• L3
  • Email :
  • Search :

12 Desember 2012

Zone Air Minum Prima, Perlukah?

Zone Air Minum Prima, Perlukah?
Oleh Gede H. Cahyana


Sekarang, makin banyak saja PDAM yang menyediakan layanan air siap diminum langsung dari krannya. Ada yang membuatnya di permukiman elite, ada juga yang dipasang di kantor-kantor (PDAM). Layanan khusus ini diistilahkan oleh kalangan PDAM sebagai Zone Air Minum Prima (ZAMP). Hanya saja, persentase luasan zone ini masih sangat rendah karena hanya disediakan untuk kalangan terbatas. Dengan kata lain, mayoritas pelanggan PDAM belum dilayani oleh sistem khusus ini.

Istilah Zone Air Minum Prima (ZAMP), kalau diselisik, justru dapat memberikan indikasi bahwa air yang di luar zone itu belum prima. Pelanggan dan bukan pelanggan dapat menyimpulkan bahwa air PDAM yang di luar zone tersebut masih buruk kualitasnya. Artinya, ada image bahwa 99% air PDAM “dianggap” buruk kualitasnya justru lantaran ada zonasi dan dapat menjadi bumerang bagi PDAM. Dengan mudah orang akan melontarkan pendapat (minimal berpikir) bahwa air di luar zonasi itu “memang” belum layak diminum sehingga otomatis menurunkan citra PDAM.

Kalau dipandang dari teknologi pengolahan air, bagaimana faktanya? Andaikata unit operasi dan proses di IPAM milik PDAM berfungsi optimal, maka air yang ke luar dari filter (baik rapid maupun slow sand filter) sudah layak diminum, sudah menjadi drinking water. Terlebih lagi kalau di reservoirnya diberi disinfektan, tentu lebih bagus lagi kualitasnya. Secara bakteriologi, air keluaran reservoir sudah bebas bakteri, bebas protozoa. Memang ada satu pertanyaan lagi, yaitu bagaimana dengan kualitas kimianya? Jenis zat kimia yang ada di air olahan sangat bergantung pada jenis sumber airnya. Air sungai, terutama yang tercemar, tentu mengandung lebih banyak jenis zat berbahaya-beracun dibandingkan dengan air sungai yang kurang tercemar, apalagi kalau dibandingkan dengan air tanah seperti mata air. Efisiensi reduksi zat kimia, termasuk zat berbahaya-beracun, sangat bergantung pada unit operasi-proses yang diterapkan, bergantung pada kelengkapan unit tersebut.

Kalau jenis sumber air dan jenis unit pengolahnya sudah memenuhi syarat dan kriteria baku dalam pengolahan air minum, maka yakinlah bahwa air olahan PDAM sudah berkualitas air minum. Apalagi kalau kualitas air olahan ini secara reguler dianalisis di laboratorium dengan zat kimia (reagen) dan instrumen yang baku, tentu kita bisa makin percaya pada kualitas air PDAM. Hanya saja, masalah baru akhirnya muncul ketika air ini mengalir di pipa distribusi. Kebocoran pipa, sambungan longgar, dll dengan segera mengotori lagi air olahan PDAM. Pemasangan sambungan baru, perbaikan pipa pecah pun ikut menurunkan kualitas air olahan ini kalau tidak disediakan fasilitas pembersihan dan katup penutup untuk area terbatas (restricted area). Kehati-hatian dalam pemasangan pipa baru dan perbaikan pipa lama sangat berpengaruh pada kualitas air olahan di dalam pipa. Masalah ini akan “selesai” kalau tidak ada pipa pecah, sambungan pipanya ketat, dan “tidak ada lagi sambungan baru” serta tidak diganggu oleh galian-galian “tetangga” PDAM seperti PLN, Telkom, Indosat, dll.

Jika kekurangan tersebut terus terjadi, maka wajarlah warga meragukan kualitas air PDAM. Jangankan yang di luar ZAMP, yang di dalam zone itu pun masih diragukan oleh pelanggan sehingga mereka pun cenderung memilih air minum kemasan (amik) dan air minum kemasan ulang (amiku) atau mendidihkan airnya. Padahal mendidihkan air hanya efektif untuk pembasmian bakteri dan tidak berpengaruh pada konsentrasi zat kimia berbahaya beracun. Artinya, kalau ada kebocoran pipa maka potensi rekontaminasi zat kimia menjadi sangat tinggi sehingga ZAMP tidak layak lagi disebut air minum prima. Maka, mubazirlah kehadiran ZAMP di mana-mana.

Dalam amatan saya, ZAMP tampak lebih bersifat politis, apalagi kalau lokasinya di gerbang depan kedatangan orang asing ke negara kita seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, dll. ZAMP pun diterapkan di permukiman khusus yang terbatas dan sekadar untuk memenuhi peraturan saja (mengejar target kepemilikan ZAMP, sekecil apapun lingkup layanannya). Inilah sebabnya zonasi tersebut menjadi mubazir karena pelanggan mengeluarkan energi lagi (kayu bakar, minyak tanah, gas elpiji, listrik) untuk mendidihkan airnya. Jika demikian, perlukah program ZAMP dilanjutkan?

Bagi saya, jawabnya ada dua: bisa perlu, bisa juga tidak. ZAMP perlu diadakan di kawasan tertentu seperti hotel, sekolah, kampus, kantor besar, stasiun, bandar udara, pelabuhan laut, dll (syahdan ini dianggap alasan politis). Di tempat-tempat tersebut, orang bisa mudah memperoleh air tanpa harus menahan dahaga kalau tidak berjumpa dengan penjual air minum kemasan. Sebaliknya di kawasan permukiman, apalagi dalam lingkup sebuah kota besar, ZAMP boleh saja ditiadakan lantaran air PDAM (seperti disebut di atas) akan direbus hingga mendidih oleh konsumen. Yang diperlukan, PDAM harus berupaya memperbarui pipa-pipanya dan dipelihara sebaik-baiknya sehingga kebocoran menjadi minimal kalau tidak bisa dihilangkan sama sekali. Dalam setiap perbaikan pipa dan/atau pemasangan baru, harus dibuat area terbatas agar air kotor tidak masuk mencemari air olahan lainnya dan ada fasilitas pembersihan setelah diperbaiki.

So..., kalau ZAMP dianggap mubazir memang tak berlebihan dan bisa diterima dengan hati lapang sebagai kritik positif untuk pembagusan kualitas layanan PDAM. Kritik memang pedas dan memerahkan telinga, tetapi tetap harus diterima karena itulah faktanya. PDAM tak perlu berkecil hati, yang penting terus saja menata diri, terus saja berupaya menyadarkan pelanggan dan calon pelanggan bahwa mereka akan selalu butuh air dan akan perlu eksistensi PDAM. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar