Alkisah..., ada kota kecil bernama Tabanan. Kota di dataran rendah Bali Selatan ini menyaksikan ari-ari saya. Di sana saya lahir, di sana pula saya tunaikan SD, SMP, dan SMA setelah tuntas di TK Bhayangkari 1503. Kebun kacang tanah peliharaan saya dan kawan-kawan di SD 10 masih terbayang. Pesta kacang ijo secara berkala menjadi kenangan khas. Saat kesamen apalagi, nasi bungkus plus tempe, blecing kangkung nan nikmat tak terlupakan. Papan tulis di tembok luar kelas (prototipe majalah dinding pada masa itu) disarati soal IPA-IPS, puisi, dan kisah-kisah pendek.
Di SMP N 1 lain lagi. Belajar bareng dan piket jaga sekolah kuat tercatat di benak. Deretan pohon kelapa kuning (Bali: gading) di depan sekolah hasil budidaya kakak kelas pernah menjadi sasaran. Satu dua, bahkan tiga butir kelapa muda “dipetikpestakan” tanpa izin penjaga sekolah. Itu terjadi pada suatu malam, sekitar pukul 22.00 WITA (dulu WIB atau 21.00 WIB). Pagi-pagi Subuh kami jalan-jalan lalu sarapan nasi bungkus Jinggo Rp 500 di Jln. Gajah Mada.
Berikutnya, senandung di SMA tetapi bukan Gita (Cinta) dari SMA. Buaian jalan setapak berpadas di bawah jejeran rumpun bambu di Banjar Kamasan menuju SMAN 1 membekas keras. Diawali jalan turun kurang lebih 200 m, melintasi pancuran bambu lalu naik terjal menyusuri sawah hingga halaman belakang sekolah. Tampaklah reservoir distribusi air PDAM di sudut Utara sekolah, bahkan bisa dilihat dari pura di sebelah lapangan voli Banjar Pande.
Yang sukar terlupakan ialah asrama polisi Tabanan. Meskipun sekarang sudah berubah total namun aromanya masih tercium. Tak kurang dari 13 tahun saya di sana dan sempat menyaksikan pembuatan film I Gusti Ngurah Rai, pahlawan dan pemimpin perang Puputan Margarana ketika melawan NICA Belanda. Puputan Margarana di Kecamatan Marga (Utara Tabanan), Puputan Jagaraga dan Puputan Badung adalah perang sampai tetes darah terakhir.
Usai periode Bali itu saya lantas ke Parijs van Java, belajar di jurusan Teknik Lingkungan ITB, di program S1 dan S2. Di Bandung pula saya meracik keluarga dengan perempuan Jawa dan kini sudah berzuriat tiga. Semoga tiga mutiara ini selamat meniti buih, melintasi titian serambut dibelah tujuh bernama dunia. Jika pandai meniti buih, selamat badan ke seberang, demikian tutur pujangga.
Wahai dunia, engkau fana. Molek hangat tubuhmu, dekap erat pelukanmu ternyata fatamorgana, maya belaka. Berbilang sudah orang yang kau sesatkan sejak Adam-Hawa hingga sekarang. Siapa lagi calon korbanmu?
Tata kala masa (pinjam lagu Sujiwo Tejo), pada suatu ketika....
Gede H. Cahyana