Bandung, The Garbage God
Sampah Bandung tak mungkin diangkut dalam tempo 21 hari sejak ultimatum dirilis oleh Menneg Lingkungan Hidup pada 23 Mei lalu. Perlu 1.860 armada truk dan harus bekerja siang malam. Selama enam hari, sejak 26 sampai 31 Mei, sampah yang terangkut baru 5.570 m3 atau 557 truk. Padahal jumlah total sampah 307.500 m3. Demikian tulis PR (2/6). Apalagi pada saat yang sama ada penambahan sampah 7.000 m3 per hari sehingga terjadi akumulasi 7.000 (6 hari)- 5.570 = 36.430 m3 per enam hari. Akumulasi se-Bandung ini jauh di atas volume yang diangkut selama enam hari tersebut.
Adakah solusinya? Tanggap jangka pendek dapat dilakukan dengan mengerahkan PNS, TNI-Polri, Satpol PP, dll untuk mengomposkan, membakar atau mengubur sampah di kantor masing-masing dan sekitarnya. Tanggap jangka panjang ditempuh dengan dua konsep. Yang pertama adalah konsep 7R, konsep kelola sampah mulai dari sumber, TPS, dan TPA. Yang kedua adalah konsep olah sampah secara estetis yang ecofriendly seperti yang diterapkan di Odessa, Texas Barat.
Konsep 7R
Masalah sampah sebetulnya bisa diselesaikan dengan ‘tangan bersih’. Ini berkaitan dengan ilmu dan perilaku masyarakat. Patut diakui, tak semua orang paham bahwa sampah sebaiknya sesedikit mungkin dibuang ke tong sampah. Yang organik sebaiknya ditanam, yang anorganik jika tak bisa dimanfaatkan lagi silakan dibakar dan yang masih bernilai guna bisa dijual atau diberikan kepada pemulung.
Konsep tersebut terangkum dalam konsep 7R, yaitu reduce, reuse, recycle, recovery, replace, relocation, responsible. Reduce, mereduksi volume sampah, yaitu memakai barang yang efisien sehingga tak banyak yang terbuang. Sayur misalnya, bisa disiapkan dalam ujud siap olah yang sedikit menimbulkan sampah. Reuse, gunakan lagi sampah, misalnya karton digunakan untuk bahan baku mainan anak-anak TK-SD. Atau, bisa juga digunakan untuk hiasan. Intinya adalah kreativitas, sekecil apapun itu, yang penting tidak masuk ke tong sampah.
Selanjutnya adalah Recycle, daur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat. Sampah organik dijadikan kompos, yang anorganik seperti kertas diolah menjadi bubur kertas lalu dijadikan kertas baru lagi dengan mutu yang lebih rendah, tapi tetap bermanfaat dengan harga murah. Replace, gantilah bahan baku atau barang yang berpotensi terbuang sekali pakai dengan yang bisa digunakan berkali-kali. Misalnya, wadah belanjaan berupa tas sebagai ganti plastik kresek. Recovery, ambil yang masih berguna. Benda-benda berupa potongan besi, kabel, paku, baterei atau accu, bisa dikumpulkan lalu dijual ke tukang rongsok dan akan diolah atau dijual lagi ke pabriknya.
Relocation, tempat sampah yang tepat desain dan letaknya sehingga mudah diambil petugas. Sortasi sampah oleh pemilik dan pemulung pun bisa dilakukan dengan mudah. Menurut Perda K3 Kota Bandung, tempat sampah harus diletakkan di pekarangan rumah, bukan di luar pagar. Hanya saja, tetap harus mudah diambil petugas. Penampungan di tingkat RW dan kelurahan pun yaitu di TPS juga harus nyaman, estetis, bukan di sembarang lahan kosong.
Responsible, bertanggung jawab, baik rumah tangga, petugas kebersihan, dan pegawai-pejabat pemerintah daerah. Yang paling tinggi tentu saja PD Kebersihan atau Dinas Kebersihan dan walikota atau bupatinya. Lalu disusul oleh semua dinas, badan, dan lembaga pemerintah lainnya. Rasa tanggung jawab inilah yang belum tampak, baik di tingkat rumah tangga maupun pemerintah daerah dan terkesan bekerja serampangan. Bekerja keras tapi tak cerdas sehingga terus berlarut-larut lantaran solusinya bersifat instan reaktif, bukan kreatif.
Agar mampu melaksanakan atau minimal memasyarakatkan konsep 7R tersebut, pemerintah hendaklah mendidik pegawainya dan juga masyarakat umum tentang sampah. Seorang sarjana, magister, atau doktor sekalipun mungkin saja belum paham tentang cara menangani sampah. Yang juga penting atau malah sangat penting adalah mengubah slogan bahwa sampah musuh orang sehat.Gantilah dengan slogan: sampah adalah berkah, seperti kisah di bawah ini.
Odessa, Texas Barat
Adalah Geoffrey Stanford yang punya ide brilian saat itu. Sebagai periset dan dosen di Universitas Texas, Amerika Serikat dia terbiasa berpikir analitis. Melihat tambang minyak di sekujur Odessa yang bisa habis suatu saat kelak, dia menduga daerahnya akan menjadi kota hantu, the ghost town, karena tak berpotensi lain selain minyak. Odessa memang dibangun karena deposit minyaknya yang melimpah. Daerahnya kaya minyak tapi tandus, tak ada industri dan tak bisa dijadikan peternakan besar (ranching) apalagi pertanian, lalu dikotori lagi oleh limbah minyak. The town has no other industry, and the surrounding land is too poor to support large-scale cattle ranching, much less farming. Demikian tulis majalah Time edisi 2 Juli 1973.
Mengalirlah idenya. Odessa, kota kecil berpenduduk 79.000 orang pada waktu itu, menghasilkan banyak sampah dan diyakininya bisa menyuburkan lahan gersang Odessa. Dibantu rekannya, seorang raja minyak Texas, dia berhasil mengerahkan sampah kota untuk dijadikan penutup tanah tandus seluas 320 hektar di luar kota. Selain sampah, dikerahkan juga mobil tangki untuk membawa air limbah yang kemudian disebarkan di lahan itu. Akibatnya terjadilah pengomposan dengan formula bagus. Rasio karbon terhadap nitrogennya (C/N ratio) yang baik berkisar antara 25 sampai 35. Menjadi hijaulah gurun itu oleh tanaman. Inilah yang lantas menggerakkan majalah Time untuk menulis artikel di kolom environment-nya dengan judul "The Garbege God".
Tidakkah Bandung ingin meniru pengalaman Odessa? Apalagi tanggal 5 Juni 2006 ini diperingati sebagai Hari Lingkungan Sedunia (World Environment Day) dengan tema Desert and Desertification. Gurun dan Penggurunan. Lahan kering dan tandus di Bumi ini mencapai 40%, termasuk di Indonesia. Bagaimana di Bandung dan Jawa Barat Umumnya? Prinsip sambil menyelam minum air layak diterapkan. Sambil menyelesaikan masalah sampah, juga menyuburkan lahan. Pemerintah daerah bisa mencari tanah tandus, bekerja sama dengan Dep/Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dll untuk memperoleh data lokasi lahan tandus itu. Lalu kirimlah sampah ke sana dengan maksud bukan asal buang alias open dumping melainkan meniru pola Odessa. Ini jauh lebih baik daripada pusing-bingung mencari TPA berpola open dumping karena warga pasti menolaknya. Sebab, tak ada harapan yang didapat warga selain bau, lalat, nyamuk, tikus, dan penyakit.
Terlebih lagi ada satu hal yang menggembirakan, yaitu sampah Bandung kaya zat organik, rerata mencapai 80%. Agar nilai unsur haranya makin tinggi bisa ditambahi kotoran hewan, misalnya limbah ternak domba, sapi, kambing, dll, atau ditaburi tinja dari sedotan tangki septik milik PDAK (Perusahaan Daerah Air Kotor) Bandung. "Ramuan" tersebut dapat memperkaya unsur penyubur, baik yang tergolong unsur primer, sekunder maupun mikroelemen (tracemineral). Sekian waktu kemudian, tanah menjadi gembur sehingga sirkulasi udaranya terjaga baik, memudahkan akar masuk ke tanah, membantu konservasi air, mencegah erosi, longsor, dan banjir. Tak ada kata telat jika mau mencoba, bukan?***
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar