• L3
  • Email :
  • Search :

28 Maret 2006

Perang Air di Indonesia

Saya terkesan membaca buku Water Wars tulisan Vandhana Shiva, seorang aktivis gerakan lingkungan asal India yang begitu mendunia. Terlepas dari kontroversi di sekitar sumber data dan perbedaan pendapat antara Shiva dan sejumlah ilmuwan, buku tersebut mampu menambah ranah ilmu pembaca bahwa perang air sangat boleh jadi terjadi. Juga ada informasi tentang upaya privatisasi air di berbagai negara dan sejumlah kegagalannya.

Perang air, Water wars. Sebagai judul buku, ia memang kontemplatif, tak hanya provokatif. Hal ini terkait dengan krisis air, baik lantaran debitnya susut maupun akibat polusinya yang kian masif di mana- mana. Ada tanda-tanda eskalasi perang air, malah "tirthayudha" ini bisa dikatakan benar-benar telah meletus. Ini tak hanya terjadi antara masyarakat dan PDAM dalam memperebutkan sumber-sumber airnya, atau antara satu daerah dengan daerah lainnya akibat otonomi daerah (otda), tapi juga antara produsen air siap-minum (yaitu: air minum kemasan dan air minum kemasan ulang, amiku). Ini mirip dengan perang global yang tak hanya melibatkan negara tapi juga lembaga setingkat kabupaten.

Secara historis, atau dalam telaah sosioekologi, perang air dalam arti yang paling sempit sudah terjadi sejak dulu. Petani sering mengalaminya. Apalagi kalau tak ada sistem yang mengaturnya. Sebagai contoh, pembagian air di Bali dengan sistem Subaknya kerap memercikkan api, minimal dalam skala kecil. Bayangkan, sebuah sistem yang terorganisir rapi pun masih bisa memunculkan salah paham dan ketegangan. Ini terjadi tentu saja tak lepas dari karakter orangnya, pelaku-pelaku pertanian dan pengairan yang terlalu mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

Itu dulu, ketika air masih banyak dan kualitasnya bagus. Permukiman pun masih sedikit. Kalau dulu saja sudah demikian rawan sengketa lantaran air, maka sekarang jauh lebih rumit lagi. Sawah-sawah sudah menjadi hotel dan diskotik. Di Tanah Lot misalnya. Gara-gara sunset spektakulernya, sudah habis sawah-sawah di sana. Airnya pun entah lari ke mana. Praktis pantai selatan sudah habis semua dan yang menikmati bukan orang Bali tapi kalangan berduit di Jakarta. Ini bisa disebut sebagai benih unggul perang air. Ia adalah konflik laten; konflik yang sepi tersembunyi tapi gampang meradang. Sekadar contoh: konflik eksternal PDAM dengan institusi pengairan (irigasi teknis), PLN (PLTA), wisata, perikanan (tambak), kehutanan, cagar budaya, dan industri. Bahkan antar-PDAM pun terjadi "perang". Padahal semua PDAM bernaung di bawah payung Perpamsi.

Mudah pula dibayangkan, bentrok antarprovinsi yang bersebelahan bisa terjadi lantaran pola pikir dalam mengelola air hanyalah secara administratif saja. Padahal air itu, baik air tanah maupun permukaan, adalah sumber daya yang mengalir. Selain tak bisa mengklaim 100% kepemilikan atas air, suatu daerah juga harus mengizinkan airnya dikelola oleh daerah tetangganya. Tentu saja ada aturannya agar adil dan sesuai dengan kesepakatan. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang berada dalam satu DAS. Misalnya, DAS Citarum hendaklah dikelola Kabupaten/Kota Bandung, Cimahi, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, dan Karawang. Jakarta pun bahkan bisa disertakan karena sumber air PAM-nya ada yang dari Citarum. Jadi, tidak melulu urusan orang Bandung.

Kalau tidak demikian, ketegangan akan muncul, seperti kasus di PDAM. Biasanya pemerintah kota mencari sumber air di daerah kabupaten yang memang lebih luas dan kaya sumber air. Ini tidak cuma-cuma. Pemerintah kabupaten bisa saja mematok tarifnya atau kompensasinya sekehendak hatinya. Apalagi kalau didukung oleh warganya. Inilah soal krusial masa Otda. Sebagai contoh, antara Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kota Bandung. Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Banyak lagi yang lain. Sebagai tambahan, kalau ada sekitar 410 kabupaten-kota di Indonesia, maka jumlah PDAM pun sekitar itu juga dan sumber-sumber airnya pasti tumpang tindih. Inilah "bara dalam air".

Tak hanya itu. "Perang" dengan masyarakat terutama petani pun tak jarang terjadi. Di Kabupaten Ciamis misalnya, untuk keperluan irigasi warga di sana sampai berebut membendung Sungai Cileueur di dekat bangunan sadap (intake) PDAM Ciamis. Di Ciparay dan Majalaya petani ikan menuduh PDAM Kabupaten Bandung merebut jatah air mereka dari Sungai Citarum. Hal serupa, malah lebih riskan lagi karena ada yang membawa senjata tajam dan senjata api, terjadi di Sukabumi. Perang parang dan golok, tak menang pun dibacok.

Lalu di Gunung Gede, Pacet, Kabupaten Cianjur juga ada letupan sporadis. Ada jegal-menjegal pipa dan selang air, bahkan sampai membobol bak air PDAM. Fenomena itu tidak hanya merebak ketika kemarau tapi juga meletup saat musim hujan. Siapa yang tidak geleng-geleng kepala dan tak habis pikir kalau setahun penuh bergontok-gontokan. Padahal mereka berasal dari satu daerah. Satu bangsa. Homo homini lupus? Menjadi serigala antarsesama? Buas-kanibal? Survai membuktikan, manusia bisa jauh lebih ganas ketimbang binatang terbuas sekalipun.

Perang yang lebih khusus lagi adalah yudha antara produsen air siap-minum. Air siap-minum ini saya pilah menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah air minum kemasan (diakronimkan menjadi amik; dulu orang menyebutnya air mineral, lalu berubah menjadi air minum dalam kemasan). Yang kedua, sang pemain baru yang vini, vidi, vici dan dinamai air minum kemasan ulang (amiku; lebih populer disebut air isi ulang).

Khusus air siap-minum, tetabuhan genderang perangnya kuat sekali. Pasalnya, air isi ulang begitu ekspansif di mana-mana. Dalam hitungan setahun saja jumlahnya mencapai ribuan depot. Ada yang bilang delapan ribuan dalam skala nasional. Dalam skala regional yang terbanyak jumlahnya beroperasi di Jadebotabek (Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi). Berapa angka pastinya, sampai sekarang sulit didata sebab banyak yang tak terdaftar. Yang saya lihat, baik depot yang terdaftar maupun yang tidak (belum) terdaftar biasanya ada namanya walaupun produknya tidak bermerek. Nirmerek.

Di lain sisi, peredaran amik semakin luas karena pabriknya kian banyak. Malah disinyalir mencapai ratusan merek di tanah air ini. Satu perusahaan amik bahkan ada yang memiliki instalasi pembotolan di mana-mana. Umumnya di daerah yang kaya mata air dan dekat pegunungan. Amik-amik itu senantiasa mengklaim sumber airnya dari mata air pegunungan kemudian diolah dengan teknologi canggih dan higienis. Semuanya unjuk produk. Jadi, sesama amik pun ketat bersaing merebut konsumen.

Untuk sekadar tahu perseteruannya itu kita bisa saksikan di media massa seperti televisi dan koran. Kita dapat meniliknya dari pelbagai berita dan dari iklannya. Misalnya, iklan yang ditayangkan di TV. Dalam iklan dimaksud terlihat Aspadin (Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia) begitu gencar mematri imej pemirsa lewat iklannya. Iklan yang berkisah tentang anak yang sakit perut itu memunculkan kalimat yang secara tegas mengajak konsumen untuk minum amik dan bukan sembarang diisi ulang agar tak sakit perut. Lantas, di bagian akhir dilengkapi dengan narasi atau cerita muncullah label Aspadin. Bisa kita simpulkan, iklan itu dibuat dan ditayangkan atas biaya perusahaan amik yang tergabung dalam Aspadin.

Selain itu juga ada satu perusahaan amik yang rutin menayangkan produknya dengan visualisasi kesegaran air pegunungan, multitahap prosesnya atau cara-cara lain yang tetap mengusung kelebihan produknya. Ujud iklannya bermacam-macam dan kreatif. Secara tersirat kerapkali menyentil kompetitornya, amiku. Tentu anggarannya tak sedikit. Dari simakan saya, belanja iklannya mencapai milyaran rupiah pertahun.

Dalam pada itu, Aspada (Asosiasi Pengusaha Depot Air) tentu tidak tinggal diam menyaksikan tingkah polah pelaku bisnis amik. Kendati labelnya adalah usaha berskala kecil dan cuma ratusan liter air yang terjual per hari per depotnya, tapi karena jumlah depotnya jauh melebihi jumlah pabrik amik maka tirthayudha antara dua jawara air siap minum ini berlangsung seru. Malah asosiasinya, Aspada, gencar menjawab tuduhan, klaim, dan tulisan di koran dan majalah dari orang-orang yang dianggap menyerang eksistensinya. Departemen Perindustrian dan Perdagangan pun dituding menghambat lantaran menunda-nunda penerbitan regulasi bisnis amiku. Termasuk adanya tuduhan bahwa riset dari para periset adalah pesanan Aspadin. Aspadin tentu saja membantahnya. Gugat-menggugat dan ancam-mengancam pun kerap kita baca dan dengar. Tirthayudha!

Pertanyaan yang tertinggal, mampukah rakyat kebanyakan, kaum marjinal, orang-orang yang tak kuat secara ekonomi, atau kalangan sangat miskin, memperoleh air buat kebutuhan sehari-harinya? Terutama di masa datang. Lalu, sampai kapan lagi pejabat eksekutif menjual aset dan harta negara kita? Menjual harta kekayaan bangsa milik bersama itu (milik si fulan yang gelandangan, juga milik fulanah yang istri ponggawa negara), hanya untuk menggembungkan pundi-pundi pribadi dan partainya.


Perang Air of Prof. Jeffrey D. Sachs

Foto: Scientific American.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar