• L3
  • Email :
  • Search :

31 Maret 2006

Laksmidewi

Laksmidewi
Oleh Gede H. Cahyana


Malam itu kali ketiga air matanya mengalir. Dua hari lalu yang kedua dan yang pertama terjadi ketika ia baru saja sampai di puri. Itu enam hari lalu. Libur semester tinggal lima hari lagi. Bukan apa-apa, dosen pembimbing skripsinya akan ke Filipina, ke tempat magangnya dulu di IRRI. Apalagi tekadnya sudah bulat, sebelum dosennya pergi ia sudah harus mendiskusikan metode pembenihan padi yang paling anyar dirintis di International Rice Research Institute itu. Ia menganggap inilah subbab kritis selama delapan bulan skripsinya. Jika dapat lampu hijau dari dosennya berarti cepat pula ia sidang dan, harapannya, segera pula menikah.

Rencana tinggal rencana, tak terjadi seperti hasratnya. Kalutlah kini hatinya. Bentakan bapaknya mendenyut-denyutkan kepalanya. Disela-sela tetesan air matanya, lamat-lamat suara disimaknya. “Anak apa itu? Apa lupa garis darahnya? Ditaruh di mana muka ini? Seumur-umur keturunan Anak Agung Ngurah Winaya selalu kawin dengan menak. Ini harga diri!” Benturan keras di meja menggema.... lalu hening.

Menggigil hatinya, berkunang-kunang matanya, berbintang-bintang kepalanya. Gemuruh. Lemah sudah tubuhnya. Bagi gadis 23 tahun yang terpapar kampus biru di Yogyakarta, trah menak justru beban berat. Anak Agung Ayu Laksmidewi, nama yang diberikan bapaknya lewat semedi tiga hari tiga malam, ini kata ibunya, begitu berat di pundaknya. Sebagai perempuan Bali ia tahu sangat mustahil diizinkan menikah dengan sembarang orang, sembarang garis genetis. Kakak perempuannya sudah menikah dengan Ida Bagus Made Wisastra Manuaba, seorang dokter yang kini tinggal di Kupang, NTT. Sepupu sebayanya setahun lalu menikah dengan seorang Ajun Komisaris Polisi dari Puri Mlanting yang masih kerabat raja Tabanan masa prakemerdekaan: Anak Agung Putu Lanang Oka. Dan kakak pertamanya, Anak Agung Ngurah Anom Pemayun telah menyunting “melati” dari garis raja-raja Karangasem di Bali Timur. Semuanya menak.

Ia tahu, satu risiko yang pasti didapatnya jika menikah dengan orang bukan menak adalah degradasi statusnya sebagai orang puri. Apalagi kalau menikah dengan orang dari kasta rendah, kasta Sudra, hatta bergelar sarjana, magister ataupun doktor. Gelar akademis apapun tak mampu melawan galur gelar tradisional yang dianut keluarga besarnya. Lebih buruk lagi kalau menikah dengan orang yang beda agama. Sudah hilang menaknya, hak waris pun lenyap. Jangan-jangan putus pula kekerabatan.

“Aku tak mampu lagi. Sudah lima kali bicara tapi bapak yang sesekali didukung ibu sudah bulat. Tak setuju. Maafkan aku Mas,” bisikan hatinya bergetar mengingat Bambang, pacarnya asal Sragen. Keluarga Bambang memiliki sejumlah toko dan galeri batik di Semarang, Solo dan Yogya. Galeri batik terkenal dekat stasiun Solo Balapan adalah milik ayahnya, Raden Mas Sosrojoyo Prawirokusumo, salah satu cicit dari garwo ampil patih Reksodipuro. Di Delanggu apalagi, keluarganya memiliki berhektar-hektar sawah yang diurus oleh abdi dalemnya.

Apakah Laksmi tertarik lantaran pria berkumis rapi itu anak orang kaya dan ningrat? Tak sengaja ia bertemu Bambang. Waktu itu, delapan bulan lalu, ia kerja praktik di Wonogiri dan Sukoharjo. Ia terjun langsung meneliti padi yang biasa ditanam di Sukoharjo yang airnya dari waduk Gajahmungkur Wonogiri. Jenis risetnya mengharuskannya ke desa-desa, mencari data ke para petani dan rela belepotan lumpur. Saat itulah ada lelaki tegap berambut ikal yang belakangan diketahuinya anak Fakultas Ekonomi, juga sedang riset di pabrik tekstil besar di Sukoharjo. Di pabrik milik mantan pejabat masa Orde Baru itulah dia merajut benih kasih sambil belajar benih padi. Laksmi ditolongnya mengumpulkan data.

“Makan yuk,” ajak Bambang di terminal Krisak setelah sempat ke “proyek”, sebutan salah kaprah untuk waduk Gajahmungkur. Berkaos dan celana jins, Bambang tampak atletis dan guratan wajahnya menapak menak Jawa. Sepatunya kets hitam. Tasnya berbahan batik buatan pabrik ayahnya. Pertemuan selama dua minggu itulah yang lekat di hatinya, bahkan sampai ia kembali ke Bulaksumur.

“Laksmi, aku serius. Bapak ingin aku segera menikah.” Mata elangnya menatap Laksmi, tangannya menggenggam sebotol air minum kemasan.

“Aku usahakan, Mas. Mudah-mudahan lancar. Doakan ya!”

Laksmi bukan tak tahu masalah besar yang bakal kukuh menghadangnya. Masih ada ragu di hatinya, terutama pandangan bapaknya. Ibunya selalu ikut apa kata bapaknya. Sepuluh hari setelah Bambang mengutarakan ingin menikahinya, Laksmi diundang orang tua Bambang. Terkejut ia. Tak tahu ia bahwa pemuda itu masih dari kalangan ningrat. Rumah besarnya di Sragen membuatnya terhenyak. “Mas Bambang kaya tapi sederhana,” getar hatinya. “Ya Tuhan, bantu aku. Kalau ia tepat buatku, tolong izinkan.” Baru saja menapak ruang tamu, terdengar sambutan.

“Ndoro sampun rawuh!” seru perempuan berkulit keriput coklat dengan rambut diikat ke belakang mirip sanggul. Ditatapnya lukisan di tembok kanan-kiri. Keluarga raja Jawa, batinnya. Di atas meja jati di sudut ruang tampak sederet foto. Satu yang menariknya, pria berpakaian Jawa lengkap. Seuntai kata dibacanya: Raden Mas Bambang Pamuji Joyoprawiro. Selama ini ia hanya tahu Bambang Pamuji saja.

Pertemuan dengan keluarga besar Bambang itulah yang membulatkan tekadnya untuk ke Bali dan mengutarakan niatnya. Karena itu pulalah ia terisak-isak di kamarnya. Dan kini, bulat sudah hatinya untuk pergi lagi, berangkat ke Sragen. Ia nekad. Hanya dengan ibunya ia pamitan yang telah lelah membujuknya agar jangan pergi. Laksmi ternyata bisa sekeras itu. Sekeras bapaknya. Ia naik bis. Estafet. Naik turun di sejumlah terminal sampai Surabaya lalu naik bis lagi menuju Solo, ke rumah eyang pacarnya. Bambang diminta menjemputnya di Tirtonadi Solo.

***

Hajatan sederhana, jauh dari kesan pesta anak pejabat, berlangsung di Sasono Prawiropuspito. Keluarga Bambang saja yang hadir pada tanggal 2 Maret itu. Bertindak selaku wali mempelai perempuan adalah wali hakim yang masih kerabat mempelai pria. “Saya terima nikahnya Anak Agung Ayu Laksmidewi dengan mas kawin 23 gram emas perhiasan, tunai!”*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar