• L3
  • Email :
  • Search :

28 Maret 2006

Hari Air Sedunia, Mana Peran PDAM?

Gelegar itu berdentang nyaring. Berbagai LSM, khususnya yang fokus di lingkungan, telah menyusun acara. Ada teater terbuka, pagelaran diskusi, seminar, sampai rencana turun ke jalan berdemo di kantor DPRD. Temu wicara lokal atau internal institusi juga giat dibuat. Lalu, adakah suara PDAM? Sebagai perusahaan yang jelas-jelas meniti air setiap hari, selayaknya bergerak lebih awal, lebih semangat. Namun gaungnya tak terdengar. Sepi. Adakah kegiatan Hari Air Sedunia (HAS) di PDAM? Tentu bukan seremonial yang dimaksud; bukan pula seminar di hotel atau gedung mewah yang pesertanya terbatas. Sebab, hanya kalangan yang pekerjaannya ���berbasah-basah��� dengan airlah yang hadir. Tak menyentuh masyarakat kebanyakan di akar rumput (grass root). Yang dimaksud ialah kegiatan demi mencerahkan pelanggan agar makin paham dan peduli air.

Sampai kelar tulisan ini tak terdengar kiprah PDAM menyambut HAS, minimal yang dipublikasikan di media massa. Sekian tahun lalu ada sejumlah PDAM yang mengadakan lomba buat anak-anak, gotong-royong membersihkan sungai. Ini hal positif. Tapi, yang signifikan mampu memahamkan masyarakat akan air, yang lama kurunnya, sebutlah setahun, belum ada. Semuanya terkesan sporadis, tiada ancang-ancang jangka panjang. Yang adem ayem justru banyak. Apakah ini lantaran PDAM tak berdaya bergerak nyata di masyarakat? Tak berani membuka diri agar pelanggan ���melek��� air? Atau, gentar lantaran servisnya belum memuaskan? Dihantui rasa takut kegiatan itu bakal menjadi bumerang bagi PDAM?

Kalau yang vakum dalam menyongsong HAS adalah PDAM kecil, bisalah diterima. Membiayai dirinya saja sudah berat. Apalagi harus keluar uang buat aktivitas tebar ilmu dan teknologi air buat masyarakat. Namun sebetulnya, soal uang atau dana bisa didapat dari pemasang iklan pendukung kegiatan. Bukankah PDAM banyak punya rekanan perusahaan? Dengan proposal bagus, dukungan pun mengalirlah. Apalagi HAS bisa membangun brand image PDAM dan pengiklan di mata masyarakat. Hanya saja, PDAM besar pun ternyata diam saja. Di mana idealisme memasyarakatkan PDAM agar tak dihujat terus?

Tebar Sainstek
Kalau dicermati, HAS adalah momen tepat bagi PDAM untuk meraih kepercayaan publik. Sebab, selama ini begitu banyak keluhan pelanggan atas layanan PDAM. Citranya stabil, yaitu (maaf) nyaris selalu buruk: soal pegawai, instalasi, luas area servis, dan manajemen. Ditambah lagi soal utang yang kuat membelit. Catatan cacatnya seabrek di wajah pelanggan. Tiap hari di koran-koran ada saja protes soal PDAM. Yang berkeluh-kesah tapi tidak berkirim surat ke redaksi koran pasti lebih banyak lagi. Insan perusahaan keairminuman ini pasti mafhum akan protes-protes itu.

Lantas, mengapa HAS tidak dimanfaatkan untuk merangkul kembali yang telanjur antipati pada PDAM? Mereka mungkin saja langganan tapi hatinya kesal. Ini buruk bagi aktivitas jual-beli yang kontinyu tiap hari. Dan HAS adalah momen tepat buat ���membasuh��� dosa PDAM. Kecuali itu, juga memberikan ilmu kepada masyarakat bahwa mengolah air perlu biaya. Lalu kaitkan dengan tarif. Dengan demikian, pada saatnya kelak pelanggan sadar perihal tarif airnya. Boleh jadi pelangganlah yang mengusulkan kenaikan tarifnya karena sadar mengolah air - apalagi yang tercemar berat - butuh biaya mahal.

Yang juga melambungkan nilai promosi HAS adalah program Millenium Development Goals (MDG) sektor air. Bisalah ia dijadikan alat sosialisasi MDG. Masih banyak warga, tak hanya yang berpendidikan rendah, tapi juga yang mengenyam bangku perguruan tinggi, belum paham apa itu MDG. Jangankan paham, mendengarnya saja belum. Kalangan bawah, katakanlah yang belum beruntung mendapatkan pendidikan, masih perlu dipahamkan persepsinya terhadap air bersih. Mereka awam soal air. Mana air bersih, mana air jernih, apa dampaknya bagi kesehatan, banyak yang tidak tahu. Sering keliru. Padahal sasaran dasawarsa air (MDG) ialah peningkatan mutu sanitasi kaum miskin. Ironisnya, kelompok mayoritas inilah yang belum difasilitasi dengan baik. Andaipun ada, kondisinya pas-pasan dan tidak layak. Lihat saja MCK umum di daerah kumuh di kota besar. Cobalah mandi atau buang air di sana. Nyamankah? Itu di kota besar, apatah lagi di daerah terpencil yang karib dengan krisis air. Jelas, jauh lebih buruk.

Kembali ke MDG. Secara umum bisa dikatakan, cuma kalangan PDAM dan sejumlah (tidak semua) pejabat di pemerintahan pusat dan daerah yang tahu MDG. Cobalah sebarkan angket di setiap PDAM, berapa persen yang tahu MDG. Kumpulkan untuk skala provinsi dan nasional. Hasilnya adalah indikator pemahaman dan kepedulian masyarakat soal sanitasi. Maka, sungguh mengherankan bila HAS tidak dijadikan alat pemasyarakatan MDG sekaligus menaikkan derajat kepercayaan pelanggan. Padahal kesempatan periodik yang sekali setahun itu disambut mendunia.

Yang juga penting, momentum HAS kali ini hendaklah diarahkan untuk sosialisasi Undang-undang Sumber Daya Air yang menyisakan bara dalam sekam. Entah kapan akan terjadi, berpotensi meletup. Kedepankanlah ini agar kontroversi yang mengganjal bisa dicairkan. Malah, yang bagus, ada revisi secepatnya. Ditinjau lagi. Kenyataannya, pegiat LSM lingkungan dan sejumlah fraksi DPR tetap tak setuju atas pasal-pasal yang dinilai komersial belaka dan tunduk pada anasir kapitalis domestik dan asing. Dianggap menceng atau malah berlawanan dengan spirit pasal sosioekologi, pasal 33 UUD 1945. Privatisasi dianggap jelmaan hantu kapitalis yang menyublim menjadi projek-projek (utang, pinjaman, loan) lalu dalam jangka panjang merugikan rakyat.

Open House
Adakah sarana promosi ketika HAS dan promosi rutin berkala yang dapat digagas PDAM? Open house! Inilah kegiatan yang jarang dilakukan, kalau tidak mau disebut tak pernah. Tidak banyak PDAM yang melaksanakannya. Membuka diri kepada masyarakat; ���menjamu��� pelanggan dengan sainstek keairan. Misalnya, bagaimana cara mengolah air? Apa alat-alatnya, apa mesinnya, apa zat kimianya, bagaimana urutan pengolahannya, apa problemnya, berapa biayanya, bagaimana kesulitan operasi-rawatnya? Berapa sumber daya insaninya? Banyak lagi hal lain yang selama ini tak diketahui pelanggan dan potensial menimbulkan salah pengertian. Tak kenal maka tak sayang dan akhirnya, tak peduli.

Kalau pelanggan berkunjung ke PDAM dan melihat alur prosesnya, wawasan barulah yang didapat. Menjadi tahu, betapa pengolahan air, selain perlu dana, juga perlu alat-alat mekanikal-elektrikal dan zat kimia (reagen) yang harganya tak bisa dibilang murah. Bisa puluhan milyar rupiah. Ini di luar dugaan mereka. Selama ini banyak yang menyangka murah. Ini positif, bukan? Kenaikan tarif dengan nilai tertentu akan diamini lantaran sadar mengolah air tak seperti yang mereka bayangkan.

Perlihatkanlah kepada pelanggan air sungai yang kotor, lalu masuk ke deretan unit pengolah, ditambah reagen, akhirnya jernih di reservoir. Di hadapan pelanggan, ini bukan sulap, bukan sihir. Nyata di depan mata. Sampaikan juga problem distribusi yang kompleks lewat puluhan kilometer panjang pipa dan variasi topografi. Berilah penjelasan, itu terjadi berkat ilmu, teknologi, pegawai, dan uang. Tarif adalah kompensasinya. Sebab, PDAM, dalam hal ini pemerintah belum mampu menggratiskan air. Minimal pelanggan tahu bahwa rekening yang mereka bayarkan adalah ongkos jasa pengolahan air. Makin buruk kualitas air bakunya, makin mahallah biayanya. Tahulah mereka, air baku mesti dijaga bersama.

Kegiatan tersebut dapat dijadikan agenda tahunan menjelang HAS. Momen itu bisa dijadikan ajang kumpul pendapat dari beragam kalangan, baik pelanggan, LSM, akademisi, praktisi, pemerintah kab/kota, dan insan PDAM. Pada saat yang sama, Dewan Direksi dan Badan Pengawas hendaklah membeberkan fakta dan kondisi riil PDAM. Usahlah takut, ini bukan tabu. Silakan hadirkan juga pejabat lain untuk curah ide, brainstorming. Sah-sah saja, bukan? Dari diskusi, disertai argumentasi, akhirnya diperoleh optimasi solusi.

Open house semata tentu takkan cukup. Perlu kegiatan lain seperti acara berkala bulanan. Sekadar contoh, bagi-bagi ilmu ke setiap kelurahan, digilir satu per satu. Semacam penyuluhan. Kalau Puskesmas saja bisa kenapa PDAM tidak? Ini bisa dicoba. Tingggal dikoordinasikan dengan pemkab/kota. Bentuknya bisa ceramah dan tanya-jawab dan/atau paparan audiovisual yang menarik agar masyarakat tertarik. Atau, ujudnya kursus kilat buat aparat desa/kelurahan, sampai RT/RW dan karang taruna. Jangan ketinggalan mengundang pelajar SLTP dan SMU lewat OSIS-nya. Justru merekalah yang harus digarap serius. Pada masa depan, ketika generasi tua turun gelanggang (pensiun, meninggal), kaum muda itulah yang mengembangkan PDAM. Mudah-mudahan prestasinya melebihi seniornya sekarang.

Saya optimis, kegiatan di atas dan ide-ide lain, dapat mendekatkan pelanggan dengan PDAM, saling peduli, percaya dan mengerti posisi masing-masing, sekaligus peluang bagus bagi perkembangan PDAM dan asetnya, yaitu SDM yang mumpuni. Tak berlebihan jika IATPI dilibatkan, dimintai tolong dalam kapasitasnya sebagai asosiasi yang menyebarkan citra Teknik Lingkungan dan turut mengarakterisasikan masyarakat menjadi ���melek��� air bersih khususnya dan sadar lingkungan pada umumnya. Mudah-mudahan dengan cara proaktif ���menjual��� diri itu PDAM bisa dekat di hati pelanggan. Janganlah pelanggan dibiarkan begitu saja, tak dipedulikan. Sebagai hukum alam, kausalitas, sebab-akibat, rasa peduli mampu menambah kuat kepercayaan pelanggan kepada PDAM. Keuntungan tetap saja akan berbalik ke pihak PDAM.

Sebagai pembanding dan penyemangat, perusahaan sepatu, tas, kosmetik, makanan-minuman, dan jasa apa saja berupaya keras agar pelanggannya banyak dan langgeng. Digelarlah kegiatan sosial: khitanan massal, makan-minum gratis, show musik, talkshow. Tujuannya dua: menggaet pelanggan baru, melanggengkan yang lama. Eksistensi pun kuat, terpelihara dan citranya bernas di mata pelanggan. Mampukah PDAM bercitra demikian?

Pamungkas, semoga PDAM bisa berperan di masa depan, menghasilkan cetak-biru keakraban pelanggan dengan PDAM. Baru setelah itu, pelan tapi pasti, rasa memiliki muncullah di hati.

Bravo PDAM! Pantanglah surut, tak patutlah��� bangkrut! *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar