Opsi Solusi Krisis Air Bersih di Indonesia
Oleh Gede H. Cahyana
Melimpah benar air di Bumi. Tak kurang dari 71% luas permukaannya diselimuti laut atau 97,3% volumenya berupa air laut. Selebihnya air tawar. Tapi hanya 0,62% yang layak untuk pertanian-perikanan, tersebar di sungai, danau, waduk dan air tanah. Sisanya berwujud es, gletser dan uap air (Harrison, 1995). Bagaimana potensinya di Indonesia? Besar sekali! Kira-kira 70% luas wilayah Indonesia dibalut laut. Namun potensi air tawarnya tidak melegakan. Di samping kecil volumenya, distribusinya pun tidak merata. Ada daerah yang surplus setahun penuh tapi tidak sedikit yang krisis selamanya.
Oleh Gede H. Cahyana
Melimpah benar air di Bumi. Tak kurang dari 71% luas permukaannya diselimuti laut atau 97,3% volumenya berupa air laut. Selebihnya air tawar. Tapi hanya 0,62% yang layak untuk pertanian-perikanan, tersebar di sungai, danau, waduk dan air tanah. Sisanya berwujud es, gletser dan uap air (Harrison, 1995). Bagaimana potensinya di Indonesia? Besar sekali! Kira-kira 70% luas wilayah Indonesia dibalut laut. Namun potensi air tawarnya tidak melegakan. Di samping kecil volumenya, distribusinya pun tidak merata. Ada daerah yang surplus setahun penuh tapi tidak sedikit yang krisis selamanya.
Ketidakmerataan sebarannya itu bisa dibagi menjadi tiga wilayah. Landasannya ialah indeks ketersediaan air, yaitu potensi air per orang per tahun yang mengacu pada potensi rerata dunia tahun 1976 sebesar 10.000 m3/kapita/tahun (mkt). Kesatu, potensi rendah, kurang dari 10.000 mkt meliputi Pulau Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi dan Kep. Nusa Tenggara. Kedua, potensi sedang, 10.000-100.000 mkt, di Kalimantan dan Kep. Maluku. Ketiga, potensi tinggi, di atas 100.000 mkt di Provinsi Irian Jaya.
Menurut Ditjen Pengairan PU (1994), potensi air permukaan Indonesia lebih kurang 1.789 milyar m3/tahun, dengan sebaran: Irian Jaya 1.401 milyar m3/tahun, Kalimantan 557 milyar m3/tahun dan Jawa 118 m3/tahun. Potensi total air tanahnya 4,7 milyar m3/tahun, tersebar di 224 cekungan air. Sebarannya: 1,172 milyar m3/tahun di Jawa-Madura (60 cekungan), 1 milyar m3/tahun di Sumatera (53 cekungan), 358 juta m3/tahun di Sulawesi (38 cekungan), Irian Jaya 217 juta m3/tahun (17 cekungan), Kalimantan 830 juta m3/tahun (14 cekungan) dan sisanya 1,123 juta m3/tahun tersebar di beberapa pulau (Link, 2000).
Namun masalahnya, tidak semua potensi itu laik guna. Hanya 25% - 35% yang bisa dimanfaatkan, berupa aliran mantap (base flow) yang tersedia sepanjang tahun. Sisanya 65% - 75%, tak bisa diberdayakan karena tidak mantap, langsung ke laut dalam tempo singkat, menjadi air asin. Akibatnya, masyarakat kerap kesulitan air bersih. Begitu pula PDAM. Di Bandung misalnya, krisis air telah di gerbang stadium tiga. Dari 20 sumur artesis PDAM pada dekade 80-an, tinggal delapan unit yang berair. Itu pun sudah susut debitnya.
Itulah kondisi PDAM. Bahkan 91 PDAM masuk kategori perusahaan miskin (Air Minum, 1999). Utangnya terlampau besar. PDAM Padang berutang 56,8 milyar, ongkos produksinya Rp 550/m3 sedangkan tarifnya Rp 350/m3 (Kompas, 11/5/1999). PDAM Bekasi pun kesulitan menyicil utangnya ke Bank Dunia sebesar 58 milyar, sementara asetnya cuma 56 milyar (Republika, 19/6/1999). Utang PDAM Kota Bandung, seperti ditulis Galamedia (Rabu, 8/3/2000) sekitar Rp 300 milyar. Dinyatakan pula, PDAM ini rugi Rp 22 milyar/tahun.
Terkait dengan kondisi PDAM tersebut, adakah celah untuk mereformasinya? Pada saat yang sama, adakah kran privatisasinya? Mencermati begitu banyak masalah di tubuh PDAM, semestinyalah ada reformasi rekayasa dan kekaryaan. Dua hal itu adalah penentu mutu layanannya. Adapun privatisasi dengan syarat-syarat ketat, menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga berpeluang hadir dan menjadi opsi sumber air bersih warga. Hanya saja, sejauh ini nyaris tak ada yang berhasil dalam privatisasi PDAM. PAM Jaya? PAM Batam? Masih perlu dievaluasi lagi, apakah gagal ataukah sukses. Namun, sebagai opsi di antara banyak opsi lainnya, saya tetap setuju.
Reformasi rekayasa
Telah disebutkan, ada dua aspek internal yang perlu direformasi di PDAM yaitu rekayasa dan kekaryaan. Urgensi pertama ialah rekayasa instalasi. Selain pengolahan konvensional (kuno, klasik) atau conventional treatment yang berupa pengolahan lengkap dan tak lengkap (complete and incomplete treatment, AWWA, 1990) juga dapat dilengkapi dengan teknologi membran (Heitmann, 1990). Ini perlu karena jumlah air kian susut dan mutunya memburuk. Air bakunya kaya zat berbahaya-beracun. Terlebih lagi teknologi PDAM tidak mampu menangani zat tersebut.
Hingga kini, fokus PDAM hanya kualitas fisika dan bakteriologi. Sebagian kecil di sektor kimiawi. Itu pun sebatas penurunan kadar besi, mangan dan kesadahan. Banyak instalasinya yang tak berdaya mengolah senyawa kimia seperti pestisida dan logam-logam berat. Padahal justru zat inilah yang banyak saat ini. Sekadar gambaran, berikut ini dicuplikkan masalah yang terkait dengan rekayasa tersebut.
Air PAM (masih) kotor dan berbau! Begitu berita di Republika, 26/2/2000 menanggapi hasil jajak pendapat (polling) tentang kualitas air dan keluhan pelanggan PAM Jaya di lima wilayah DKI Jakarta, menyusul kegiatan serupa tahun 1997. Dari 474 responden, ternyata keluhan terbanyak (62,4%) adalah air ledeng sangat kotor dan keruh. Angka ini naik 12,4% dari angka tahun 1997, yakni 50% dengan 228 responden. Disusul keluhan air berbau kaporit (41,1%), debitnya kecil (34,2%), tak mengalir (30,4%) dan asin (3,4%). Selain itu, 0,2% responden yang mengatakan airnya beracun. Hanya 14,8% responden tidak menemukan keluhan yang berarti. Jadi, kualitas air PAM Jaya makin buruk!
Juga ada titik lemah yang menyebabkan interpretasinya keliru (misleading) pada monitoring air baku, yakni acuannya hanya parameter konvensional, tidak mempertimbangkan parameter lainnya seperti logam berat dan pestisida. Termasuk sering diperoleh nilai lump parameter BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau COD (Chemical Oxygen Demand) yang sangat kecil, namun sebenarnya ada zat yang tidak terdeteksi dengan parameter tersebut tapi berbahaya, yaitu zat xenobiotik. Kelemahan kedua ialah tidak pernah di-sampling sedimen sungai yang boleh jadi konsentrasi polutannya ratusan kali lebih besar daripada di air sungai. Polutan yang terlekat atau teradsorpsi di pasir dan lempung tersebut, pada saat hujan dan banjir akan lepas (flushing) lagi sehingga konsentrasinya membesar.
Ada lagi kasus yang menghebohkan. Republika dan Pikiran Rakyat (26/2/2000) menulis tentang polusi merkuri di Sungai Cisadane dan Cikanaki akibat penambangan emas di Gunung Pongkor, Kab. Bogor. Keduanya adalah sumber air baku PDAM Bogor dan Tangerang. Kasus Minamata bisa muncul di Tangerang, Bogor dan Jakarta yang kebetulan air bakunya limpahan dari sungai tersebut. Minamata adalah teluk di Pulau Kyushu, Jepang. Pada dekade 1950-an terjadi wabah akibat keracunan metilmerkuri yang terkandung di dalam ikan dan kerang, makanan sehari-hari warga di sana. Waktu itu konsentrasi merkuri di Minamata hanya 25 ppm sedangkan di dua sungai tersebut antara 3,58 - 28,3 ppm.
Belum lagi soal polusi lindi (leachate) dari sanitary landfill yang juga kaya logam berat, bakteri dan zat organik berbahaya. Sudah jadi rahasia umum, tidak satu pun lokasi timbunan sampah yang betul-betul saniter. Malah acapkali terjadi, yang didesain lahan saniter tetapi yang terwujud timbunan terbuka (open dumping). Contohnya TPA Leuwigajah yang longsor pada Februari 2005. Kesalahan ini fatal sehingga mencemari air tanah dan sumur penduduk atau sumur bor PDAM. Makanya, Air PDAM Surabaya Mengandung Racun, tulis Republika, 14/8/2001. Kata Pikiran Rakyat, 21/3/2001, 40 % Air PDAM Indonesia Tercemar Bakteri E. coli, sudah bukan kabar angin lagi.
Jadi, reformasi rekayasa tak bisa ditawar-tawar lagi. Aplikasi teknologi membran adalah satu di antara beberapa solusinya walaupun mahal namun menguntungkan dalam jangka panjang. Beberapa yang bisa diterapkan adalah reverse osmosis, ultrafiltrasi, dan nanofiltrasi. Kalau tidak demikian, pasti ada kerugian pada masa datang. Ketika itu, insidensi sakit ginjal, hati, jantung dan jaringan otak akan meningkat pesat.
Reformasi kekaryaan
Di tingkat internal pun muncul konflik yang menyangkut profesionalisme. Sampai kini PDAM dikelola oleh pemda setempat berupa BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Kepala daerah punya hak prerogatif dalam menyusun direksi dan jajarannya. Sudah rahasia umum bahwa direksi haruslah sosok pemda karier. Padahal ada tiga jenis karyawan PDAM, yaitu karyawan perusahaan, karyawan yang dikaryakan dari pemda dan karyawan kontrak alias lepas harian. Di titik simpul inilah sering terjadi friksi berkaitan dengan posisi kunci, sebagai decision maker dan menimbulkan ketegangan di tingkat elitenya.
Oleh karena itu, formula direksi dan jajarannya perlu direformasi agar warga yakin bahwa PDAM memang institusi profesional berorientasi kerakyatan. Artinya, ada figur familiar dalam bidang teknologi perairbersihan sebagai pengendalinya. Termasuk unjuk etika profesional dalam bersaing bebas (free fight ethics) dan tanpa main uang (money politics). Selain bervisi marketing, juga wajib memahami rekayasa sistem pengolahan dan integritasnya telah teruji, bebas moral hazard.
Selain reformasi internal, ada cara lain untuk meningkatkan profesionalitas sektor air bersih ini, yaitu penswastaan (privatisasi). Jadi, tidak sekadar kemitraan atau kerja sama seperti yang diterapkan oleh PAM Jaya dengan mitra asingnya atau seperti yang terjadi di Pulau Batam.
Privatisasi PDAM
Bagi sebagian konsumen, tak bisa dimungkiri, PDAM berjasa membawa air sungai yang kotor menjadi air jernih yang bebas bakteri patogen, ke rumahnya. Terlebih bagi mereka yang tinggal di daerah kering, tidak ada sumber air alternatif kecuali PDAM. Hanya sayangnya, cakupan layanannya masih rendah. Di kota-kota besar saja masih banyak yang belum dirambah PDAM apalagi di kota-kota kecil dan pedesaan.
Yang kontradiktif, PDAM dibutuhkan tapi tumbuh kembangnya tidak didukung. Entah lari ke mana sebagian dana pinjaman dari bank asing itu atau dari sumber-sumber lainnya. Wajarlah utangnya milyaran rupiah. Tapi yang jelas, mutu sistemnya patut dipertanyakan. Bukan itu saja. Sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah, PDAM pun dijadikan mesin uang, mengikuti prinsip ekonomi yaitu untung sebesar-besarnya. Padahal hingga kini tetap digembar-gemborkan sebagai institusi sosial dengan harga air yang murah.
Di sinilah masalahnya. Karena tarifnya yang rendah itu, hingga kini PDAM tidak bisa berkembang, tidak punya dana untuk memodifikasi atau menginovasi instalasinya. Investasi inilah kendala utama pengembangan PDAM. Oleh sebab itu, penswastaan akan membantu ketakmampuan PDAM dan mempercepat raihan paradigma sehat (Jawa Barat Sehat) termasuk mendukung Millenium Development Goals, 2015 (Dasawarsa Air Bersih Dunia Tahap II). Prinsip dasarnya adalah di dunia bisnis produk akan makin berkualitas jika ada pesaing. Sementara ini, PDAM sajalah yang mengelola air bersih komunal di Indonesia.
Penswastaan ialah upaya antisipasi mutu air demi kesehatan masyarakat sekaligus memutus tali monopoli agar terjadi persaingan sehat, saling untung antara produsen dan konsumen. Tapi ada syaratnya, privatisasi harus berjalan pada rel pasal sosioekologis, yaitu pasal 33 UUD 1945. Selama ini, jika konsumen terlambat membayar tagihan rekening maka sanksinya adalah denda. Jika sampai tiga bulan belum juga diselesaikan, meteran pun dicabut. Selanjutnya, pemasangan kembali dianggap sebagai pelanggan baru, dikenakan biaya seperti pelanggan baru. Ini realitasnya. Posisi tawar konsumen di bawah produsen dan memarjinalkan hak-haknya. Apalagi kasus ini sering diselesaikan di bawah tangan oleh oknum PDAM sehingga membuka pintu kolusi.
Kecuali itu, ada juga kasus-kasus tunggakan rekening. Pelanggan diklaim belum membayar tagihan. Mereka diminta menunjukkan bukti pembayaran. Kalau tidak bisa menunjukkannya, maka harus dilunasi. Tetapi kalau bisa, PDAM hanya berkomentar, Kalau begitu, ya sudah, tak apa-apa. Mestinya, dengan main coba-coba dan ceroboh administrasi seperti itu PDAM harus diganjar dengan cara membayar ganti rugi atas klaimnya itu. Misalnya, menggratiskan pelanggan untuk menikmati air PDAM beberapa bulan.
Tinggal sekarang, adakah investor yang mau mewujudkan PAM swasta ini. Pemodal kuatlah yang akan mau membasahi diri sekaligus punya komitmen pada aspek sanitasi dasar. Karena biaya yang ditanam demikian besar dan tidak main-main maka konsorsium atau kolaborasi sejumlah usahawan akan lebih menjanjikan untuk maksud tersebut. Sedangkan dari sisi keuntungan, tetap potensial dan ada di pelupuk mata. Indikatornya, minat warga menjadi pelanggan sangat besar khususnya di daerah pemukiman menengah ke atas. Jadilah sektor ini sebagai segmen pasar yang menantang.
Optimismenya, konsumen yang sulit air akan mau membayar berapapun. Mereka tidak takut terhadap harga airnya yang akan lebih mahal. Sebab, yang diutamakan adalah aman, tidak mengandung zat B3, tidak membahayakan kesehatan dan tersedia sehari penuh. Sebaliknya, perusahaan pun akan makin serius menangani instalasinya, tidak membiarkan mutu airnya buruk terus karena terancam gugat perwalian (class action) yang senjata pamungkasnya adalah UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, konsumen tak selalu kalah atau dikalahkan, terangkat hak-haknya dan bahkan boleh jadi akan menang di pengadilan.
Air baku berlimpah. Namun yang layak dijadikan sumber air baku PDAM justru makin sedikit lantaran tercemari zat berbahaya-beracun. Pencemar ini rata-rata tak mampu diolah oleh PDAM. Satu-satunya cara adalah mengubah unit proses-operasinya agar tidak konvensional. Juga perlu direformasi struktur manajemen PDAM. Pada saat yang sama, peluang PAM swasta (privatisasi) bisa dibuka supaya masyarakat memiliki opsi dalam memilih perusahaan yang terbaik baginya. Hal ini, selain menyolusi krisis air juga meningkatkan PAD. Tapi patut diingat, privatisasi itu wajib mengacu pada pasal 33 UUD 1945. Pasal sosioekologis ini harus diutamakan, harus diindahkan, di atas keuntungan investor karena air milik publik.*