• L3
  • Email :
  • Search :

31 Maret 2006

Valentinologi

Valentinologi 
Oleh Gede H. Cahyana

Judul tulisan ini adalah cabang baru ilmu humaniora yang berakar pada kata valentinus dan logos. Sudah jamak diketahui, logos berarti ilmu. Adapun valentinus merujuk pada nama seorang rahib kelahiran Roma, yaitu Valentin. Ada juga yang meyakini berasal dari nama seorang pendeta yang sebelum menjadi martir menitipkan secarik surat untuk perempuannya bertuliskan From Your Valentine pada masa kaisar Claudius II. Ini terjadi tahun 269/270 M. 

Versi lain pun ada, misalnya kalangan Prancis Normandia percaya kata itu terkait dengan galentine, dari kata galant atau cinta. Jika di-othak-athik gathuk akan didapat sederet lagi hal serupa. Beragamnya asal-usul Hari Valentin (HV) kian menguatkan pendapat bahwa itu mitos-legenda belaka. Garis historisnya tak bisa diruntut sampai ke “perawi” primernya alias tidak “mutawatir”.



Namun demikian, lepas dari kekacauan asal-usulnya itu, valentinologi tetap bisa dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari seluk-beluk, ekspresi, dan karakter budaya perihal kasih sayang antarmanusia. Maknanya bukan hanya internal agama masing-masing, melainkan juga lintas agama lintas budaya lantaran kasih sayang bersifat universal, dibutuhkan semua orang. Hanya saja, dan ini masalahnya, arti kasih sayang itu dipersempit oleh kalangan remaja sehingga seolah-olah merekalah pemiliknya. 

Terbukti memang, HV selalu digandrungi kaum muda SMP, SMU, dan mahasiswa. Mereka mengadopsi budaya barat yang titik beratnya berupa hadiah dari lelaki kepada wanita dan imbalannya tak lain daripada virginitas. Boleh jadi juga wanitanya sudah tak perawan karena penganut seks bebas sehingga hadiah bagi lelakinya bukanlah hadiah utama, melainkan sekadar pengisi malam dingin saat HV. Yang paling parah adalah tukar-menukar pasangan dalam ujud orgy party, pesta seks rame-rame.

Bagaimana dengan orang tua, adakah yang merayakannya? Ada! Mereka umumnya orang tua yang usianya masih likuran (duapuluhan) dengan satu-dua anak balita. Biasanya sang suami memberikan hadiah berupa ikon-ikon HV seperti boneka, cincin, gelang, kalung, bross, jepit rambut berbahan emas atau bertahtakan berlian. Bungkus kadonya merah, pink atau coklat. Sebaliknya sang istri menyampaikan peluk cium mesranya dan selanjutnya mereka berdua saja yang tahu. Hal ini positif dan baik-baik saja. 

Masalahnya muncul jika hal serupa dilakoni oleh remaja belasan dan likuran yang pranikah. Justru kelompok inilah yang terbanyak dan ekspresif merayakannya dengan dansa-dansi berpakaian ketat terbuka. Inilah yang ditakutkan orangtua. Memang, tak sedikit orang tua yang tenang-tenang saja karena mereka pun ketika remaja menganut gaul bebas dan tetap begitu sampai berumah tangga. Orang tua seperti ini biasanya tak mau menasihati anaknya sebab mereka pun berbuat serupa.

Islamic Valentine
Fakta berkata, HV kian luas. Tak hanya di kota besar di Jawa, tapi juga sudah merambah ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara. Sebabnya hanya satu, lahan bisnis produk HV seperti boneka, bantal, cincin, gelang, kalung, kartu, coklat dengan warna merah atau pink kian besar. Meskipun harganya berlipat-lipat, tetap saja produk valentis diburu kaum muda apalagi hanya sekali per tahun. Bisnis. Sekali lagi, bisnis! Inilah alasan utama kenapa HV takkan bisa lenyap dari bumi, malah kian direspon saja. Pebisnis akan menempuh segala upaya demi kelarisan produknya, baik lewat propaganda di koran, radio, televisi maupun internet. Apalagi begitu banyak majalah dan tabloid “porno” yang berkepentingan akan oplahnya dan siap bersaing “berdarah-darah”.

Tak heran kelompok tersebut ikut masuk ke dalam arus-induk (main stream) yang menentang UU Antipornografi-pornoaksi. Jika UUAPP disahkan bisa dipastikan mereka akan bangkrut atau paling tidak berurusan dengan pengadilan. Segala upaya lantas dikerahkan, termasuk lewat publikasi dan menggembar-gemborkannya di televisi. Jika demikian, akankah pihak yang kontra-HV berpangku tangan dan cuma teriak bahwa HV itu bid’ah, tak ada contohnya dalam Islam, dan tak sesuai dengan budaya Indonesia? Apabila hanya ini yang dilakukan, dampak HV pasti meluas dan mendapat simpati dari muda-mudi yang tak matang spiritualnya. Sebaliknya, pihak pengecam HV malah dimusuhi dan disebut kuno bin kolot, tak tahu perkembangan zaman. Maukah da’i, ustadz, dan penceramah serta penyeru kebenaran lainnya dikata-katai seperti itu?

Jika tak setuju, harus dicarikan “kompromi” agar HV justru menjadi perayaan positif, minimal sebagai tandingan HV konvensional selama ini. Kalangan kontra-HV mesti berupaya “menunggangi” HV konvensional dengan HV modern, misalnya dengan cara “setuju” pada perayaan HV dimodifikasi, yaitu Islamic Valentine atau Hari Valentin Islami (HVI). Nama Valentin tetap digunakan tapi hanya sekadar masker agar tak ditolak mentah-mentah oleh kawula muda pegiat HV konvensional. Sebab, perubahan drastis di kalangan remaja biasanya tak disukai, malah dijauhi sehingga tujuan HVI takkan tercapai.

Bagaimana ujud gagasan HVI itu? Tak jauh beda dengan HV konvensional. Bedanya, HVI menjurus pada perilaku islami, akhlak mulia, misalnya dengan cara menolong kaum miskin dan jompo. Semua ikon dan produk HV konvensional dimodifikasi menjadi ikon dan produk HVI. Boleh saja tetap berboneka ria tapi ujudnya adalah boneka yang mengingatkan kawula muda akan akhlak mulia. Gambar dan kartu juga diisi kalimat yang mendekatkan diri kepada Allah, misalnya sitiran hadis atau Qur’an. 

Makanan coklat masih bisa digunakan tapi diperkaya dengan makanan jenis lain seperti beras, roti, lemon, apel, dll yang diberikan kepada fakir-miskin dan jompo. Obat-obatan juga bisa diberikan. Begitu pun kaset dan CD pendidikan, motivasi dan kisah perjuangan orang sukses di bisnis dan pemimpin negara. Lagu-lagunya juga lagu yang memotivasi untuk mandiri. Ujud kasih sayang itu pun bisa dimunculkan lewat buku. Boleh juga buku agama dan buku-buku bisnis. Pemberian buku ini akan meluaskan ilmu masyarakat dan dampaknya positif.

Mari modifikasi HV menjadi HVI dengan fokus pada kasih sayang positif, bukan cinta nafsu. Apalagi kasih sayang, rahman dan rahim adalah ciri khas ajaran Islam. Mudah-mudahan HVI mampu mereduksi pola gaul seks bebas dan mereduksi atau bahkan meniadakan HIV (Human Immunodeficiency Virus), si virus AIDS.*

Gede H. Cahyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar