Distillasi Surya, Solar Distillation
PDAM Blora Makin Kritis. Begitu pun tetangganya, PDAM Pati. Yang terakhir ini kena masalah lantaran privatisasi atau penswastaan. Namun saya yakin, tidak hanya dua PDAM itu yang bermasalah di wilayah "punuk unta" itu. Dari Semarang sampai Rembang, dari Jepara sampai Demak adalah "punuk unta" yang sulit air (kenyataannya, unta justru menyimpan air di punuknya). Sejak dulu pantura begitu. Secara hidrogeologis, daerah kelahiran R. A. Kartini itu memang kering dan sudah suratan takdir. Namun, takdir yang ini bisa diubah dengan kekuatan ilmu dan teknologi.
Begitu juga daerah Yogyakarta selatan, Sumbawa, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Penida di Bali. Di daerah lain pun seperti Indramayu di Jawa Barat, Madura di Jawa Timur ditimpa masalah serupa. Di Sumatera bagian selatan dan di Riau ada daerahnya yang sulit air karena air permukaannya menjadi payau. Di Kalimantan Barat juga sama. Lantas, tidakkah ada cara agar masyarakat di daerah tersebut bisa mendapatkan air bersih. Adakah upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini? Apakah upaya itu hanya sesaat, sporadis dan terkesan dipolitisir untuk kepentingan pejabat saja? Dengan kata lain, memanfaatkan kesulitan rakyat untuk meraih simpati?
Yang pasti, ada daerah di belahan lain bumi ini yang dulu krisis air tapi sekarang tidak lagi. Lihat saja gurun dan bukit di Arab, Yaman, dan Oman. Dulu krisis air tapi sekarang bisa hijau royo-royo. Itu semua berkat kekuatan ilmu dan teknologi, yaitu teknologi desalinasi. Jangankan air tawar yang kotor atau air payau, air laut saja yang jelas-jelas asin bisa "disulap" menjadi tawar. Bermeter-meter kubik air laut setelah desalinasi mengglontori lahan-lahan tandus di sana. Dan patut diingat, air laut adalah air yang takkan pernah habis. Laut tidak seperti air tanah yang bisa susut atau tidak seperti air sungai yang bisa kering. Malah sebaliknya, volume air laut justru makin banyak. Apalagi kalau terus terjadi pencairan es di kutub bumi akibat pemanasan global. Pulau-pulau kecil bisa tenggelam. Tapi, ya itu tadi, air laut mesti didesalinasi dulu agar bisa dimanfaatkan buat kepentingan kita. Kalau mereka yang tandus saja bisa menyelesaikan problem airnya, masa' kita yang tak terlalu tandus harus haus terus?
Karakter Still Surya
Memang, teknologi desalinasi, apalagi yang padat modal tentu tidak tepat diterapkan di masyarakat. Tengoklah depot air minum isi ulang. Harga unitnya ada yang di atas 20 juta rupiah. Ada juga yang murah di bawah sepuluh juta tetapi air olahannya masih diragukan mutunya karena membrannya kurang bagus. Membran yang baik dan berkapasitas besar mahal harganya. Tidak cocok untuk suplai air bagi masyarakat sedesa atau sekecamatan, misalnya. Biaya per liter air produksinya bisa lebih mahal ketimbang biaya untuk kebutuhan makannya. Sedangkan pendapatan per kapita rata-ratanya masih kecil. Secara perorangan banyak yang penghasilannya di bawah upah minimum regional. Belum lagi syarat kualitas fisika air yang masuk ke unit desalinasi itu mesti bagus agar umur membrannya lama. Walau demikian, ada cara yang masih layak dicoba. Distillasi surya, itulah dia. Alat tanpa membran ini didesain untuk memperoleh air bersih yang layak-minum, baik komunal maupun personal domestik.
Unit ini banyak ragamnya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada yang simpel dan mudah pembuatannya tapi ada juga yang rumit. Semuanya dapat diterapkan di negara kita lantaran kaya sinar matahari. Tak ada satu daerah pun di negara kita yang tidak mendapat sinar matahari. Pada musim hujan pun selalu saja ada sinar matahari menerobos awan dan menerangi kita. Apalagi musim kemarau, panas sekali. Di pantai jauh lebih panas. Selain karena berada di daerah tropis yang kaya sinar matahari sepanjang tahun juga karena kita banyak punya sumber air permukaan seperti sungai, selokan, kolam, waduk, danau, dan laut.
Mengenaskan apabila masyarakat pantai ada yang kesulitan air untuk keperluan minum. Sampai-sampai ada pemerintah daerah yang uring-uringan dibuatnya dan terus diprotes supaya air PDAM lancar ke pantai. Orang nonpantai juga sama, banyak yang sulit air. Kenapa pemerintah dan PDAM tidak mencoba distillasi (still) surya? Inilah salah satu opsi solusi masalah air bersih. Jangan khawatir pada kualitasnya. Distillatnya bagus. Agar aman dari ancaman muntaber seperti yang merebak di Tangerang pada Juni 2005, tetap dianjurkan dimasak sebelum diminum. Jika penanganan distilatnya higienis, tak perlulah dimasak dulu. Langsung diminum saja. Sebab, radiasi ultraviolet pada spektrum matahari mampu membasmi bakteri. Proses fotokimia dengan energi foton pada panjang gelombang 254 nm (nanometer) diabsorbsi oleh bakteri sehingga asam-asam nukleatnya (khususnya DNA) dan sistem enzimnya rusak. Semua energi foton yang diabsorbsi (emisi langsung, pantulan atau hamburan) potensial membasmi bakteri.
Dari sekian banyak tipe still surya yang pernah dicoba, ada satu unit yang optimal, yaitu modifikasi still konvensional. Hanya saja, tidak berarti still ini yang paling baik kinerjanya. Ada yang lebih baik, tapi kalah dari segi biaya alias mahal dan lebih rumit operasi-rawatnya. Riset intensif dari Nabil A. Rahim dari Universitas Bahrain, Isa Town, Bahrain patut diketengahkan. Ia memodifikasi still konvensional menjadi dua zone terpisah sehingga meningkatkan efisiensi produknya. Prinsip dasarnya sederhana saja, cuma fenomena fisika: penguapan! Karena hanya uap air yang diembunkan dan ditampung, maka distillatnya tidak hanya jernih tapi juga bebas dari parasit patogen termasuk dalam mengolah lindi/leachate. Bayangkan, air rembesan dari timbunan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) saja bisa diolah, apatah lagi air yang lebih "jernih" seperti selokan, sawah, kolam, sungai, atau laut.
Modifikasi Still Surya.
Modifikasi still surya yang dibuat Nabil adalah dengan membuat tangki dangkal dan teknik penyimpanan panas yang disebut force condensing. Pada still surya konvensional, zone evaporasi dan zone kondensasinya digabung menjadi satu. Radiasi surya memanaskan air lalu menguapkannya. Dengan mekanisme konveksi alamiah, uap mengalir ke permukaan bagian dalam kaca yang temperaturnya lebih rendah daripada bagian luar sehingga uap air mengembun. Kecepatan kondensasi still ini rendah karena pada siang hari perbedaan temperatur antara penutup kaca dengan temperatur uap air relatif kecil. Sistem konvensional menyandarkan pada konveksi alami sehingga tidak semua air yang menguap dapat mencapai permukaan kaca dan butir-butir air yang mengembun di permukaan kaca dapat memantulkan radiasi surya pada arah yang berbeda sehingga mengurangi transparansi kaca penutup.
Setelah diutak-atik, kekurangan tersebut dapat diatasi dengan memisahkan zone penguapan dari zone kondensasinya (lihat gambar). Hasil risetnya dipublikasikan pada jurnal Renewable Energy, Vol. 4, No. 7, pp. 855-862, tahun 1994 dengan judul High Performance Domestic Solar Desalination System. Unit evaporasi (evaporator) terdiri atas tangki galvanis yang ditutup kaca. Kipas (fan) digunakan untuk mengisap uap yang dialirkan melalui pipa tembaga (diameter 25 mm, panjang 2,5 m) yang terendam dalam air. Fungsinya sebagai kondensor (pendingin). Air kondensasi lalu ditampung sedangkan campuran udara-uap yang tertinggal di dalam tabung dikembalikan lagi ke evaporator. Begitu seterusnya. Lama-lama air bersih pun terkumpul dan siap diminum.
Keunggulan model "baru" ini ialah mampu menampung energi sehingga dapat berproduksi pada malam hari ketika tanpa mentari. Syarat penampungnya adalah (1) tidak boleh mereduksi temperatur air di zone evaporasi, (2) kehilangan panas akibat radiasi, konduksi dan konveksi sekecil mungkin (3) sederhana dan murah. Penampung panas dibuat dari pelat aluminum yang bagian atasnya dicat hitam dan bagian bawahnya diisolasi. Pelat ini diletakkan di bawah permukaan air pada unit penguapan dan dibagi menjadi dua zone, yaitu zone penguap di bagian atas pelat dan zone penampung panas di bawah pelat.
Pada siang hari dinding galvanis akan menyerap panas dan secara konduksi meneruskannya ke air di bawah pelat. Karena pada siang hari temperatur air di atas pelat lebih tinggi daripada di bawahnya, maka tidak ada panas yang ditransfer antara dua zone tersebut oleh proses konveksi. Pada malam hari terjadi sebaliknya. Temperatur air di atas pelat lebih rendah daripada temperatur air di zone penampung panas. Arus konveksi secara perlahan menyebabkan pertukaran air antara kedua zone tersebut. Air yang relatif dingin di atas pelat pindah ke bawah sedangkan air yang lebih panas mengalir ke atas pelat. Air yang relatif panas tersebut menguap dan mencapai bagian dalam kaca penutup yang temperaturnya lebih rendah daripada temperatur uap air di dalam bak sehingga mengembun. Ide cemerlang, bukan?
Kemudian, untuk mengevaluasi kinerjanya, kita membutuhkan data temperatur, energi radiasi dan kecepatan produksi distillat. Kecepatan produksi distillat bergantung pada perbedaan temperatur rata-rata (T1) antara uap air di unit evaporasi dan air di sekitar tabung tembaga di unit kondensasi. Pada sore hari, T1 menjadi kecil sedangkan perbedaan temperatur antara uap air di unit eveporasi dan permukaan dalam kaca penutup (T2) menjadi lebih besar sehingga uap air mengembun di kaca tersebut. Volume air produksi per hari bergantung pada jumlah total radiasi yang diterima unit evaporasi pada siang hari.
Begitulah still surya yang sederhana namun memadai produksinya. Simpel dan murah adalah syarat utama bagi masyarakat awam. Suatu teknologi akan berguna dan layak diterapkan jika mudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu parameter kelayakannya tak lain daripada biayanya yang meliputi biaya konstruksi, operasi dan perawatan. Komponen biaya konstruksi terdiri atas (1) konstruksi tangki dan atap (2) penyiapan lahan: harga tanah (atau tanah milik pemda) dan pagar pengaman (3) pipa-pompa air baku dan distillat, bak penampung air baku dan bak distillat. Harga totalnya tentu saja bisa diminimalkan asalkan dipikul bersama: pemda, PDAM, masyarakat.
Tarif airnya bagaimana? Kalau dijual (murah), tarifnya ditentukan oleh (1) biaya pemompaan (listrik atau genset/BBM) (2) harga air baku, jika harus dibeli (3) biaya prapengolahan, jika ada: seperti prasedimentasi (4) biaya perawatan, dan (5) gaji pegawai. Itu semua dipengaruhi oleh kondisi daerah setempat. Artinya, kalau air bakunya dari laut atau air payau apakah harus dibeli? Kalau air bakunya dari sungai yang tercemar, akankah ditarif juga? Tegakah pamerintah bertindak demikian di depan rakyat yang sulit air? Ditaruh di mana pasal sosioekologis, pasal 33 UUD 1945?
Demikian dan semoga bermanfaat bagi PDAM, khususnya yang memiliki daerah krisis air karena jauh lokasinya atau topografinya tak memungkinkan disuplai secara "normal" dari instalasi pengolahan air minum (IPAM).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar