• L3
  • Email :
  • Search :

30 Maret 2006

HAMKA, Dinasihati Bukunya

Kali pertama saya “berkenalan” dengannya, jika dihitung dari sekarang, memang sudah lama. Lebih dari 18 tahun lalu. Saya tak ingat lagi tanggal bulannya, tapi tahunnya tahun 1987. Di jalan Ganesha, di emper masjid Salman ITB, di situlah saya “bertemu” dengannya. Jadilah dia teman dekat saya. Saya dibuatnya terkagum-kagum dan kian menyulut hati saya untuk belajar Islam. Daripadanyalah saya mendapat pencerahan. Kalau pulang ke Bali, saya ajak dia seolah-olah saya tak bisa pisah dengannya. Di Bali, saya kenalkan dia kepada saudara dan orang tua saya. Namun tanggapan saudara dan orang tua saya biasa-biasa saja saat itu. Mereka terbiasa dengan situasi, kondisi, dan budaya Bali dan saya memakluminya. Sebaliknya saya makin dekat saja dengannya. Siang-malam terus bersamanya.

Apalagi dia sungguh hebat. Betapa tidak, dia bahkan berjasa menyelamatkan “majikannya” atau lebih tepat adalah “penciptanya”. Jika bukan lantaran dia, pencipta dirinya boleh jadi tak selamat lagi dan dicap sebagai pengkhianat negara. Namanya bakal hapus dari direktori ulama Indonesia yang telah berurat-berakar di sekujur tubuhnya. Ini akan mengecewakan ayahnya yang juga ulama besar pada masa prakemerdekaan Indonesia. Dia adalah “Tasauf Moderen”, buku yang awalnya rubrik di majalah Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan. Baru pada Agustus 1939, enam tahun praproklamasi, dia berubah menjadi buku.

Bagaimana bisa “spirit” ilmu mampu menasihati penulisnya yang tak lain daripada Hamka? Dalam buku itu, di bagian Pendahuluan Pengarang dikisahkan relasi antara Tasauf Moderen dan pengarangnya. Hamka sempat diselamatkan oleh “ruh” dalam bukunya. Jika bukan lantaran ilmu dalam bukunya itu, mungkin Hamka sudah lama tiada sebelum memimpin MUI pada masa-masa awalnya. Kejadiannya tahun 1964, tanggal 27 Januari. Saat itu beliau diinterogasi habis-habisan siang-malam, sampai-sampai ada keinginannya untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadinya. Terlebih lagi penerima doktor honoris causa tahun 1959 dari Universitas Al Azhar karena dianggap salah-satu ulama besar Indonesia ini dikata-katai dengan sebutan hina. “Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!” itulah dentuman di telinganya yang mengoyak-ngoyak hatinya. Betapa tidak, sebutan itu menggetarkan tubuhnya dan membuat darahnya mendidih di ubun-ubun.

“Memang kemarahan saya itulah yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompati dia dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah cukup dapat merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar. Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati.” Demikian tulis Hamka dalam buku yang menjadi salah satu koleksi saya. Ujarannya itu dibuat pada Januari 1970 di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta, 36 tahun silam.

Godaan iblis ternyata tak berhenti sampai di situ. Iblis merayunya untuk bunuh diri. Untung imannya lebih kuat. Setelah menang melawan bujuk setan yang berlangsung satu jam, masih dalam tahanan Orde Lama, Hamka lantas berkata pada dirinya. “Kalau engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan batin ini, mereka yang menganiaya itu akan menyusun pula berita indah mengenai kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka hancurlah nama yang telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat dan air mata sejak berpuluh tahun.”

Itulah dia, kawan saya, si “Tasauf Moderen”. Berkali-kali saya tamat membacanya, berkali-kali pula saya buka lagi dan buka lagi. Pengarangnya telah dinasihati dan terlepas dari bunuh diri, putus asa, dan cemoohan orang. Jika betul Hamka bunuh diri memakai silet di tahanan Orde Lama, maka orang-orang yang setia membaca artikelnya di majalah, membaca novelnya, menyukai Tasauf Moderennya akan tidak percaya lagi padanya. Lebih parah lagi, pembaca akan memvonis ulama Islam sebagai pembohong karena kata-kata dan tulisannya tak sesuai dengan perilakunya. Dan yang jauh lebih menderita lagi adalah anak-anaknya yang boleh jadi akan menyumpah serapahinya sepanjang masa.

“Syukur alhamdulillah, perdaya setan itu kalah dan dia pun mundur. Saya menang! Saya Menang!” pekik hati ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat itu penuh tekad optimis. Setelah interogasi di luar batas HAM itu, Hamka lantas sakit dan diopname di rumah sakit di Rawamangun. Anaknya disuruh membawakan Tasauf Moderen. “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!” ujar temannya.

“Memang,” jawabnya, “Hamka sedang memberikan nasihat kepada dirinya sendiri sesudah selalu memberikan nasihat kepada orang lain....”

Nasihat. Buku memberikan nasihat kepada penulisnya. Luar biasa! Itulah ilmu yang menyelamatkan manusia. Ilmu yang tersimpan di selaput kelabu otak manusia, apalagi setelah sempat dituangkan dalam ujud artikel atau buku, dapat dibangkitkan lagi untuk menyinari hati yang gundah, stres, dan cemas. Jika demikian, kita bisa mencoba menulis buku yang dapat mengembalikan hati dan jiwa kita ketika hilang suatu saat kelak. Agar ilmu tak terkekang di hati, kari dalam hati, terbenam di hati. Sebab, misteri itu selalu menanti pada masa depan. Jika terjadi sesuatu, dan kita sudah punya buku yang memotivasi semangat hidup orang lain, segeralah ambil dan bacalah buku karya sendiri itu. Mudah-mudahan ia mampu menasihati kita dan menolong kita seperti yang terjadi pada Buya Hamka, sang maestro, sastrawan-ulama. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar