• L3
  • Email :
  • Search :

31 Maret 2006

J u r n a l, Di Mana Kamu?

Menurut sejarahnya, pionir dari kata yang akrab di kalangan dosen ini adalah Roman Acta Diurna, semacam kabar dari kerajaan yang ditempelkan di tempat umum seperti teater, pasar dan gimnasium. Diurna yang artinya hari lantas bermetamorfosis menjadi jurnal dan menyebar ke seantero dunia.


Namun demikian, ada realitas lain. Akrab-kata rupanya bukan jaminan semua dosen pernah menulis di jurnal. Seperti juga tidak semuanya menulis diktat atau buku ajar yang tipis sekalipun lantaran karakter baca-tulisnya belum tumbuh. Mayoritas hasratnya condong pada omong, rumpi dan tonton. Padahal jurnal, diktat, buku dan artikel di media cetak itu semacam bahan bakar yang tanpanya mesin takkan hidup. Eksistensi orang, khususnya adalah dosen akan “hidup” jika ia menuangkan ide, merangkai rajut percikan ilmunya menjadi tulisan. Apa pun ujudnya, artikel primer hasil riset ataukah artikel telaah (review) yang menganalisis temuan artikel primer. Karenanya, ia takkan dihempas oleh dentuman saintek (sciencetech big bang, meminjam istilah dalam kosmologi).

Jurnal memang tak tertera eksplisit di dalam Tridharma yang terdiri atas pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Ia hanyalah salah satu konstituen dharma kedua, yaitu penelitian. Hanya saja, tak banyak hasil penelitian yang bermuara di jurnal dan sedikit sekali yang aplikatif sehingga tak bisa dipatenkan, apalagi dikomersialkan. Oleh sebab itu, dulu ada usulan Prof. Teuku Jacob perihal dharma keempat. Mantan rektor Universitas Gadjah Mada ini menyebutnya Caturdharma yaitu pengajaran, penelitian, penerapan (aplikasi) dan pelestarian (penulisan). Dharma ketiga dihapus karena, menurutnya, semua dharma adalah pengabdian pada masyarakat. Yang perlu dicermati adalah dharma keempat, pelestarian. Dharma ini akan mewajibkan dosen (guru) menulis buku, jurnal atau apapun jenisnya yang bisa diakses publik. Minimal menulis artikel yang berguna bagi masyarakat.

Adapun harapan dharma ketiga ialah ada temuan implementatif bagi dunia industri agar riset tak sebatas pada kum dan honor saja. Kalau sebatas itu, hasilnya pun takkan lebih daripada sekadar tumpukan laporan bisu di rak berdebu di pojok ruang. Ada tapi tiada. Ironisnya, mayoritas riset dosen, syahdan di PTN-PTS ternama ya untuk sekadar kum dan uang itu. Ujung-ujungnya adalah kenaikan jabatan fungsional atau bahkan untuk meraih sebutan profesor.

Selanjutnya, bukan budaya tulis-menulis saja yang diprihatinkan tapi juga kemauan membaca (jurnal). Banyak yang sepakat, aktivitas membaca jauh lebih mudah daripada menulis artikel misalnya. Kalau yang mudah saja jarang digiatkan apatah lagi yang lebih sulit. Degradasi mutu mahasiswa menjadi keniscayaan karena subjek saintek usang pun masih dikuliahkan di S1 maupun di S2. Bukan sebagai tinjauan historis yang memang perlu, tetapi sebagai substansi. Padahal temuan teranyar telah ada di jurnal atau ditulispopulerkan di koran, majalah, dan internet. Jadi, wajarlah ranking perguruan tinggi yang top di Indonesia apalagi yang gurem, melata di bawah negara-negara jiran.

Juga patut disayangkan, tidak semua perguruan tinggi, fakultas, jurusan, himpunan profesi, lembaga atau pusat tudi telah menerbitkan jurnal. Syahdan, yang “gado-gado” atau bunga rampai sekalipun. Apalagi yang terakreditasi, jumlahnya tidak mencapai 200 unit dari semua disiplin ilmu. Lalu, hadirlah kompetisi sengit dan banyak yang frustrasi karena tak satu jurnal pun mau memuat artikelnya, setelah direvisi berkali-kali. Itu karena dosen wajib menulis artikel di jurnal terakreditasi sebagai penulis utama, minimal 25% dari kum minimum dharma penelitiannya, jika ingin naik pangkat. Selain itu, egoisme pun berperan karena kalangan tertentu saja atau dosen “dalam” atau peneliti “domestik” saja yang artikelnya dimuat.

Mutu jurnal yang menyangkut kualifikasi editornya juga masalah krusial. Tim pakar ini kerapkali hanyalah pajangan atau tidak sesuai dengan partisi ilmu yang dibutuhkan. Itu terjadi karena memaksakan diri memenuhi kualifikasi doktor atau profesor sehingga tak jarang pakar pertanian menilai artikel dari dosen arsitektur! Bahkan ada yang gap ilmunya jauh sekali. Kelangkaan pakarlah salah satu alasannya yang sebenarnya bisa dipecahkan. Berilah kemudahan pada dewan redaksi yang tidak mesti doktor apalagi guru besar sehubungan dengan akreditasi karena tidak semua disiplin ilmu dan perguruan tinggi memiliki dosen dengan kualifikasi tersebut. Mereka, khususnya yang berbobot dan concern memang sangat langka.

Selain kendali mutu, keajegan, pelanggan dan harga jual juga masalah. Ada jurnal bernasib seperti koran dan tabloid pada awal reformasi dulu yang sekali jadi lalu mati. Kehabisan naskah dan kurang peminat karena mahal adalah penyebabnya. Perihal naskah, bisa dicari dari skripsi, tesis, disertasi atau riset dosen. Untuk itu perlu peraturan agar morfologinya siap terbit sesuai kelaziman jurnal. Juga tidak peduli apakah berupa riset laboratorium dan lapangan ataukah desain. Sementara ini seolah-olah yang desain tidak layak terbit.

Selanjutnya adalah idealisme penerbit (pencetak). Padanyalah letak “keabadian” khazanah intelektual bangsa. Bangunlah wahai penerbit, berilah rabat, insentif yang apresiatif pada penerbitan jurnal. Juga, cetaklah semua order dengan sesedikit mungkin kalkulasi untung semata dan tidak hanya berburu paket-paket pemerintah. Idealisme pedagang pun demikian. Yang besar yang kecil, dari toko, kaki lima hingga asongan. Salahkah jika jurnal diasongkan di simpang jalan? Yang pasti, ada pengayaan wawasan pengasong dengan saintek yang sedang tumbuh selain kabar populer di majalah, tabloid dan koran jajaannya. Mereka ikut memasyarakatkan jurnal, menjadikannya tidak ekslusif lagi. Membuatnya kosmopolitan, dijual di mal hingga kios emperan gerimis tutup. Tiras pun bertambah yang otomatis menurunkan biaya cetaknya.

Untuk konsumen, para dosen dan warga umum terdidik apik, para kelas menengah, mesti dipacu cinta baca-tulisnya. Caranya? Selain Bulan Buku, adakan juga Bulan Jurnal untuk memilih, misalnya, jurnal terbaik skala nasional atau lomba menulis di jurnal. The last but not least adalah dana. Maukah pemerintah menyisihkan 25% APBN-nya yang bersumber dari pajak rakyat untuk pendidikan dan subsidi jurnalisasi masyarakat? Kalau semua itu tercapai, bujur sangkar literasi yaitu interaksi penerbit (pencetak), pelanggan, penulis dan pedagang akan segera terujud.

Semoga realisasi masyarakat sainstek yang didamba, terjadi pada abad ke-21 ini. Izinkan waktu untuk menjawabnya. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar