• L3
  • Email :
  • Search :

29 Oktober 2009

Pengol. Lumpur (Sludge Treatment)

Pengolahan Lumpur, Sludge Treatment

Dalam sebuah kesempatan, penulis berbincang dengan Direktur Utama PDAM Kota Tarakan. Satu topik bahasan yang muncul adalah tentang teknologi pengolahan lumpur IPAM. Melihat air bakunya yang sangat keruh, kaya coarse solid, suspended solid, dan koloid, dapat dipastikan unit sedimentasinya menimbulkan banyak lumpur. Berkaitan dengan itu, di bawah ini dituliskan beberapa teknologi yang bisa digunakan dalam pengolahan lumpur. Namun opsi pemanfaatan lumpur IPAM menjadi pencampur bahan bangunan, batako, paving block, adsorban, pupuk, dll seperti usulan dalam bincangan tersebut belum disertakan karena banyak yang masih dalam taraf penelitian di laboratorium dan belum bernilai ekonomis kalau diterapkan di lapangan.

Lumpur dalam arti sludge (bukan mud, wet dirt) selalu ada di setiap unit pengolah air, apapun jenis dan bentuk teknologi pengolahannya. Seperti halnya di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), walaupun berbeda sifat atau karakteristiknya, IPAM di PDAM pun menimbulkan lumpur (sludge) yang volume hariannya relatif besar, bergantung pada debit air yang diolah dan konsentrasi kekeruhan air bakunya. Makin besar debitnya dan makin tinggi konsentrasi padatannya, baik padatan kasar (coarse solid), padatan tersuspensi (suspended solid) maupun koloid, makin besar juga volume lumpurnya. Kecuali kalau air bakunya berasal dari mata air (artesian dan atmospheric spring) (khususnya pada musim kemarau), lumpur di IPAM umumnya berasal dari unit sedimentasi, baik yang sifatnya diskrit maupun flok.

Lumpur diskrit, yakni lumpur yang butir-butirannya terpisah tanpa koagulan, biasanya kecil volume per satuan waktunya kecuali pada musim hujan. Mayoritas lumpur ini mengandung pasir, grit, dan pecahan kerikil berukuran kecil. Lumpur ini bisa di-recovery dengan cara dicuci (disemprot air) atau dengan diayak di dalam air. Sebaliknya, lumpur yang berupa flok, yaitu kimflok (chemiflocc) sangat besar volumenya terutama di IPAM besar yang air bakunya sangat keruh, didominasi oleh koloid. Selain unit sedimentasi yang didahului oleh unit koagulasi dan flokulasi itu, sumber lumpur lainnya adalah unit pelunakan atau softening dan air cucian dari filter pasir cepat dan pasir lambat.

Opsi Teknologi
Dalam teknologi pengolahan lumpur, ada beberapa unit yang dapat diterapkan seperti settling, thickening, conditioning, dewatering, drying, recovery, dan disposal. Semua unit tersebut memerlukan biaya yang relatif besar, termasuk unit disposal (pembuangan) yang tampaknya murah. Ada kalanya residu tertentu boleh dibuang ke selokan atau ke dalam pipa air limbah dengan persyaratan ketat atau dalam kondisi tertentu. Hanya saja di Indonesia cara ini (sebaiknya) tidak diperbolehkan. Sebab, kalau ini terjadi maka semua IPAL domestik akan cepat dangkal, memerlukan biaya untuk pengerukan sekaligus pembuangan lumpurnya ke tempat lain. Ini menimbulkan masalah baru dan biaya baru bagi pengelola IPAL. Lain halnya kalau lumpur tersebut dibuang atau digenangkan di tanah-tanah cekung tetapi tetap harus layak agar tidak mencemari air tanahnya atau dilapisi bahan kedap air seperti lempung, geomembran, geotekstil sehingga fungsinya serupa dengan sludge drying bed.

Dari sekian banyak teknologi pengolah lumpur tersebut, diperlukan analisis kinerja masing-masing dalam pemilihannya, unit mana yang tepat diterapkan. Pilihan unit ini dipengaruhi oleh kondisi lokasi, misalnya luas lahan, jenis dan kualitas lumpur, kondisi cuaca, biaya zat kimia, dan tipe disposal atau pembuangan akhir yang tersedia atau yang harus disediakan. Seleksi ini pun bergantung pada dimensi unitnya (size of plant), biaya konstruksi, harga peralatannya (equipment), termasuk faktor operasional seperti zat kimia, listrik, pekerja, dan kelayakannya. Opsi yang dipilih dari alternatif proses pengolahan lumpur itu harus didasarkan pada aspek keuntungan, manfaat dan pertimbangan keburukan setiap prosesnya dan biaya pengolahannya secara keseluruhan. Hal yang perlu dalam memilih prosesnya antara lain (1) persyaratan lahan, (2) operasi di bawah kodisi cuaca yang buruk, (3) variasi debit olahan, (4) mudah dalam operasi-rawat, (5) kualitas lumpur dan supernatannya.

Untuk memilih jenis teknologi yang tepat, perlu diketahui dulu jenis lumpurnya. Yang pertama adalah lumpur dari unit prasedimentasi. Lumpur dari prasedimentasi ini dapat saja dikembalikan ke sungai asalkan peraturannya ada atau diizinkan oleh undang-undang. Hanya saja di sungai-sungai yang sudah dangkal, cara ini akan memperparah pendangkalan dan bisa diprotes oleh masyarakat. Yang paling aman adalah dengan memanfaatkan sludge drying bed kemudian dibuang ke tanah-tanah yang cekung sebagai bahan urugan. Bisa juga dijadikan penambah lapisan penutup di sanitary landfill (sanfil) meskipun sifatnya lulus air dan tidak bisa dijadikan pengganti tanah penutup berbahan lempung, kecuali semata-mata sebagai tempat pembuangan akhir lumpur saja, kalau tiada opsi lainnya.

Yang kedua adalah lumpur dari sedimentasi dan mixing (koagulasi, flokulasi). Rentang konsentrasi lumpur di unit ini akibat pembubuhan alum dan PAC (polyaluminum chloride) antara 1.000 mg/l dan 17.000 mg/l. Massa jenis lumpur alum kering antara 70 dan 99 pounds per cubic foot. Kalau akan dibuang ke sanitary landfill (sanfil) maka kadar padatannya minimal 20 persen. Lumpur yang dihasilkan oleh garam-garam besi juga ditangani serupa dengan penanganan lumpur dari koagulan alum sulfat ini. Teknologi recovery untuk lumpur ini agar diperoleh kembali mineral alum dan besinya sudah dijadikan objek penelitian namun hasilnya belum layak diterapkan karena belum menguntungkan.

Berikutnya adalah lumpur dari unit pelunakan (softening). Karakteristik lumpur jenis ini dipengaruhi oleh konsentrasi ion-ion penyebab kesadahan, khususnya kalsium dan magnesium, jenis koagulan yang digunakan dalam proses mixing dan konsentrasi padatan (solid) di dalam air bakunya. Kadar padatan dalam lumpur pelunakan ini berkisar antara 2 – 30 persen atau volume totalnya antara 0,3 s.d 6 persen dari volume air baku yang diolah. Karakteristiknya selain kaya kalsium, magnesium, dan natrium klorida, juga ada besi, mangan dan aluminum dalam jumlah sedikit. Di dalamnya terkandung juga padatan yang kaya kalsium karbonat dan magnesium hidroksida dengan berat mencapai 2,5 kali berat kapur tohor yang disuspensikan. Namun sayang, lumpur jenis ini pun belum ekonomis apabila diolah untuk mendapatkan kembali mineral-mineralnya.

Selanjutnya adalah lumpur dari filter, baik slow sand filter maupun rapid sand filter. Unit terakhir dalam IPAM di PDAM ini menghasilkan banyak lumpur dari air pencuci media filternya. Padatan yang banyak terkandung di dalam air cucian filter ini antara lain lempung, besi & aluminum hidroksida, kalsium karbonat, pasir halus, dan karbon aktif. Karakteristiknya agak berbeda dengan lumpur dari unit yang menerapkan pelunakan atau aerasi untuk penyisihan besi dan mangan. Namun demikian, air cucian filter ini relatif encer kadar lumpurnya, dengan nilai rerata 200 mg/l. Angka ini tentu saja bisa berbeda dari satu instalasi ke instalasi lainnya, bergantung pada kualitas air baku dan modus operasi unitnya.

Meskipun jarang atau belum diterapkan di PDAM, lumpur IPAM juga bisa berasal dari unit desalinasi atau pengurangan garam air laut atau air payau. Meskipun demikian, peluang penerapan teknologi desalinasi ini makin besar karena sumber-sumber air baku yang tawar makin sedikit sedangkan kebutuhan domestik dan industri justru makin banyak. Zat kimia yang banyak di dalam lumpur jenis ini adalah garam-garam klorida dan sulfat dari kation kalsium, magnesium dan natrium. Konsentrasi masing-masing dipengaruhi oleh metode desalinasi yang diterapkan (mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis). Beratnya menerapkan teknologi desalinasi ini karena semua unitnya memerlukan pengolahan pendahuluan untuk menghilangkan kekeruhan, besi dan mangan agar dapat memperpanjang masa operasinya.

Metode selanjutnya adalah dengan cara lagoon dengan tujuan untuk mengentalkannya. Bergantung pada cuaca dan sifat lumpurnya, kadar padatan di dalam lagoon ini berkisar antara 1,0 s.d 17,5 persen. Apabila air tanahnya relatif dangkal dan dijadikan sumber air minum oleh masyarakat maka perlu dilapisi dengan lapisan kedap air seperti geomembran. Air dapat dipisahkan dari lagoon dengan dekantasi. Air yang didekantasi itu dapat dikembalikan ke badan air apabila diizinkan oleh pemerintah setempat atau bisa juga diresirkulasi. Minimal dua lagoon dibutuhkan agar dapat terus mengeringkan lumpur secara bergantian. Setelah cukup kering, lumpur dipindahkan dari lagoon dan digunakan sebagai tanah penutup di sanitary landfill. Lagoon ini harus dipagari agar aman dari gangguan dan tidak membahayakan anak-anak.

Yang terakhir, apabila timbulan lumpurnya sangat besar, agar proses pengolahannya menjadi cepat, biasanya digunakan vacuum filter. Teknologi ini cocok untuk mengolah lumpur IPAM yang lahannya sempit tetapi besar volume lumpurnya. Juga dapat mengeringkan lumpur dengan tingkat yang tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Kebutuhan energinya relatif besar dan perlu tenaga kerja yang memiliki kemampuan (skill) yang tinggi. Lumpur olahannya digunakan untuk memupuk tanah dan dapat ditambahkan zat-zat kimia tertentu serta unsur-unsur hara (N, P, K) untuk meningkatkan kegunaannya di bidang pertanian. Akan menjadi lebih berkualitas lagi kalau dicampur dengan pupuk organik atau kompos dari sampah domestik sehingga limbah IPAM di PDAM masih dapat dimanfaatkan di sektor lain. Waste for one is added value for another. *

1 komentar:

  1. Pak Gede,

    saya tertarik dengan pernyataan bhw lumpur alum dari unit IPA dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. apakah Bpk memiliki rujukan pustaka atau contact person mengenai hal tsb? kebetulan di salah satu proyek IPA kami ada keinginan dr owner utk memanfaatkan lumpur alum menjadi pupuk maupun batako. terima kasih atas perhatian dan informasi yg diberikan.

    salam,

    Dudi Budiman
    mangduditea@yahoo.co.uk

    BalasHapus