• L3
  • Email :
  • Search :

30 Maret 2006

Anak Perawan Di Sarang Penerbit

Tanti masih belia, masih remaja. Relatif muda jika dibandingkan dengan anak SMU apalagi universitas. Tapi yang luar biasa, dia sudah berani mendatangi penerbit dan dengan “jantan” mengajukan proposal agar draft (naskah) bukunya diterbitkan. Bagi remaja seusianya, naskah bukunya itu sudah jauh melampaui kapasitas daya-tulis gadis seusianya. Dia sudah menjadi murid “langka” dalam tata-tulis lantaran segelintir saja yang mau menapaki jalan senyap itu.

Suatu hari, dengan gaya lugu, dan memang itulah karakter dasarnya, dia minta dipertemukan dengan Chief Editor (CE). Kebetulan waktu itu direktur penerbitnya tidak di tempat. Setelah ngobrol setengah jam, CE itu langsung berkata bahwa bukunya tak layak terbit. Kalau pun bisa terbit, akan lama menunggu, bisa sampai satu tahun. Jangan-jangan malah lebih lama lagi. Mendengar penjelasan tersebut, pulanglah dia dengan hati lesu.

Rupanya hasrat juangnya tidak padam. Esoknya dia punya semangat baru dengan menyambangi penerbit lain. Apa nyana, perlakuan pegawai penerbit yang kedua ini ternyata jauh lebih buruk ketimbang yang pertama. Lagi-lagi perawan kelahiran Temanggung 16 tahun lalu itu terhenyak. Sempat “tersedak” dan kecewa. Tanpa ba bi bu, tanpa diajak bicara dan diskusi kecil-kecilan soal bukunya, langsung saja dia dipersilakan angkat kaki. “Kamu salah alamat. Bukumu tak cocok di sini. Cari saja penerbit lain. Kan masih banyak!” Perasaannya hitam-legam mendengar tumpahan kalimat pegawai penerbit itu. Kecewanya menjalar ke ubun-ubun. Perih juga ditolak sementah itu, tanpa dihargai sebagai orang yang punya otak lain daripada kebanyakan orang yang tak menulis. Sekejam itukah (insan-insan) penerbit di Indonesia?

Empat jam setelah penolakan itu dia telah berbaring di karpet kamarnya. Masih dengan mimik sendu, wajahnya menatap langit-langit kamar. Kosong. Sepi. Yang ramai otaknya. Pikirannya bergerak terus, memberontak keras. Kesal dan geram. Dia merasa tak “dihargai” sebagai remaja yang telah melesat lepas dari kerumunan anak sebayanya yang hanya menjadi generasi wira-wiri dan mejeng. Dilecehkan begitu saja dirinya, tak dihargai sama sekali sebagai penulis pemula. Apakah penerbit hanya doyan penulis yang ternama, terkenal, terbaik dan tak berpikir bahwa yang ternama itu pun dulunya adalah penulis pemula? Kenapa penerbit itu tak membaca dulu bukunya sebelum ditolak? Paling tidak, mereka seharusnya melihat-lihat dulu naskahnya. Pelajari dulu barang sehari dua hari, barulah menilainya. Begitulah keinginan gadis berambut lurus sebahu itu. “Besok kucoba lagi datang ke penerbit lainnya. Mudah-mudahan berhasil,” harapnya cemas.

Tekadnya kemarin sore betul-betul ditunaikan. Pukul 09.45 waktu setempat dia sudah duduk di ruang tunggu penerbit. Kali ini gadis blasteran Jawa-Gorontalo itu menanti seorang kepala bagian. Pada menit ke-23 barulah dia lega. Setelah menyerahkan naskahnya, dia menanti reaksi teman bicaranya itu. Tiga menit lewat... lima menit berlalu, masih dalam diam. Bapak itu membolak-balik halaman per halaman dengan cekatan. Lembar demi lembar melesat lepas seperti kipas sambil mendesiskan angin. Helaan napasnya berat, lalu berkata,“Begini Dik, ini buku yang ke berapa?”

“Ini... baru yang pertama... , Pak!” jawabnya agak ragu dan penuh harap.
Hening tiga jenak.

Sambil melihat-lihat dan menimbang-nimbang per halaman, Bapak berwajah tirus itu berkata pelan. “Untuk saat ini buku Adik tak bisa kami terbitkan. Antrian sudah panjang. Maaf ya, Dik, jangan kecewa!” Pelan kalimat itu lepas, tapi terdengar menggelegar di telinganya. Lagi-lagi dia kecewa. Beban sekarung beras mendesak pundaknya, menekan hatinya. Hilang harapannya.

Begitulah gadis itu memburu penerbit dan... gagal ujungnya. Begitu terus berkali-kali sehingga batallah naskahnya terbit dan menjadi penunggu setia meja belajarnya, entah sampai kapan. Yang sangat menyedihkan, minat menulisnya jatuh ke titik terendah. Dia enggan menulis lagi dan beralih ke kegiatan lainnya. Hilang sudah tunas calon penulis, sebuah titi-hidup yang sangat-sangat langka di antara 220 juta orang Indonesia. Menangiskah negeri pertiwi ini? Entahlah.

Itulah... nasib (calon) penulis. Baru berkecambah saja sudah pula habis dibabat oleh “business and profit oriented” penerbit semata. Seolah-olah (atau memang begitu faktanya) penerbit tak mampu melihat aset masa depan. Tak mampu menerawang kaderisasi. Lupakah mereka bahwa penulis yang ternama sekarang dulunya pun menjejak sebagai penulis pemula? Bahkan penerbit “raksasa” pun pada awalnya hanyalah penerbit kecil yang memulai bisnisnya dengan merilis satu judul buku. Tidakkah demikian, wahai penerbit?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar