Oleh
Gede H. Cahyana
Perusahaan air swasta asing betul-betul mencengkeram pengelolaan
air di DKI Jakarta. Baru-baru ini, saham PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja) dijual kepada Manila
Water Co., perusahaan asing dari Filipina. Kasus ini seperti pihak asing bertransaksi
sesama pihak asing, menjual sumber daya alam kita atau bahkan menjual diri
kita, tetapi kita hanya melongo saja, tak bisa berbuat apa. Untunglah DPRD DKI
Jakata bereaksi lalu meminta gubernur agar menolak transaksi itu. Dalam klausul
perjanjian antara Palyja dan PAM Jaya, apabila ada pergantian kepemilikan saham
Palyja maka harus melalui persetujuan Gubernur Jakarta. Demikian tulis Vivanews, (13 Desember
2012).
Pada masa ini, selain time is money, ada satu semboyan lagi yang terkenal, yaitu water is money, air adalah uang. Gema slogan yang kedua itu makin kuat saja di telinga kita. Air dan uang, air dan bisnis. Air, uang dan bisnis mirip segitiga sama sisi yang saling tarik tetapi setimbang. Tak heran sejak duapuluh tahun yang lalu banyak perusahaan asing yang tertarik menjadi pengolah dan penyalur air minum di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Meluasnya cengkeraman perusahaan swasta multinasional atas air di negara berkembang kian menyulitkan masyarakatnya memperoleh air. Aneh memang. Orang lokal justru tak mampu berbuat apa-apa, malah didikte oleh orang luar. Air dikuasai dan diolah oleh korporasi swasta lalu dijual kepada masyarakat dengan harga mahal sehingga yang terjadi justru pemiskinan. Orang-orang menjadi miskin karena tak kuasa mengikuti kenaikan harga air minumnya. Ketika penghasilannya relatif tetap, harga airnya justru terus naik sehingga otomatis menurunkan daya belinya.
Air dan bisnis begitu kuat mencengkeram dan tak kuasa dilepas lagi. Bisnis air minum kemasan contohnya. Betapa banyak pemainnya di pasar domestik kita. Mulai dari yang berukuran gelas, botol kecil, botol besar, sampai botol gallon. Labanya tak tanggung-tanggung, milyaran rupiah sebulan. Namun masalahnya, air adalah zat yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga tidak bisa dibiarkan mengikuti kekuatan pasar kapitalis, tetapi harus ada proteksinya. Semangat pasal sosioekologi, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah kuncinya.
Tetapi pasal tinggal pasal, konstitusi hanyalah untuk dihapal. Ini tak hanya terjadi di negara kita, tapi juga di manca negara. Faktanya, privatisasi air telah luas menguasai perusahaan air di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Inilah kolonialisme pascamodern. Kolonialisme sektor air oleh negara-negara maju atau utara atas negara-negara selatan yang notabene negara-negara miskin. Yang terakhir, alasan terkuat menentang privatisasi karena air adalah pembentuk budaya, berkaitan dengan religiositas.
Kenapa menentang privatisasi? Karena air adalah kehidupan. Tanpa air berarti tanpa kehidupan. Air adalah HAM, Hak Asasi Manusia, hak dasar, hak yang tak bisa diganti oleh hak lain. Hanya saja, realitanya, isu HAM ini justru dijadikan senjata oleh para pihak yang proswasta untuk kampanye privatisasi air. Seolah-olah isu privatisasi menjadi begitu penting dan mendesak sambil menuduh PDAM sudah tak mampu lagi menyediakan air bersih. PDAM yang memiliki ahli-ahli air dianggap tak mampu menyediakan air bersih. Sembari itu, perusahaan swasta asing terus kampanye bahwa privatisasi dilakukan demi PDAM dan pelanggannya.
Faktanya, privatisasi lebih banyak menyengsarakan PDAM dan rakyat. Sejarahnya, PAM Jaya berkali-kali diprotes oleh masyarakat dan DPRD karena kerjasamanya dengan swasta merugikan pelanggan, minimal karena tarifnya naik terus. Di pihak lain, servisnya belum memuaskan. Dua korporasi asing yang mencengkeram PAM Jaya adalah “raksasa air” dunia. Palyja di bawah setir Suez Lyonnaize des Eaux, Prancis dan Aetra (dulu Thames) dikendalikan oleh Thames Water, Inggris. Bisnis keduanya telah mencengkeram di lebih dari 120 negara, di antaranya: Argentina, Columbia, Bolivia, Meksiko, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Maroko, dan Nigeria.
Apa hasilnya? Di Bolivia, terjadi kenaikan tarif air 300% setelah diprivatisasi atau 25% dari pendapatan orang miskin hanya untuk air. Tarif air minum perliter penduduk miskin di Kenya, Afrika justru lima kali lipat daripada tarif yang dibebankan kepada penduduk Amerika Serikat. Riset Universitas Greenwich di London dengan tegas mengatakan bahwa privatisasi air di negara berkembang sarat dengan kasus korupsi. Perusahaan multinasional itu justru mengalami kegagalan finansial. Yang paling menyakitkan, mereka gagal melayani kelompok miskin.
Bagaimana di Indonesia? Menurut kilasan berita di media, rekam jejaknya yang sempat dicatat, kualitas pelayanan pascaprivatisasi PAM Jaya ternyata di bawah kinerja PAM Jaya sebelumnya. Kebocorannya tak jauh berbeda dengan semasa dikelola oleh PAM Jaya. Malah perusahaan asing itu pernah menghentikan pompa di sejumlah instalasi untuk mengurangi kebocorannya sehingga pelanggannya banyak tidak mendapatkan air. Malah raihan pelanggan baru perbulan turun dibandingkan raihan semasa belum penswastaan. Tentu angka sekarang boleh
jadi berbeda, tetapi kasus-kasus seperti itu adalah nota buruk privatisasi.
Dari sisi kualitas air juga tak jauh berbeda. Seharusnya ada perbaikan mutu jauh melebihi kondisi kualitas air sebelumnya. Apalagi kualitas ini sangat bergantung pada kualitas sumber air baku dan teknologi yang diterapkan di instalasinya. Kalau unit operasi dan prosesnya dari itu ke itu saja alias tidak berubah selama diswastakan, maka kualitasnya pasti tak jauh beda. Malah bisa jadi lebih buruk karena kualitas air bakunya semakin buruk. Kalau diretas satu per satu tentu banyak lagi informasi yang bisa disampaikan.
Hanya dua itu sajakah korporasi air global? Tentu tidak. Banyak lagi perusahaan lain. Misalnya korporasi mondial dari Prancis bernama Vivendi Environment dan yang dari Spanyol: Aguas de Barcelona. Selain Thames Water, di Inggris juga ada United Utilities dan Biwater. Yang disebut terakhir ini, yakni Biwater, adalah pengelola air di Batam, satu di antaranya ialah IPAM Mukakuning, kantor pusatnya. Biwater mengelola PT Adhya Tirta Batam, semacam PDAM, lewat anak perusahaannya Cascal BV sampai tahun 2020 dan bisa diperpanjang lagi.
Akibatnya, ketika raksasa air itu masuk ke Indonesia tarif pun naik. Patut diakui, mereka ada mengelola air gratis untuk masyarakat miskin tetapi nilai investasinya tak sepadan dengan labanya dari raupan air milik publik Indonesia. Ini terjadi karena mereka lihai mempublikasikannya lewat berbagai-bagai media perihal “kepeduliannya” terhadap orang miskin dan daerah bencana. Inilah awal dari dampak buruk privatisasi air yang justru didukung oleh Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Ditambah lagi oleh Peraturan Pemerintah No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Akhir kata, perlulah PDAM belajar dari kasus di DKI Jakarta ini dan matang-matang mempertimbangkan upaya privatisasi agar tak kepalang basah. Harga diri insan PDAM dipertaruhkan. Begitu pun sebagai lembaga, PDAM hendaklah mampu mengelola dirinya dengan kekuatan sendiri. Berdikari, ujar Ir. Soekarno. *
Pada masa ini, selain time is money, ada satu semboyan lagi yang terkenal, yaitu water is money, air adalah uang. Gema slogan yang kedua itu makin kuat saja di telinga kita. Air dan uang, air dan bisnis. Air, uang dan bisnis mirip segitiga sama sisi yang saling tarik tetapi setimbang. Tak heran sejak duapuluh tahun yang lalu banyak perusahaan asing yang tertarik menjadi pengolah dan penyalur air minum di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Meluasnya cengkeraman perusahaan swasta multinasional atas air di negara berkembang kian menyulitkan masyarakatnya memperoleh air. Aneh memang. Orang lokal justru tak mampu berbuat apa-apa, malah didikte oleh orang luar. Air dikuasai dan diolah oleh korporasi swasta lalu dijual kepada masyarakat dengan harga mahal sehingga yang terjadi justru pemiskinan. Orang-orang menjadi miskin karena tak kuasa mengikuti kenaikan harga air minumnya. Ketika penghasilannya relatif tetap, harga airnya justru terus naik sehingga otomatis menurunkan daya belinya.
Air dan bisnis begitu kuat mencengkeram dan tak kuasa dilepas lagi. Bisnis air minum kemasan contohnya. Betapa banyak pemainnya di pasar domestik kita. Mulai dari yang berukuran gelas, botol kecil, botol besar, sampai botol gallon. Labanya tak tanggung-tanggung, milyaran rupiah sebulan. Namun masalahnya, air adalah zat yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga tidak bisa dibiarkan mengikuti kekuatan pasar kapitalis, tetapi harus ada proteksinya. Semangat pasal sosioekologi, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah kuncinya.
Tetapi pasal tinggal pasal, konstitusi hanyalah untuk dihapal. Ini tak hanya terjadi di negara kita, tapi juga di manca negara. Faktanya, privatisasi air telah luas menguasai perusahaan air di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Inilah kolonialisme pascamodern. Kolonialisme sektor air oleh negara-negara maju atau utara atas negara-negara selatan yang notabene negara-negara miskin. Yang terakhir, alasan terkuat menentang privatisasi karena air adalah pembentuk budaya, berkaitan dengan religiositas.
Kenapa menentang privatisasi? Karena air adalah kehidupan. Tanpa air berarti tanpa kehidupan. Air adalah HAM, Hak Asasi Manusia, hak dasar, hak yang tak bisa diganti oleh hak lain. Hanya saja, realitanya, isu HAM ini justru dijadikan senjata oleh para pihak yang proswasta untuk kampanye privatisasi air. Seolah-olah isu privatisasi menjadi begitu penting dan mendesak sambil menuduh PDAM sudah tak mampu lagi menyediakan air bersih. PDAM yang memiliki ahli-ahli air dianggap tak mampu menyediakan air bersih. Sembari itu, perusahaan swasta asing terus kampanye bahwa privatisasi dilakukan demi PDAM dan pelanggannya.
Faktanya, privatisasi lebih banyak menyengsarakan PDAM dan rakyat. Sejarahnya, PAM Jaya berkali-kali diprotes oleh masyarakat dan DPRD karena kerjasamanya dengan swasta merugikan pelanggan, minimal karena tarifnya naik terus. Di pihak lain, servisnya belum memuaskan. Dua korporasi asing yang mencengkeram PAM Jaya adalah “raksasa air” dunia. Palyja di bawah setir Suez Lyonnaize des Eaux, Prancis dan Aetra (dulu Thames) dikendalikan oleh Thames Water, Inggris. Bisnis keduanya telah mencengkeram di lebih dari 120 negara, di antaranya: Argentina, Columbia, Bolivia, Meksiko, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Maroko, dan Nigeria.
Apa hasilnya? Di Bolivia, terjadi kenaikan tarif air 300% setelah diprivatisasi atau 25% dari pendapatan orang miskin hanya untuk air. Tarif air minum perliter penduduk miskin di Kenya, Afrika justru lima kali lipat daripada tarif yang dibebankan kepada penduduk Amerika Serikat. Riset Universitas Greenwich di London dengan tegas mengatakan bahwa privatisasi air di negara berkembang sarat dengan kasus korupsi. Perusahaan multinasional itu justru mengalami kegagalan finansial. Yang paling menyakitkan, mereka gagal melayani kelompok miskin.
Bagaimana di Indonesia? Menurut kilasan berita di media, rekam jejaknya yang sempat dicatat, kualitas pelayanan pascaprivatisasi PAM Jaya ternyata di bawah kinerja PAM Jaya sebelumnya. Kebocorannya tak jauh berbeda dengan semasa dikelola oleh PAM Jaya. Malah perusahaan asing itu pernah menghentikan pompa di sejumlah instalasi untuk mengurangi kebocorannya sehingga pelanggannya banyak tidak mendapatkan air. Malah raihan pelanggan baru perbulan turun dibandingkan raihan semasa belum penswastaan.
Dari sisi kualitas air juga tak jauh berbeda. Seharusnya ada perbaikan mutu jauh melebihi kondisi kualitas air sebelumnya. Apalagi kualitas ini sangat bergantung pada kualitas sumber air baku dan teknologi yang diterapkan di instalasinya. Kalau unit operasi dan prosesnya dari itu ke itu saja alias tidak berubah selama diswastakan, maka kualitasnya pasti tak jauh beda. Malah bisa jadi lebih buruk karena kualitas air bakunya semakin buruk. Kalau diretas satu per satu tentu banyak lagi informasi yang bisa disampaikan.
Hanya dua itu sajakah korporasi air global? Tentu tidak. Banyak lagi perusahaan lain. Misalnya korporasi mondial dari Prancis bernama Vivendi Environment dan yang dari Spanyol: Aguas de Barcelona. Selain Thames Water, di Inggris juga ada United Utilities dan Biwater. Yang disebut terakhir ini, yakni Biwater, adalah pengelola air di Batam, satu di antaranya ialah IPAM Mukakuning, kantor pusatnya. Biwater mengelola PT Adhya Tirta Batam, semacam PDAM, lewat anak perusahaannya Cascal BV sampai tahun 2020 dan bisa diperpanjang lagi.
Akibatnya, ketika raksasa air itu masuk ke Indonesia tarif pun naik. Patut diakui, mereka ada mengelola air gratis untuk masyarakat miskin tetapi nilai investasinya tak sepadan dengan labanya dari raupan air milik publik Indonesia. Ini terjadi karena mereka lihai mempublikasikannya lewat berbagai-bagai media perihal “kepeduliannya” terhadap orang miskin dan daerah bencana. Inilah awal dari dampak buruk privatisasi air yang justru didukung oleh Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Ditambah lagi oleh Peraturan Pemerintah No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Akhir kata, perlulah PDAM belajar dari kasus di DKI Jakarta ini dan matang-matang mempertimbangkan upaya privatisasi agar tak kepalang basah. Harga diri insan PDAM dipertaruhkan. Begitu pun sebagai lembaga, PDAM hendaklah mampu mengelola dirinya dengan kekuatan sendiri. Berdikari, ujar Ir. Soekarno. *
Artikel selanjutnya: Sayonara Air Murah
Lama - lama negara ini pun di privatisasi...
BalasHapusWah mas... perlu analisa banyak lagi mas...
BalasHapusTarif air Jakarta terakhir kali naik tahun berapa???
Tarif air itu Politik. Ga tiap tahun naik.
Kalo tarif air jakarta naik terus berarti ga disubsidi pemerintah, swasta jalan sendiri utk survive.
Sutiyoso pinter kan? nyulap PDAM sakit, Asing dikibulin...
Berapa Kuantitas Air Baku menjadi Air Bersih sewaktu masih dipegang oleh Pemda / PDAM (sebelum 1998), dan sekarang di pegang operator swasta berapa? berapa Pelanggan'nya dan berapa jumlah peningkatan penduduk DKI Jakarta ? (1998 - 2012)
Harga air baku yang di beli operator air Jakarta dari PJT 2 (Jati Luhur & PDAM Tangerang) berapa harga'nya, ongkos produksi dan jual berapa?
Apakah ada susbsidi bagi masyarakat kecil oleh pelanggan kaya?
Berapa Peningkatan pencapaian kedua operator berapa dibanding masih di pegang Pemda?
Pertanyaan Besar : Jakarta Punya Sumber Air Baku Sendiri ga? kenapa harus beli dari Jati Luhur??
Adakah sungai yg bersih di Jakarta agar bisa dimanfaatkan menjadi air bersih utk PDAM???
Cheers mas..
Oh iya sebagai tambahan saya.
BalasHapusInvestor asing PDAM Jakarta terutama yg dr Perancis dan Astra. kenapa bisa lama tahan ama Pemda DKI padahal jadi perahan politik?
Apakah tujuan mereka masih berharap dpt keuntungan dari investasi perusahaan sakit macam PDAM Jakarta? atau Sekedar pencapaian Target MDGs group mereka masing2 ??
Kenapa dijual? apa sudah cape?
Saderhana untuk melihat kinerja operator swasta, berapa persen penduduk Jakarts yg terlayani ..sekitar 50%,...dari pelanggan yang terlayani berapa persen yang terpenuhi aspek kuantitas, kualitas dan kontinuetasnya...sekitar 50% juga......jangan bandingkan dng singapur dimana 100 % penduduknya terlayani dengan pemenuhan aspek kuantitas, kualitas dan kontinuetasnya yg 100% juga.....
BalasHapus