Artikel ini pernah dimuat di Koran Pak Oles, di Denpasar Bali, edisi 100, 1 -15 Maret 2006.
Bulan Maret 2006 ini, tepatnya tanggal 22, adalah perayaan Hari Air Dunia ke-14 sekaligus setahun pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang menjadi penguat Undang-undang No. 7/2004. Keduanya bertambah kuat kedudukannya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) sehaluan dengan DPR. Diharapkan sebagai benteng pertahanan terakhir dalam judicial review, MK malah mengukuhkan eksistensi undang-undang tentang Sumber Daya Air (SDA) itu. Putusan tersebut sekaligus memupus harapan kelompok kontra agar UU dan PP yang dianggap tak respek pada kepemilikan publik atas air itu diubah. Meskipun bulat telur lantaran ada hakim yang dissenter, putusan tersebut tetap menjadi alamat kiamat bagi 55 juta orang sangat miskin yang termarjinalkan.
Dampak selanjutnya, gerbang eksploitasi air kian terbuka lebar dan memuluskan korporasi asing dengan dukungan IMF, Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank) untuk membasahi dirinya dengan guyuran air di nusantara ini. Rentenir global itulah yang menjadi garda depan upaya privatisasi segala potensi bangsa dengan berlindung dibalik kata profesional dan/atau profesionalisme. Badan-badan dunia itulah yang menawari pemerintah pusat dan daerah untuk terus berutang sampai terjerat seperti sekarang. Saat ini utang PDAM sudah nyaris duakali lipat, mencapai angka lebih dari Rp 7 triliun, tidak Rp 4,3 triliun lagi seperti ditulis di Bab 2 buku PDAM Bangkrut? Awas Perang Air (2004).
Wajarlah kita bertanya, di manakah spirit pasal sosioekologis, pasal 33 UUD 1945? Pasal tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa air harus menyejahterakan rakyat dan negara wajib mempermudah urusan rakyatnya akan air. Apalagi telah terbukti privatisasi air itu begitu menyengsarakan pelanggan PDAM. Hak kolektif telah dikalahkan oleh hak privat korporasi multinasional atas dasar kekuatan uang dengan beragam alasan muslihat dan "main mata" dengan pejabat. Beberapa contoh kasus berikut ini hanyalah puncak dari gunung es.
Yang pertama adalah PDAM Kabupaten Karawang. Di PDAM ini pernah terjadi kekacauan manajemen lantaran airnya dikelola oleh PT Cikampek Tirta Manunggal (CTM) atau PT Wahana Abdi Tirta Sejahtera (WATS) untuk masa 25 tahun. Tapi yang terjadi, PDAM makin rugi dan konsumen jauh lebih rugi lagi. Itu sebabnya, pelanggan memprotes PDAM tersebut termasuk memprotes keras PT CTM atau WATS. Selanjutnya PDAM Kabupaten Pati. Secara diam-diam, tanpa diketahui oleh publik, PDAM di daerah punuk unta Jawa Tengah ini sudah pula diprivatisasi. Alhasil, pelanggan lagi yang rugi. Kabar "jatuhnya" PDAM Pati Jawa Tengah ke pihak swasta sudah lama terdengar. Namun, ada apa sebenarnya dibalik penyerahan operasional PDAM Pati yang memiliki aset tujuh miliar itu?
Lalu yang paling keras gelombang protesnya terjadi di PDAM Jakarta. PAM Jaya ini berkali-kali diprotes oleh masyarakat dan DPRD karena kerjasamanya dengan Palyja dan Thames Jaya merugikan pelanggan, minimal karena tarifnya naik terus. Di pihak lain, servisnya belum juga memuaskan pelanggannya. Dua korporasi asing itu adalah raksasa air dunia yang bermetamorfosis menjadi monster air gigantisme. Palyja di bawah setir Suez Lyonnaize des Eaux, Prancis dan Thames dikendalikan oleh Thames Water, Inggris. Bisnis keduanya telah mencengkeram erat sumber daya air di lebih dari 120 negara. Begitu tulis Vandhana Shiva, seorang saintis asal India di dalam bukunya, Water Wars.
Korporasi mondial lain yang juga dari Prancis adalah Vivendi Environment dan yang dari Spanyol ialah Aguas de Barcelona. Selain Thames Water, di Inggris juga ada United Utilities dan Biwater. Yang disebut terakhir ini, yakni Biwater, telah pula "menikahi" PT Bangun Cipta Kontraktor, kontraktor dominan yang membangun IPAM (instalasi pengolah air minum) di Batam dan salah satunya adalah IPAM Mukakuning yang menjadi kantor pusatnya, untuk mengelola PT Adhya Tirta Batam lewat anak perusahaannya Cascal BV sampai tahun 2020. Setelah itu bisa diperpanjang lagi. Akibatnya, ketika raksasa itu masuk ke Indonesia, tarif air pun naik dan tidak pernah turun. Memang diakui, mereka ada mengelola air gratis untuk masyarakat miskin marjinal, tetapi nilai investasinya tak sepadan dengan labanya dari raupan air milik publik Indonesia. Mereka lihai mempublikasikan lewat berbagai-bagai media perihal "kepeduliannya" terhadap orang miskin termasuk ke daerah-daerah bencana seperti tsunami di Aceh dan Nias. Adakah ini kamuflase?
Akhir kata, apa yang tertulis di atas adalah pengingkaran (dissenting) atas pasal 33 UUD 1945, ayat 3. Pasal sosioekologis ini sebetulnya harus dikedepankan dalam kalkulasi ekonomi, ekologi dan juga sosiologi. Artinya, tak hanya tanah kita yang dijajah, tapi air pun terjajah. Welcome to paradise, tanah-air mutu-manikam titian zamrud katulistiwa bernama Indonesia nyiur melambai, wahai neo-colonialism, imperialis kuno berjaket modern. Esok pagi, ketika bangun, cubitlah tangan masing-masing, mudah-mudahan ini hanya mimpi. *