• L3
  • Email :
  • Search :

24 Maret 2006

Water & Culture, Hari Air Sedunia 2006

Water & Culture

Berkaitan dengan Hari Air Sedunia (HAS) ke-14 tahun 2006 ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khususnya Unesco merayakannya dengan tajuk Air dan Budaya. Kenapa demikian? Dalam publikasinya Unesco merilis sejumlah alasan yang berkaitan dengan fakta relasi antara air, budaya, agama atau kepercayaan yang intinya air memainkan peran utama. Dalam setiap ritus agama dan kepercayaan ada saja pelibatan air di dalamnya. Selain itu, air pun sumber hidup yang bahkan dinyatakan sebagai materi "pelahir" kembali. Bayangkan lahan tandus selama musim kemarau, akan mulai berumput setelah diguyur hujan.

Air, Budaya, Agama
Barangkali tak ada yang tak kenal Bali. Jangankan orang Indonesia, orang mancanegara saja banyak yang mengenalnya, bahkan sudah datang ke Bali. Namun, adakah yang kenal Subak? Jika tak kenal, adakah yang sudah tahu lewat media massa, buku atau majalah? Subak atau Krama Subak bersangkut paut dengan budaya dan masyarakat agraris Bali sejak dulu sampai sekarang. Juga melibatkan sisi transenden, yakni Dewi Sri, Dewi yang menyuburkan padi, makanan pokok orang Indonesia dan mayoritas manusia di Bumi.

Subak adalah produk budaya yang erat kaitannya dengan air dan disadari dapat memicu konflik fisik. Jebol-menjebol tanggul kerapkali terjadi, bahkan ketika sudah ada peraturan. Itu sebabnya, Subak dibentuk dalam upaya antisipasi potensi konflik lewat awig-awig atau peraturan. Boleh dikatakan, pola desain irigasi modern mengikuti pola Subak ini. Jika irigasi modern mengenal dam, saluran primer, sekunder, tersier, dan kwarter, Subak pun punya empelan (dam), telabah gede (primer), pemaron (sekunder), telabah cenik (tersier), temuku (kwarter), bahkan kekalen dan talikunda (parit-parit kecil). Juga ada yang disebut aungan (terowongan), abangan (talang), dll. Semuanya demi keadilan distribusi air yang sudah ada sejak abad ke-7 M. Sumber lain bahkan menyatakan bahwa Subak sudah ada sejak zaman pra-Hindhu ketika Rsi Markandiya asal Jawa datang ke Bali pada tahun 78 M (abad ke 1 M).

Dalam produk budaya sekarang pun air terus mengambil peran penting. Air masuk ke taman-taman di rumah, permukiman, dan perkantoran. Bahkan resort dan tempat peristirahatan dibuat dekat air seperti halnya water front city/resort. Di taman-taman ujudnya bisa berupa kolam air mancur dengan beragam ornamennya dan ditumbuhi teratai (lotus). Ada juga yang dihiasi dengan patung, candi dan beragam bunga. Betapa dekat dan lekatnya budaya Bali dengan air bisa dilihat di Pura Ulun Danu di Danau Beratan, di kaki Gunung Batukaru, Tabanan. Saksikan juga di Tirta Empul dan Taman Ayun. Bahkan pura Tanah Lot pun "lebur" dengan air laut pasang setiap hari, selama-lamanya.

Yang luar biasa adalah kaitan antara air dan agama Hindhu khususnya pada ritual Kumbh Mela di India. Ritual yang diselenggarakan di Sungai Gangga ini dihadiri oleh 30 juta orang peziarah dan berisi "keajaiban". Berikut ini komentar Dr. F.C. Harrison yang dikutip Shiva. "Menurut fakta yang janggal, yang belum pernah dijelaskan secara memuaskan, adalah begitu cepatnya (tiga sampai lima jam) kuman kolera mati di Sungai Gangga. Ketika seseorang mengingat banyaknya kotoran yang dibuang para penduduk, yang sering merupakan penderita kolera, dan ribuan penduduk yang mencebur ke sungai, tampak sungguh luar biasa bahwa kepercayaan orang Hindhu, bahwa sungai ini memiliki air yang murni dan tidak bisa tercemar dan mereka bisa dengan aman meminum airnya dan mandi di dalamnya, bisa dibuktikan dengan alat penelitian bakteriologi modern".

Dalam ajaran agama Budha juga ada pelibatan air, misalnya dalam prosesi atau upacara pemakaman atau penguburan jenazah. Begitu pun agama Yahudi juga menggunakan air dalam ritual mandinya atau Mikveh khususnya pada hari Jumat atau sebelum perayaan besar. Perempuan Yahudi juga wajib Mikveh sebelum menikah dan setelah melahirkan dan menstruasi. Manfaat air yang begitu besar juga terjadi pada agama Kristen-Katolik, seperti dalam ritual baptis. Dalam kepercayaan Shinto di Jepang, air terjun justru memberikan rasa kesakralan. Air bagi orang Jepang memberikan kesetimbangan antara manusia, alam dan dewa. Pada saat yang sama mereka memuliakan Matahari, dewa Amiterasu Omikami, sebuah bintang yang mampu menguapkan air laut dan membawanya ke darat berupa hujan, yaitu siklus hidrologi.

Dalam Islam juga demikian. Air selalu dibutuhkan saat wudhu dan mandi jinabat. Bahkan ditegaskan oleh ayat 30 surat Al Anbiyya bahwa semua yang hidup diciptakan dari air. Dan terbukti, 75 persen tubuh manusia adalah air. Malah kata air dalam kitab suci kaum muslim itu disebut sebanyak 63 kali. Tingginya kesakralan air tampak dari ungkapan ini: tirtha nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab), nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life, the liquid of life (Inggris), air suci (Indonesia). Tapi jauh sebelum ini, pada masa silam nilai spiritual atau pendewaan air telah luas dikenal. Di Prancis, di dekat Sungai Seine, ada kuil suci untuk Dewa Sequana. Sungai Marne asal-usul namanya dari Matrona yang artinya Dewi Ibu. Cikal nama Sungai Thames di Inggris ialah Tamesa atau Tamesis yang terkait dengan makna ketuhanan. Sungai Nil di Mesir tak lepas dari Fir'aun dan Nabi Musa. Adapun Sungai Amazon di belantara Brasil, Amerika Latin dihuni suku pemulia dewa-dewi. Sungai Euphrates dan Tigris di Irak dihormati kaum Babylonia dan Mesopotamia.

Namun demikian, air ternyata telah memicu konflik. Air pun menjadi salah satu alat atau "senjata pamungkas" dari Sang Creator untuk menghapus konflik antara Nabi Nuh dan penentangnya. Qur'an menandaskan, hujan deras terus menerus telah menenggelamkan pelawan Nuh. Sebaliknya Nuh, umatnya dan binatang lainnya selamat berlayar dengan kapal yang dibuatnya di puncak bukit. Pada zaman Nabi Musa juga ada peran air di dalamnya, yaitu air laut Merah. Musa dan pengikutnya memutus laut dan melewatinya dengan selamat. Namun ketika Fir'aun dan balatentaranya masuk ke laut, air laut pun lantas menyatu kembali.

Budaya, Upaya Privatisasi PDAM
Air demikian kuat melekat pada budaya dan agama. Itu juga berarti PDAM dapat membentuk budaya masyarakat setempat, khususnya dalam pembiasaan hidup bersih. Sanitasi dan higiene tak lepas dari PDAM, tak hanya air untuk minum tapi juga untuk mencuci, menjalankan proses produksi pabrik dan komersial. Itu sebabnya, air sebagai hajat hidup orang banyak, perlu dilindungi dan didekatkan kepada masyarakat. Kegiatan manusia, sebagai produk budaya, sangat perlu air olahan PDAM. Masuk akallah kehendak banyak pihak agar PDAM mandiri dan berkembang luas sambil tetap berpihak pada masyarakat. Keberpihakan ini memang tampak berkurang ketika PDAM mengarah ke privatisasi. Tapi untunglah tak semua PDAM setuju atas privatisasi itu. Sebab, jika dilihat dari substansinya justru privatisasi itu melecehkan PDAM. Lebih jauh lagi, ia melecehkan pemerintah daerah karena pegawai PDAM dianggap tak mampu dalam skill dan manajerial.

Dari fakta kita tahu, privatisasi itu telah luas menguasai perusahan air di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Istilahnya, terjadi "kolonialisme" sektor air oleh negara-negara utara atas negara-negara selatan yang notabene negara miskin. Yang terakhir, alasan terkuat menentang privatisasi justru karena air adalah pembentuk budaya persis seperti tema HAS: Water & Culture. Alasan terkuatnya, air adalah HAM, Hak Asasi Manusia, hak dasar, hak yang tak mungkin diganti oleh hak lain. Hanya saja, faktanya sekarang, justru isu HAM ini dijadikan senjata oleh pihak pro untuk kampanye privatisasi air. Seolah-olah isu privatisasi menjadi demikian penting dan mendesak sambil menuduh bahwa insan PDAM tak mampu dalam hal penyediaan air bersih.

Padahal faktanya, privatisasi lebih banyak menyengsarakan PDAM dan rakyat. Ini contohnya. Yang pertama adalah PDAM Kabupaten Karawang. Di PDAM ini pernah terjadi kekacauan manajemen lantaran airnya dikelola oleh PT Cikampek Tirta Manunggal (CTM) atau PT Wahana Abdi Tirta Sejahtera (WATS) untuk masa 25 tahun. Tapi yang terjadi, PDAM makin rugi dan konsumen jauh lebih rugi lagi. Itu sebabnya, pelanggan memprotes PDAM tersebut termasuk memprotes keras PT CTM atau WATS. Selanjutnya PDAM Kabupaten Pati. Secara diam-diam, tanpa diketahui oleh publik, PDAM di daerah punuk unta Jawa Tengah ini sudah pula diprivatisasi. Alhasil, pelanggan lagi yang rugi. Kabar "jatuhnya" PDAM Pati Jawa Tengah ke pihak swasta sudah lama terdengar.

Lalu yang paling keras gelombang protesnya terjadi di PDAM Jakarta. PAM Jaya ini berkali-kali diprotes oleh masyarakat dan DPRD karena kerjasamanya dengan Palyja dan Thames Jaya merugikan pelanggan, minimal karena tarifnya naik terus. Di pihak lain, servisnya belum juga memuaskan pelanggannya. Dua korporasi asing itu adalah raksasa air dunia yang bermetamorfosis menjadi monster air gigantisme. Palyja di bawah setir Suez Lyonnaize des Eaux, Prancis dan Thames dikendalikan oleh Thames Water, Inggris. Bisnis keduanya telah mencengkeram erat sumber daya air di lebih dari 120 negara. Begitu tulis Vandhana Shiva, seorang saintis asal India di dalam bukunya, Water Wars.

Korporasi mondial lain yang juga dari Prancis adalah Vivendi Environment dan yang dari Spanyol ialah Aguas de Barcelona. Selain Thames Water, di Inggris juga ada United Utilities dan Biwater. Yang disebut terakhir ini, yakni Biwater, telah pula "menikahi" PT Bangun Cipta Kontraktor, kontraktor dominan yang membangun IPAM (instalasi pengolah air minum) di Batam dan salah satunya adalah IPAM Mukakuning yang menjadi kantor pusatnya, untuk mengelola PT Adhya Tirta Batam lewat anak perusahaannya Cascal BV sampai tahun 2020. Setelah itu bisa diperpanjang lagi. Akibatnya, ketika raksasa itu masuk ke Indonesia, tarif air pun naik dan tidak pernah turun. Memang diakui, mereka ada mengelola air gratis untuk masyarakat miskin marjinal, tetapi nilai investasinya tak sepadan dengan labanya dari raupan air milik publik Indonesia. Mereka lihai mempublikasikan lewat berbagai-bagai media perihal "kepeduliannya" terhadap orang miskin termasuk ke daerah-daerah bencana seperti tsunami di Aceh dan Nias. Adakah ini kamuflase?

Akhir kata, perlulah PDAM matang-matang mempertimbangkan upaya privatiasi agar tak kepalang basah. Harga diri bahwa insan PDAM masih mampu mengelola PDAM dengan kekuatan sendiri menjadi spirit untuk bertahan. Swakelola jauh lebih baik daripada hanya mendapatkan secuil saja dalam ujud pajak. Janganlah kasus Freeport di Papua atau kasus Blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil terjadi di PDAM. Semoga.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar