• L3
  • Email :
  • Search :

28 Desember 2012

Pemerintah Tidak Peduli pada Nusa Laut

Pemerintah Tidak Peduli pada Nusa Laut
Oleh Gede H. Cahyana

Menjelang tutup tahun 2012 ini, satu di antara sejumlah raport merah pemerintah Indonesia adalah tidak peduli pada nusa-laut kita. Jangankan peduli, terpikirkan saja belum. Buktinya, ribuan nusa kita tak bernama. Di peta daerah saja tidak kelihatan, terlebih lagi di peta nasional. Jangan-jangan petugas patroli pun tak pernah berani mendekati apalagi mengunjungi nusa-nusa itu karena tak tahu siapa pemiliknya. Takut dianggap melanggar teritorial negara jiran? Yang terjadi, kita malah disalip. Negeri jiranlah yang justru ofensif masuk ke wilayah kita. Tak hanya militer dan kapalnya, tapi juga nelayan dan mafia kayu ilegalnya.



Oleh karena itu, cara terbaik bagi pemerintah adalah tegas atas garis batas negara. Jangan terlalu terkendala lantaran serumpun. Justru kata serumpun inilah yang mereka manfaatkan buat mengajak kita masuk ke Mahkamah Internasional. Kitalah yang proaktif mengupayakan perundingan garis batas. Inisiatif diplomatik mesti intensif dilakukan pemerintah. Kitalah yang paling berkepentingan atas garis batas dan mewujudkannya dalam bentuk ratifikasi perjanjian bilateral. Tanpa perjanjian, negara lain justru merasa di atas angin dan malah senang. Kita yang rugi. Upaya itu pun dibuat tidak hanya dengan Malaysia tapi juga negara lain yang berbatasan dengan kita. Satu syaratnya, diplomat kita harus ulung, menguasai sejarah perkembangan kerajaan di Asia Tenggara dan sejarah kolonialisme Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris serta punya peta yang tepat.

Contoh kasus adalah Ambalat. Andaikata Ambalat dan East Ambalat jatuh ke tangan Malaysia, atau soal ini berlarut-larut seperti Sipadan-Ligitan, yakinlah kita bahwa pemerintah pusat dan daerah sudah tak peduli lagi pada keutuhan nusantara. Atau, takut berhadapan dengan Malaysia. Atau, adakah Inggris dan Amerika di belakang layar mereka? Apalagi kalau Nusa Maratua dan Sambit di wilayah itu juga ikut-ikutan diincar dan diungkit-ungkit, ini alamat "kiamat"; habislah nusa-nusa di garis batas itu. Belum lagi nusa yang berbatasan dengan negara selain Malaysia.

Seperti halnya si kembar Sipadan-Ligitan, kasus Ambalat hanyalah dampak. Dampak dari ketakpedulian pemerintah terhadap laut. Siapa yang tahu Sipadan dan Ligitan sebelum kasus itu ditulis di media massa? Mayoritas kita tak tahu nusa itu. Masih banyak yang bertanya-tanya, di mana Sipadan-Ligitan itu setelah Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan keduanya menjadi milik Malaysia pada 18 Desember 2002. Akankah nusa lainnya disengketakan lagi lalu akhirnya kita dikalahkan dengan hormat karena menganggap kita bangsa pemaaf, suka mengalah, dan tak suka perang?

Sungguh ironis. Kita kaya laut tetapi tidak akrab dengan laut. Adakah yang tahu berapa sebetulnya jumlah pulau dan nusa kita? Ada yang bilang 13.677 buah, ada yang berkata 17.000 buah. Ada juga yang bilang 12.000-an. Mana yang tepat? Pasti tak ada yang yakin akan jawabannya, termasuk saya. Dari SD sampai perguruan tinggi kita cuma tahu angka-angka itu. Semuanya hanya kira-kira. Sekian ribu, sekian belas ribu atau ribuanlah. Selalu begitu jawaban kita.


Tak Peduli Nusa-Laut
Sebetulnya akar klaim Malaysia bertolak dari ketakacuhan kita pada wilayah dan terlalu asyik bergelut di ranah domestik. Mereka telah membuktikannya lewat Sipadan-Ligitan. Mereka juga tahu kita tak punya peta detail wilayah nusantara. Beranilah mereka mencoba lagi mengaku-aku Ambalat sebagai miliknya. Syukur-syukur kalau menang jika dibawa ke Mahkamah Internasional. Di pihak lain, kita jus­tru sebaliknya, merasa tak bersalah dan acuh tak acuh ketika ada pulau karang yang dieksploitasi negara lain. Kita pun sangat tak peduli ketika minyak, batu bara, gas, dan emas disedot negara asing. 

Itu semua berakar di pemerintah kita yang dulu. Pemerintah salah memformat pendidikan. Pelajaran geografi cuma mengupas pulau-pulau besar. Tak ada temuan nusa-nusa baru yang masuk ke buku. Dari tahun ke tahun nyaris dari itu ke itu saja. Tak ada materi baru yang signifikan. Materi tahun 1970-an masih sama dengan materi abad ke-21. Akibatnya, kita tak pernah tahu mana batas wilayah negara kita. Tak tahu mana batas wilayah di darat, mana batas di laut, apalagi di udara. Lihatlah ratusan kilometer perbatasan darat di Kalimantan-Malaysia. Betapa banyak penyusup dari dan ke Malaysia atau dari dan ke Indonesia. Tak terkontrol. Sangat longgar. Pelarian TKI adalah contoh gamblangnya.

Yang betul-betul mendebarkan pernah terjadi, yaitu rental pulau-pulau kecil. Porsi 40% dari luas pulau dieksploitasi dan sisanya untuk kawasan lindung. Kalau ide ini benar dilaksanakan pastilah habis pulau itu dibangun. Takkan pernah ada yang namanya kawasan lindung. Telebih lagi pejabat kita senang disogok dan rendah diri di depan orang asing. Pembabatan hutan di pulau besar saja tak mampu disetop. Pencuri kayu lolos di laut lepas. Yang lenyap mencapai 1,5 juta hektare/tahun. Pasti lebih tak mampu lagi mencegah pembabatan di nusa-nusa itu. Setelah satu demi satu disewa orang (negara) asing, kita pun hanyalah pekerja di nusa itu. Yang menyedihkan, banyak yang justru bangga bekerja pada orang asing. Tapi untunglah isu itu lenyap dan mudah-mudahan tak muncul lagi.

Jika kita tetap tak peduli pada nusa kita, seperti Maratua dan Sambit, juga pulau-pulau kecil tak berpenghuni lainnya dan menganggapnya tak berguna, yakinlah suatu saat kelak kita kebakaran jenggot lagi. Disengketakan lalu akhirnya kalah. Kecuali diklaim negara lain, boleh jadi banyak sudah nusa kita yang lenyap begitu saja tanpa pernah ada yang tahu. Ini berkaitan dengan terumbu karang. Apalagi hanya 7-10% terumbu karang yang tergolong sangat baik dari total luas 60.000 km2. Kerugian akibat kerusakan tersebut 1,2 juta dolar Amerika setahun. Akibatnya, entah berapa buah nusa kita yang tenggelam seperti Pulau Air Kecil, Ubi Besar, Ubi Kecil, dan Vader Smith di Kep. Seribu akibat pengambilan terumbu karang.

Akhirnya, apa yang mesti kita upayakan? Satu di antaranya, dan ini jangka panjang, adalah pembelajaran di sekolah formal dan nonformal. Beri tahulah siswa bahwa laut kita luas, pulau kita belasan ribu dan pasti jumlahnya, pasti letaknya. Beri tahulah nusa-nusa mana saja yang berbatasan dengan negara tetangga, baik dengan Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia dan Timor Timur. Cobalah ekspos nusa-nusa itu. Iklankanlah di media massa. Ingatkan, sekecil apa pun nusa itu, di bawahnya ada kekayaan alam yang menjadi milik mereka sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.

Upaya lain, bukalah perbincangan dengan negara-negara tersebut agar batas negara masing-masing menjadi jelas. Kitalah yang berinisiatif, bukan mereka. Sebab, kitalah yang paling berkepentingan. 

Kepada pembaca blog ini, selamat menyambut tahun baru 2013 dengan berbagai kegiatan positif. Give..., give...., give. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar