukan air untuk pendingin gas, scrubber dan pembilas atau pemadam kerak/arangnya, termasuk pencucian di sekitar instalasi. Sekarang saja PDAM Kota Bandung sudah kesulitan air, baru 53% yang dilayaninya. Apatah lagi nanti ketika harus berbagi dengan insinerator. Terjadi rebutan sumber air? Bagaimana sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, komersial dan pariwisata? Apabila ini terjadi, tiga cita-cita walikota untuk menyelesaikan masalah air, lingkungan dan sampah di Bandung takkan tercapai, tapi justru makin parah. Lingkungan air dan udara terus memburuk, sakit kulit dan saluran pernapasan merata diidap warga. Boleh jadi kadar timbal dan logam lainnya makin banyak dalam darah orang Bandung.

Tak hanya itu. Dalam sortasi umpan pun timbul masalah, terutama pada tahap pemilahan sampah noncombustible agar tak masuk ke insinerator yang dapat mengurangi kinerjanya. Berangkal, batu, bata, dan logam, meskipun ada magnetic separator atau ferrous metal recovery tetap saja timbul masalah. Apalagi ongkos investasinya sangat mahal dan biaya operasi-rawatnya melebihi operasi-rawat di negara maju yang sampahnya berkalori tinggi. Di negara itu pun insineratornya banyak yang gagal, baik karena masalah biaya maupun kendala teknis.

Jika demikian, apa solusinya? Selain sanitary landfill (sanfil), yang layak adalah pengomposan (composting) di tingkat personal, komunal, dan regional. Ada kata-kata mutiara: sesal kemudian tak berguna. ***

Gede H. Cahyana

1 komentar:

  1. Mau ikut komentar ya pak. Setahu saya, menurut BPS tahun 1999 di seluruh Indonesia, kira-kira cuma 11% sampah yang dikelola oleh pemerintah/pd kebersihan, mayoritas (kira-kira 63%) dibakar oleh masyarakat, 10% dibuang ke sungai, dan hanya 6% yang dijadikan kompos. Bukankah lebih baik kalau komposisi 63% dibakar di insinerator saja, yang notabene kondisi pembakarannya jauh lebih baik daripada pembakaran oleh masyarakat?

    Berikutnya mau komentar solusinya nih, sanitary landfill meski lebih bersih daripada open dumping, tetapi membutuhkan lahan yang luas, dan ini berarti untuk kasus kota Bandung, pemkot/pd kebersihan harus mencari lahan yang kemungkinan besar tidak ada di kota Bandung (kalau pemkot membuat sanfil di Gedebage, warganya saya kira tetap tidak mau!), padahal saat ini masalah utamanya mereka membuang ke TPA Sarimukti yang jaraknya ratusan kilometer (jauuh lho), dengan gangguan dipalak di tengah jalan, dilempar orang yang tidak tahan baunya, macet dll. Artinya sanitary landfill juga sulit dilakukan di Bandung, kalau tempatnya tidak ada.

    Solusi yang terakhir, composting. Di tingkat personal hingga komunal, syarat utama suksesnya adalah adanya lahan untuk ditebar kompos (jadi tidak akan berjalan di perumahan RSSS) dan adanya cukup sampah untuk diolah jadi kompos (mesin pengomposan mini yang menggunakan drum itu tidak bisa diisi oleh satu keluarga saja).
    Ini gambaran diskusi kecil saya:Berapa lama sih membuat kompos? Ya cukup lama, tidak bisa sejam dua jam. Lama ya? Lalu kalau sampahnya cukup dan lahannya semua sudah ditebar kompos, mau apa? Dijual. Dapetnya berapa? Ngga banyak sih... Dijual kemana? ya... nanti saya cariin... gitu deh pak, makanya saya kira semua pasti sedang mencari solusi yang paling manjur.

    Tetapi mengingat keadaan sudah mendesak begini, saya kira semua alternatif ya harus dijalankan, asalkan kita semua bisa mengontrol, tidak ada main2 belakang...

    BalasHapus