• L3
  • Email :
  • Search :

7 Juni 2006

Bandung Tunggu Peniup Suling Hamerun?

Hamerun, sebuah kota di Jerman, adalah kota yang tenang. Hidup bertetangga: saling sapa, saling bantu. Suatu hari, entah dari mana datangnya, muncullah serbuan tikus di sudut-sudut kota. Perempuan ketakutan, anak-anak menjerit, dan lelaki terganggu oleh suara berisiknya. Makanan diobrak-abrik, gudang gandum diserbu dan ludes. Penduduk putus asa begitu pun walikotanya. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu. Sementara itu siang malam tikus berkeliaran dan makin banyak jumlahnya, beranak-pinak.

Dalam kekalutan itu hadirlah seorang berbaju aneh, warna-warni, meniup suling. Penduduk terkesima dan hanya menatapnya saja.
"Saya Ratbun," ujarnya memperkenalkan diri.
"Ada apa dan akan pergi ke mana Tuan?"
"Saya lihat di sini banyak tikus yang membuat Saudara-saudara menderita. Jika Saudara mau, saya dapat membasmi tikus-tikus itu. Tentu saja ada imbalannya."
"Tuan mau imbalan apa?"
"Uang emas seratus keping."

Semua kaget mendengar permintaan Ratbun. Mereka tak punya uang emas sebanyak itu. Mereka beralih memandang Pak Walikota. Walikota menggeleng tanda menolak. Warga langsung marah. Mereka ingin walikota membayar keinginan Ratbun, si Peniup Suling Ajaib. Karena didesak terus akhirnya walikota mengalah dan berjanji membayarnya.

Setelah sepakat, mulailah Ratbun meniup sulingnya. Bunyinya aneh. Belum pernah ada nada seperti itu. Sulit mengatakannya, sulit pula menirunya. Tak ada duanya yang mampu memainkan suling seperti itu. Yang paling aneh, semua tikus, yang besar yang kecil, mengikuti langkahnya. Dia menuju sungai terbesar di kota itu. Tiupan sulingnya makin lama makin keras, terdengar ke segenap sudut kota. Semua tikus tanpa tersisa mengikuti arah suara suling itu.

Sampai di tepi sungai, setelah berdiri sejenak, Si Peniup Suling lalu mengayunkan kaki kanannya, masuk ke sungai. Dia terus ke tengah hingga tubuhnya tenggelam sampai ke leher. Di sana dia berhenti sambil memainkan sulingnya diikuti oleh kecipak air akibat ceburan tikus. Ratusan ribu tikus masuk ke sungai itu lalu.... mati, tak tersisa satu pun. Tapi anehnya, tak ada bangkai tikus yang mengambang. Tenggelam pun tidak. Air sungai tak terkotori, tetap seperti sebelumnya. Bangkai tikus lenyap seperti ditelan dasar sungai. Lagi-lagi ajaib.

Amanlah lagi kota itu. Penduduk senang, walikota gembira.

Kisah ini sengaja ditutup sampai di sini, tak dilanjutkan lagi.

--**--

Membaca kejadian di kota Hamerun itu, perlukah walikota Bandung minta bantuan Ratbun, atau orang semacam Ratbun? Andaikata ada orang seperti Ratbun, dia tentu mampu mengerahkan sampah Bandung ke suatu tempat yang tak menimbulkan masalah bagi warganya. Lenyap tanpa bekas. Semahal apapun bayarannya tentu bisa ditanggung bersama.

Mungkinkah ada Ratbun di Bandung? Perlukah kita memanggil Ratbun agar kita bebas sampah? Di mana dia tinggal?

Ternyata Ratbun tinggal di Bandung. Tak jauh-jauh. Dia tinggal di dalam diri warganya. Ia adalah karakter warga Bandung. Ia bersemayam dalam kecerdasan emosional, EQ, Emotional Quotient orang Bandung. Ia tubuh maya kita. Ratbun adalah perilaku kita. Kita siapa? Kita adalah pribadi di setiap rumah tangga, RT-RW, lurah, camat, dan walikota plus kepala dinas dan jajarannya.

Jadi, ketika Ratbun "meniup sulingnya" di Bandung, lambat-laun sampah Bandung akan selesai dengan sendirinya, tanpa disadari. Selesai diam-diam lantaran Ratbun menjelma dalam EQ warganya.

Tuan Ratbun adalah EQ orang Bandung, siapapun dia, mulai dari Tarjo, Kinem, Tole, Asep, Neneng, Natadiningrat, Joyoprawiro, Mangkukotapraja, dan seterusnya.*

Gede H. Cahyana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar