• L3
  • Email :
  • Search :

31 Maret 2006

Inilah Sebab Dosen Sulit Menulis

“Diktator” banyak ada di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Kata yang sering berkonotasi negatif ini merujuk pada dosen yang menulis diktat (“yang melulu mengacu pada satu textbook”). Yang bagus adalah dosen merujuk ke sejumlah textbook lalu meramunya menjadi satu “buku baru” berujud diktat. Ini jauh lebih bagus ketimbang bersumberkan satu textbook dan hanya mencomot atau dalam tata-tulis memakai komputer disebut “copy-paste” saja. Apalagi kalau textbook yang diacunya sudah tua sekali, misalnya terbitan tahun 1980-an atau lebih lama lagi. Yang lebih dari lima tahun saja, terutama dalam ilmu-ilmu yang pesat perkembangannya, bisa jauh ketinggalan. Lain halnya dalam bidang ilmu yang lamban pertumbuhannya, terbitan lawas boleh jadi masih relevan. Jadi, tak bisa dipukul rata dalam menilai suatu partisi keilmuan.

Dalam ilmu teknik misalnya, entah karena banyak berisi gambar-gambar rekayasa, entah karena tak bisa atau malas menggambar lagi, entah karena gambarnya rumit, kebanyakan diktat nyaris merupakan ambil sana ambil sini dari textbook. Kalimat yang dibuat pun nyaris terjemahan murni tanpa polesan dari sang dosen atau jangan-jangan dari penterjemah komersial yang dibayarnya. Setiap paragraf disalin (diterjemahkan) begitu saja tanpa memasukkan pandangan atau pendapat sang dosen atas apa yang diambilnya itu. Yang elok adalah sang dosen punya pandangan sendiri atas apa yang diambilnya dari textbook, sesedikit apapun pendapatnya itu. Ini semacam sumbangan (kontribusi) pemikiran dalam khazanah saintek.

Namun, bagaimanapun, dosen yang mau menulis diktat jauh lebih baik ketimbang dosen yang tidak menulis diktat. Bayangkan kalau seumur-umur sampai pensiun dosen tidak menulis diktat, bagaimana kira-kira mutu alumni perguruan tinggi terutama kalau budaya baca dari sang mahasiswa tidak tumbuh. Otomatis ilmu yang dimiliki sang mahasiswa atau alumninya akan sangat rendah, sebatas apa yang diucapkan dosen ketika kuliah. Belum lagi kalau mereka lupa semua apa yang pernah diterima di bangku kuliah setelah sekian tahun. Yang tersisa hanya selembar kertas bernama ijazah dan transkrip akademik serta gelar sarjananya.

Kalau menulis diktat saja sudah demikian bermasalah, bagaimana dengan menulis textbook yang khusus untuk kalangan mahasiswa (dan juga dosen)? Bagaimana dengan menulis buku yang bukan textbook, katakanlah buku ilmiah populer yang ditujukan bagi pembaca umum? Bagaimana dengan menulis artikel ilmiah yang dimuat di jurnal untuk masyarakat khas dalam saintek yang bersangkutan? Yang dimuat di media massa cetak dan internet bagi masyarakat umum bagaimana? Bagaimana pula dengan makalah seminar dalam berbagai temu-ilmiah, semi-ilmiah dengan pemerintah, atau populer dengan suatu populasi masyarakat tertentu?

Menulis buku yang bukan textbook tentu jauh lebih mudah apalagi kalau data dalam textbook itu tidak perlu riset yang berbiaya besar dan waktu lama. Beda halnya dengan textbook yang harus mencantumkan data akurat terbaru dalam khazanah ilmunya. Untuk dapat mencantumkan data terbaru ini seorang dosen harus riset dulu. Waktunya bisa bulanan atau bahkan tahunan. Ini idealnya. Kalau risetnya sudah kelar, dia boleh (wajib) mempublikasikannya di jurnal ilmiah agar bisa dibahas dan dievaluasi oleh rekan sejawatnya di seluruh dunia (Indonesia). Di tahap ini pun, yaitu penulisan artikel ilmiah sudah merupakan kendala tersendiri. Tak banyak dosen yang mampu menuliskan apa yang telah dirisetnya. Banyak dosen yang piawai meriset namun lemah dalam menulis. Tapi banyak juga (atau malah terbanyak) dosen yang tak mampu meriset sekaligus tak bisa menulis. Kelompok inilah yang terbanyak di Indonesia, baik di PTN paling top maupun PTS.

Lantas bagaimana kalau dosen tak mampu riset sendiri dengan alasan, misalnya biaya, apakah peluang menulis textbook pupus begitu saja? Tentu saja tidak. Dosen bisa mencari dan dia harus rajin mencari bermacam-macam jurnal ilmiah terbitan teranyar dari dalam maupun luar negeri. Bisa lewat Perpustakaan Nasional di Jakarta atau di ITB, di UI, atau lewat internet. Peluang selalu ada asalkan sang dosen mau meluangkan waktu dan berupaya maksimal. Semua data yang diperolehnya dari jurnal ilmiah terakreditasi dan berkaliber internasional itu dapatlah dijadikan data dalam rancangan textbook-nya. Andaikata tidak demikian, yaitu tidak mencari data terbaru dari berbagai jurnal atau buku teks terbaru, maka buku teks buatannya akan terasa kering dan out of date. Apalagi kalau datanya itu hanya mengacu ke buku teks yang sudah tua, jadilah buku teksnya sekumpulan informasi usang dan tak punya nilai jual. Penerbit mana yang rela “berjudi” dengan menerbitkan draft buku teks demikian?

Data dari jurnal yang disalin di dalam textbook inilah yang dapat memperbarui dan menambah wawasan ilmu pembaca bukunya, terutama mahasiswa dan dosen lainnya. Kalau draft textbook-nya sudah selesai, muncul lagi problem berikutnya. Adakah penerbit yang mau menerbitkannya? Ini tentu menyangkut banyak hal seperti kualitas atau kredibilitas sang dosen (deretan gelarnya juga berpengaruh), mutu tulisannya: pola nalar, pola papar, dan juga pola bayar (royalti). Di pihak penerbit juga ada tolokukurnya, yaitu pola pasar dan pola bayar (laba). Kalau keduanya sepakat pada pola benar (saling setuju), maka terbitlah textbook itu. Berarti dosen sudah mem-publish (terbit, layak menjadi dosen). Kalau tidak jadi terbit, tak adalah textbook itu dan dosen dianggap belum menulis textbook dan dia boleh jadi di-perish (binasa, celaka: tak layak berlabel dosen). Itulah publish or perish.

Kembali ke soal riset yang sangat penting dalam penulisan textbook. Budaya riset memang belum tumbuh bagus di kalangan dosen kita. Ini melanda mayoritas dosen. Walau demikian, dalam kasus orang per orang, banyak juga yang tuman meriset. Namun sayangnya, riset dosen itu masih dalam taraf pemula. Jangankan di PTS (perguruan tinggi swasta), apalagi PTS kecil, di PTN (perguruan tinggi negeri)yang terkenal saja budaya riset ini belum berkembang dengan baik. Jumlah riset memang relatif banyak secara aritmetika tetapi kecil sekali persentasenya. Apalagi kalau parameter mutu dimasukkan dalam evaluasinya, sangat-sangat kecil. Kebanyakan risetnya hanya modifikasi kecil-kecilan dari riset yang telah dilaksanakan di luar negeri, biasanya dari tempat mereka meraih gelar master, doktor atau riset post-doctoralnya. Risetnya hanya seputar itu ke itu saja, seolah-olah hanya bertujuan meraih nilai kum dan uang. Selain itu, sang dosen pun jarang terjun langsung dalam riset itu dan hanya menerima laporan apa adanya dari sang mahasiswa S1, S2 dan S3. Kalau demikian, bagaimana dengan standar kualitas riset tersebut kalau sang dosen tidak terjun langsung, minimal secara berkala, ke laboratorium atau ke lapangan? Inilah yang banyak terjadi di perguruan tinggi kita. Di semua perguruan tinggi kita, tanpa kecuali.

Berikut ini sekadar informasi. Pada hari Rabu, 24 Agustus 2005 lalu saya sempat menghadiri seminar Riset Unggulan di Aula Barat ITB. ITB membagi riset menjadi dua grup, yaitu grup riset fundamental dan grup riset pengembangan teknologi. Riset fundamental diharapkan menghasilkan temuan baru dalam ilmu dasar sedangkan riset satunya lagi diharapkan mampu menyelesaikan masalah pembangunan, tenaga kerja (pengangguran) dll. Dalam sejumlah paparan dan rilis yang dibuat tampak bahwa mayoritas riset yang dilaksanakan adalah riset fundamental tetapi tidak mampu “berbicara” banyak dalam menambah khazanah ilmu. Tidak signifikan. Malah masih banyak perdebatan soal kata “unggulan”. Ketaksepahaman ini muncul lantaran setiap orang, baik itu grup periset (skolar) maupun penyandang dana (ITB), dan juga pemakai hasil riset (LAPI ITB, lembaga bisnis milik ITB) punya anggapan sendiri atas kata “unggulan” itu. Unggul menurut geografiskah: unggul di ITB saja, unggul di Jawa Barat, unggul di Indonesia, ataukah unggul di dunia? Unggul secara saintifik: apakah riset itu mayoritas hal baru, atau betul-betul 100% baru alias temuan anyar terkini, ataukah sekadar utak-atik buat kum menggapai profesor (guru besar) belaka dan uang? Adakah ini utopia bagi world class university atau research university yang dicita-citakan kalangan ITB?


Dalam seminar itu pun terungkap bahwa banyak riset yang menyimpang dari tujuan awal ketika penandatanganan kontrak riset. Ada yang tujuannya menghasilkan prototipe tetapi yang dilaporkan sekadar “temuan” yang mengarah ke riset fundamental. Artinya, tak bisa langsung diterapkan sesuai janji semula. Memang ada juga riset pengembangan teknologi tapi itu pun belum siap disadap oleh masyarakat, khususnya kalangan industri/pebisnis. Malah muncul pendapat bahwa hasil riset itu bukanlah inovasi melainkan baru dalam tahap invensi (invention), baru rekaan saja. Masih sangat mentah, masih prototipe awal sehingga perlu diriset lebih lanjut. Namun demikian, bagaimanapun hasilnya, kita wajib memberikan apresiasi kepada periset ini karena mereka sudah lebih baik daripada dosen lain di PTN dan PTS yang tidak pernah meriset. Lebih dari itu, kita memang wajib mengkritiknya agar upaya memajukan ilmu dan pendidikan berada di jalur yang betul. Dan pandanglah kritik sebagai sahabat yang peduli pada periset agar bisa lebih maju lagi.

Jadi kian jelaslah bagi kita bahwa menulis buku teks yang betul-betul serius memerlukan jalan panjang riset mandiri dan studi pustaka (textbook dan jurnal). Dan riset adalah salah satu kendalanya. Risetnya pun memunculkan banyak kendala lagi seperti biaya, materi riset, metodologi, analisis, dukungan jurnal terbaru, dan kerjasama antarperiset. Lantas, setelah riset selesai dan andaikata diperoleh data yang absah dan dipublikasikan di jurnal (diakui oleh rekan sejawat di dalam dan luar negeri) barulah bisa dimasukkan ke dalam buku teks. Artinya, sang dosen baru memulai menulis perihal temuannya itu dalam buku teksnya, selain mengutip data dari buku teks lainnya atau mengutip data dari jurnal ilmiah absah yang berkualitas tinggi. Inilah yang disebut dukungan data yang absah pada setiap penulisan buku, baik buku ilmiah populer maupun textbook. Syahdan, novel pun yang mengarah ke fiksi sainstek (sciencetech fiction) wajib didukung oleh riset yang absah agar tidak menjadi bumerang bagi si penulis dan mutu novelnya.

Akhirnya, bolehlah dikatakan bahwa dosen sulit menulis buku teks lantaran ada banyak hal yang mesti disiapkannya sebelum kegiatan penulisan itu bisa dimulai. Ada prolog yang bisa jadi sama panjang atau bahkan lebih panjang ketimbang penulisan buku teksnya. Begitu pun ketika dosen hendak menulis buku ilmiah populer, dia pun harus mengumpulkan data yang mendukung paparan dan pendapatnya. Sumber data tidak hanya dari buku teks, tapi juga dari berbagai jurnal ilmiah, semi-ilmiah, koran, radio, televisi dan bahkan wawancara langsung dengan masyarakat atau bahkan direktur perusahaan, politisi, pemerintah, atau tokoh masyarakat.

Sebagai penutup perlu ditulis di sini bahwa ilmu selalu berkembang, siang malam mengalami pembaruan. Ada yang cepat berubah, ada yang lambat. Yang penting adalah tersedia data yang bisa diasumsikan absah. Apalagi ada dogma bahwa semua riset tidak ada yang salah sejauh ada alasan yang diberikan dan masuk ke dalam logika sains. Istilahnya, tak ada riset yang final. Semuanya masih perlu diuji dan diuji terus sepanjang zaman. Last but not least adalah dana. Dana riset, seperti ITB yang mengalokasikan Rp 50 juta sampai Rp 300 juta per judul riset, adalah kendala besar di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Akhirulkalam, entah sampai kapan dosen-dosen kita tak mampu meriset dan tak mampu menulis textbook yang diakui dunia akademik internasional, dirujuk oleh jurusan dan program studi di seluruh dunia. Atau dalam skala kecil, menjadi rujukan di tingkat nasional. (Coba direka-reka para profesor kita, sudah berapa banyak yang minimal menulis satu buku teks yang betul-betul berkualitas, tak sekadar buku teks. Akan ada temuan yang mengejutkan. Sebab, mayoritas profesor kita tak punya buku teks dalam kualitas terendah sekalipun. Menulis buku ilmiah populer pun tak banyak yang melakoninya. Begitu pun artikel pendek populer di media massa).

Kembali ke buku teks. Jika buku teks yang dirancang dosen itu tak mampu “bicara” dalam skala nasional, yakinlah tak ada penerbit yang akan mau menerbitkannya karena pola pasarnya tak layak. Bakal menumpuk di gudang, dimakan rayap dan kutu buku yang sesungguhnya. Ini pasti dihindari oleh setiap penerbit. Atau, adakah penerbit yang tidak demikian, yang melawan arus?

Tanyalah pada rumput yang bergoyang. Tulisan ini hanyalah berita kepada kawan.

1 komentar:

  1. alhamdulillaaah saya bersukur masih ada orang yang mampu ber-opini sedemikian hebat.
    saran saya, kalau anda ada kesempatan menjadi pejabat, tolong lakukan perbaikan perbaikan dan perbaikan.
    karena umumnya, yang menjabat sekarang dahulunya juga punya opini yang mulia seperti anda.
    mari kita mulai dari diri sendiri.
    terima kasih...

    BalasHapus