Matahari Mekkah sedang terik-teriknya. Angin gurun deras mengempas pasir. Tengah hari, debu terbang, ditambah batu besar, ikatan tali, dan tindihan kaki-kaki kasar, makin meremukkan tubuh lelaki itu. Kulit hitamnya bertambah kelam, kotor berdebu. Hanya giginya yang tampak putih di tengah erangannya, di sela-sela ucapan Allahu ahad. Ia tak tahu cara berdoa selain kalimat itu.
Apa pasalnya lelaki hitam pekat itu menerima siksa pedih? Ceritanya dimulai kemarin. Membangkang kemarin siang dia! Perintah majikannya untuk melecut Ammar, seorang budak, dengan cambuk besar yang kasar dibantahnya tegas-tegas. Ia buang cambuk itu dan perang melawan majikannya mulai sudah. Ammar tak yakin pada kesaksiannya waktu itu. Dia lebih senang dipecut saja. Dia malah memohon agar Bilal, budak Umayah itu, mau memecutnya demi terhindar dari murka majikannya. Itu sebabnya, Bilal kini ditindih batu ditengah terik mentari. Mentari Mekkah, apalagi siang hari, laksana mata pedang menghujam dalam di pori-pori kulit.
Bilal, lelaki yang merintih-rintih itu mulai tak sadarkan diri. Sebentar lagi ia bisa tewas. Berarti Umayah, majikannya itu, akan rugi sekian ratus dirham. Ini tentu kian membuatnya murka. Bagi Umayah, uang dan harta adalah segalanya, jauh lebih berharga daripada nyawa manusia hitam. Bukan Umayah namanya kalau tak bisa memanfaatkan situasi-kondisi. Dan benarlah, tak lama kemudian, ketika saat-saat kritis itu, datanglah Abu Bakar. Pria bergelar Sidik itu membeli Bilal. Harganya seratus dirham. Lalu Umayah teriak, “Budak ini telah menendang. Dia bergerak.” Melihat gerak kaki Bilal, dengan licik Umayah menggandakan harganya menjadi dua ratus dirham. Tanpa pikir panjang Abu Bakar membayarnya. Umayah tertawa terbahak-bahak. Dia mendapat uang dari budak yang sebentar lagi, menurut pikirannya, akan mati. Dia tidak rugi. Namun sebaliknya, bagi Abu Bakar, harga seribu dirham pun akan dibayarnya juga.
Batu dan tali-temalinya lantas dilepas. Dibantu Zaid, anak angkat Muhammad, Bilal berdiri. Saat itu juga ia dibebaskan oleh Abu Bakar. Bilal merdeka. Bebas dari perbudakan yang mendera sejak zaman nenek moyangnya. Untuk sementara dia dirawat keluarga Abu Bakar. Lima hari dia berbaring lemah di rumah Abu Bakar. Baru pada hari keenam dia bisa bangkit. Abu Bakar langsung memberinya susu kambing dan berkata,” Rasulullah senantiasa berdoa di sampingmu. Setelah engkau cukup baik, ia meninggalkanmu. Besok kita menemuinya.” Sejak itulah Bilal menjadi sahabat Muhammad selama dua puluh dua tahun, sampai nabi wafat. Bilal wafat di Siria pada tahun 644 Masehi atau tahun 22 Hijriah.
Boleh dikatakan, pengalaman Bilal mencerminkan pengalamannya bersama Muhammad. Dia ikut perang dan juga hijrah. Bilal bahkan menjadi muadzin pertama dan namanya abadi di setiap masjid. “Sebagai muadzin atau Bilal hari Jumat ini,” seru pengurus DKM,” adalah saudara Fulan.” Begitulah yang sering kita dengar pada hari Jumat menjelang adzan dikumandangkan. Bilal begitu terkenal. Namun, adakah kaum muslim yang tak tahu Bilal? Kalau pun ada pasti sangat sedikit jumlahnya. Yang tahu Bilal, minimal tahu bahwa kulitnya hitam, mungkin mencapai 99,999 %. Yang tidak tahu barangkali karena baru saja masuk Islam, menjadi muallaf. Bisa juga karena masuk Islam atas dasar pernikahan dan tak sempat mempelajari Islam lebih dalam lagi.
Sebaliknya, adakah yang tak tahu Craig? Untuk yang satu ini, kejadiannya bisa sebaliknya. Mungkin 99,999 % kaum muslim tak tahu siapa dia. Namanya beraroma bule. Tak salah memang. Craig, sejarawan dari dunia Barat, adalah pakar dalam ilmu-ilmu keislaman. Lantaran itulah dia begitu “dekat” dengan Bilal. Dia “kenal” Bilal seolah-olah mengenal telapak tangannya. Dia mampu bercerita apa saja yang Bilal kerjakan ketika hidup bersama nabi. Craig, lewat anak budak Abesinia bernama Rabah, bercerita tentang kehidupan Muhammad. Dengan lancar ia bertutur apa saja yang dilakukan Muhammad sebelum dan sesudah menjadi nabi lewat tokoh Bilal. Waktu itu Mekkah menjadi pusat berhala. Tak kurang dari 360 berhala terserak di Ka’bah. Berhala-berhala wanita, sebuah paradoks sekaligus misteri yang menyelimuti karakter orang Arab saat itu. Bayangkan saja, wanita disembah sekaligus disantap. Tiga berhala yang paling diagungkan: Al Lata, Al Uzza dan Mana, semuanya wanita. Tapi mereka pun membunuhi anak-anak wanita yang dianggap tak berguna dan memalukan trah keluarganya.
Demikianlah Bilal yang kisahnya abadi dalam buku-buku. Salah satu buku yang berkisah tentang muadzin pertama itu adalah karya H.A.L. Craig, terbit tahun 1977, diusung oleh Quartet Books Limited. Judulnya pendek saja, Bilal. Namun edisi Indonesianya berjudul Bilal Berkisah Di Hari Tuanya. Diterjemahkan oleh Kelompok Dialogi Bandung lalu diterbitkan oleh Penerbit Angkasa pada 1988. Diberi Kata Pengantar oleh Prof. Ahmad Sadali (alm), mahaguru di Jurusan Seni Rupa ITB dan waktu itu sebagai ketua YPM Salman ITB. Uniknya, buku ini baru bisa terbit setelah Pak Sadali meninggal setahun sebelumnya. Otomatis beliau tak tahu bagaimana ujudnya. Perlu waktu, kurang lebih, dua tahun untuk mewujudkan buku ini. Cukup lama untuk sebuah karya terjemahan, sebelas tahun setelah naskah aslinya terbit.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar