Telah lewat setahun TSUNAMI atau SMONG mengiris-iris Aceh. Triliunan uang sudah disalurkan ke pemerintah NAD, baik bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagian dari bantuan itu telah diketahui “dimakan” orang-orang tegaan tak bermoral. Sebagian yang lain disusupkan ke kantong LSM berkedok menolong anak-anak dan orang tua renta lewat yayasan-yayasan yang tiba-tiba hadir di sana. Juga disantap oleh pejabat dan pegawai yang mengurusi bantuan di daerah tsb. Dan pada Hari Ibu lalu, banyak ibu-ibu dan anak-anaknya yang demikian menderita, sebatang atau dua batang kara. Juga ada yang tega menjual anak-anak itu demi sesuap dua suap emas.
Pada saat yang sama, setelah resafel atau tukar tempat beberapa menteri, kini di Papua terjadi kelaparan. Namun fakta itu ditolak oleh pemerintah kita, bahwa kejadian di Yahukimo bukanlah kelaparan. Itu hanyalah gejala saja. Gejala awal kelaparan. Boleh jadi ada “Yahukimo-Yahukimo” lainnya di provinsi lain yang tak terdeteksi. Sebetulnya pemerintah sekarang tak perlu malu sebab ini bukanlah salah mereka saja, melainkan juga kesalahan pemerintah sebelumnya, termasuk kesalahan pemerintah daerah setempat. Semasih pemerintah terus berbohong dan membuat kontraopini atas berita koran berarti pemerintah memosisikan dirinya di seberang rakyat. Membela diri habis-habisan demi menyelamatkan muka yang sangat tak mungkin bisa disembunyikan. Mata, kamera, video, dan bahkan satelit telah bersaksi atas apa yang terjadi. Bisakah rakyat terus dibohongi dan dianggap bodoh semua?
Yang lebih gawat lagi, negara kita tak mampu menolong dirinya sendiri. Semua ahli mesti dikerahkan dari negeri manca. Segala bantuan, entah murni bantuan atau ada udang di balik batu, diterima begitu saja dan yang memberikan bantuan bisa langsung bebas masuk ke NAD. Tentara asing pun pernah bebas jalan-jalan di Aceh. Duh biungg... bangsa ini sudah kehilangan akal sehatnya.
--- ************* ---
Belum lama berselang kabinet bernama Kerajaan Bersatu dari negeri Mandalagiri bertukar ponggawa. Hanya saja, orang-orangnya masih yang itu-itu juga, masih stok lama, bukan wajah baru berspirit anyar. Memang asa telah ditanam agar para ponggawa itu mampu membawa ekonomi kerajaan menjadi lebih baik dan mantap, agar busung lapar, kelaparan, atau apapun namanya, bisa berkurang. Sejumlah ponggawa resafelan dititah ke negeri Timur untuk melihat apa betul ada kwashiorkor di sana. Selain itu, tugas besar ponggawa baru tak lain daripada penstabilan ekonomi tanpa gejolak seperti pada rusuh massal saat raja lengser pascatridasawarsa memangku negeri itu.
Menurut warta teranyar harian Serat Centono, tukar-menukar posisi itu demi menyelamatkan muka ponggawa agar masih bisa tampak wibawa di mata rakyat Kerajaan Mandalagiri. Muka-muka itu, pada masa lalu pernah dianggap kaki tangan raja yang lengser lantaran gerakan massa brutalyudha atau minimal punya kekerabatan. Asas pini sepuh anutannya dan tepo salironya sebagai pemangku adat selalu menjunjung prinsip mikul dhuwur mendhem jero. Tatkala urun rembuk tentang arah tumbuh kerajaan, semua lurah, demang, panditha, ponggawa dan tetua perdikan tanah seberang telah seia-sekata. Tak hanya itu, kerajaan seberang pun ramai mengutus dutanya untuk bersahabat luhur, menimba ilmu ulah kanuragan dan ulah jiwa. Balas kunjung kerap dilaksanakan hingga ke negeri Jagatnatha di tataran Antah Berantah yang butuh tujuh hari tujuh malam perjalanan naik kuda sembrani.
Itulah kedigjayaan Raja yang pernah memimpin paguyuban hulubalang di kerajaan itu. Pangkatnya mencapai taraf tertinggi, yaitu Pangageng Utomo sepulang dari akademi di Breda, Nederlands. Di tataran olah-ilmu, Sinuhun pun berhasil merengkuh Mahaguru setelah sebelumnya dinobatkan menjadi Doctor Ingenieur dari Landbouwuniversiteit. Selain pamornya itu, ia pun menyunting sekar kedaton yang mewangi nan elok, memukau bukan hanya yang empunya tapi juga hulubalang dan rakyatnya. Hanya sayang, Sang Raja acap gundah-gulana karena permaisurinya tak pernah tersenyum lagi setelah penobatannya menjadi raja. Ini tentu masalah besar apalagi saat jamuan makan malam di hadapan raja-raja sahabat.
Setelah sejumlah upaya, ditemukanlah siasat agar kuntum itu menyungging lagi. Atas usul paguyuban penasihat raja, tepat purnama bulan kesembilan ketika orang terlelap di tengah sunyi malam, serdadu penjaga istana diperintahkan membunyikan genderang perang. Pecahlah keheningan malam itu menjadi hiruk-pikuk dan kepanikan. Bunga api di menara kerajaan pun menghiasi langit. Tampak indah. Dan benarlah, Permaisuri tersenyum manis, mengalahkan keindahan bulan bulat terselimuti awan tipis saat itu. Ceria sekali ia, tampak dari semburat merah merona pipinya, membuat terkesiap darah pemandangnya.
Sementara itu, rakyat kian panik sambil memanggul tombak, busur dan anak panah serta menghunus keris. Riuh rendah teriakannya, berlari kian kemari tak tentu arah. Tapi mereka tetap belum tahu, dari mana arah musuh menyerang istana. Baru setelah obor mati karena minyaknya habis, mereka tersadar kalau genderang tadi hanyalah untuk memuaskan raja, ponggawa, kerabat istana, hulubalang dan penasihatnya. Senyaplah lagi suasana. Sembari masuk ke serambi biliknya, terdengar gumaman keluhan dan sungutan kekecewaan. Begini nasib jadi wong cilik. Minyak mahal habis sia-sia, kantuk berat kian terasa tapi hati terus terjaga, waswas besok harus puasa. Tak punya lagi apa-apa.
Setahun berselang menjadi raja, di tengah evaluasi politisi lawan dan pengamat yang intensif memata-matai sepak terjangnya, Raja tetap menjalankan rutinitasnya. Puas membekas dan tenteramlah hatinya melihat begitu indah senyum itu. Barangkali, banyak yang cemburu melihat aku bahagia seperti ini. Punya istri cantik, tanah perdikan luas-makmur yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Rakyat pun mendukungku. Buktinya, tak ada yang kecewa malam “rusuh” itu. Resafel ponggawa dan hulubalang pun tak masalah. Harga-harga di pasar Giripurwo tetap stabil. “Paberjk Badjoe” di Wonitirto tetap produksi. Begitu gumam Sang Raja setiap ia duduk santai atau tatkala di pembaringannya. Nyenyaklah tidurnya di samping istrinya nan rancak bana.
Tapi ia keliru rupanya. Tanpa disadarinya, kalangan dekat yang kepayang dengan gelimang harta, kemudahan dan berbagai hak privilese membuatnya kurang awas lan waspodo. Ponggawa, hulubalang dan prajurit pun terbuai sehingga tak siap lagi menangkal kemungkinan terburuk. Karenanya, ketika benar musuh menyerbu dari delapan penjuru angin, mereka terlena dan tak sigap lagi. Istana telah dikepung dari utara, timur dan barat. Padahal, daerah itulah sumber utama dukungan raja yang juga banyak memberikan upeti untuk pembangunan istana. Suara tetabuhan genderang perang memang terdengar dari kejauhan, menyusup ke pori-pori gedhek rumah penduduk. Namun terlambat. Tak ada lagi rakyat yang bangun dan peduli karena pertahanan berbasis massa telah sirna. Rakyat sudah tak percaya lagi. “Pasti Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,” bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan-dipan reyotnya.
Tutur sahibul hikayat, kerajaan itu - esoknya - telah dikuasai musuh, tergadaikan ke orang seberang yang putih kulitnya, tirus parasnya, mancung hidungnya. Yang sangat menyedihkan, musuh itu ternyata kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana dan membantu sebuah perdikan yang luluh-lantak akibat “geger segoro” tsunami. Smong... smong. Rupanya, telah lama dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan kecil di sekitar istana. Ondergrondse actie. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar