Textbook ada yang menerjemahkannya menjadi buku-ajar, buku-induk atau buku-teks. Semua terjemahan itu bisa diterima dan bisa dipilih yang mana saja sesuai selera. Yang pasti maksudnya sama, yaitu sebuah buku yang menjadi acuan kuliah di perguruan tinggi. Biasanya tebal atau sangat tebal setebal bantal sehingga sering dijadikan bahan kelakar. Buku kok dijadikan bantal tidur, begitu yang sering kita dengar. Lalu galaulah hati ini.
Kenapa galau? Ternyata tidak semua mahasiswa Indonesia akrab dengan textbook. Tidak semua mahasiswa punya textbook. Jangankan membeli, meminjam dari perpustakaan kampusnya saja enggan. Jangan-jangan ada mahasiswa yang tak pernah membaca textbook selama kuliah tapi tetap meraih gelar sarjana. Selama kuliah dia hanya mengandalkan catatan kuliah. Parahnya lagi, catatan itu hasil fotokopian dari catatan temannya dan dengan itulah dia menjawab soal ujian lalu lulus dengan C, misalnya. Masih mending dapat C. Yang menjadi masalah besar kalau dia dapat B apalagi A. Ini alamat “kiamat”, cepat atau lambat, bagi dunia pendidikan kita. Namun, dia masih jauh lebih baik ketimbang yang meraih gelar sarjana dari hasil membeli, gelar aspal, asli tapi palsu. Tak pernah kuliah, tak pernah ujian, tanpa skripsi lalu langsung bertitel.
Kembali ke soal buku teks. Apa yang perlu diupayakan agar buku teks kian akrab di kalangan mahasiswa (dan juga dosen)? Tentu banyak jalan yang bisa ditempuh untuk meluaskan pengaruh buku teks kepada masyarakat. Sebelum buku teks, masyarakat hendaklah sadar bahwa mereka perlu banyak membaca. Inilah yang kerapkali disebut membentuk budaya baca yang masih rendah di negara kita. Agar upaya meliterasikan mahasiswa (sebagai bagian dari masyarakat) tercapai, perlu dirintis minimal dua hal berikut ini.
Kesatu, revisi buku teks. Pemerintah hendaklah membuat program pengadaan buku teks yang betul-betul layak dan sesuai dengan perkembangan saintek terkini. Buku ini hendaklah disusun oleh sebuah tim dalam bidang ilmu tertentu. Setiap tim menulis buku teksnya masing-masing dengan tetap mengindahkan masukan dari berbagai kalangan yang memang terkait dengan keilmuan tersebut.
Revisi ini sangat penting agar wawasan ilmu mahasiswa dan dosen juga bertambah. Jangan sampai kita mempelajari buku teks yang isinya sudah ketinggalan zaman. Di pasar loak, buku teks “kuno” ini bisa dibeli dengan harga sangat murah. Malah ada yang digunakan sebagai bungkus kacang atau kue serabi. Memang ada buku kuno dan langka yang harganya selangit dan diburu orang dalam setiap acara lelang. Ini, saya yakin, bukan isinya yang bernilai tinggi apalagi dilihat dari sisi perkembangan saintek, melainkan sisi historisnya.
Ide revisi buku teks ini tentu saja tak mudah diwujudkan. Sebuah tim perevisi harus dibentuk dulu yang beranggotakan orang-orang yang pakar di bidang itu. Setelah tim ini terbentuk barulah beranjak ke soal pemilihan buku teks. Adapun dananya, pemerintahlah yang wajib menyediakannya atau dengan mancari sponsor yang namanya dimasukkan ke dalam buku sebagai ucapan terima kasih.
Kedua, impor buku. Cara ini lebih cepat ketimbang cara kesatu. Asalkan ada dana, pemerintah bisa langsung membelinya dan dihibahkan ke perguruan tinggi. Hanya saja, kendalanya itu tadi, mahasiswa kita enggan membaca buku teks berbahasa Inggris. Walau demikian, mari belajar dari Jepang. Pada masa Meiji (1868-1912) negara sakura ini banyak mengadopsi buku dari Eropa. Mereka berupaya belajar sendiri, percaya diri dan akhirnya berhasil menjadi salah satu pionir dalam saintek.
Kita juga bisa belajar dari India. Negara di Asia Selatan ini banyak mengimpor buku dan sekaligus memupuk penulisan buku teks. Di India banyak sekali beredar buku karya terjemahan dan karya asli orang negeri Sungai Gangga itu. Malah buku-buku teksnya sudah menyebar di Asia Tenggara. Risetnya juga sudah primer, menjadi rujukan internasional di berbagai jurnal ilmiah papan atas.
Demikianlah dua hal besar dunia pendidikan tinggi kita yang terkait dengan buku teks, yaitu revisi buku teks (Ini dapat dilakukan kalau sudah ada buku teksnya. Tapi kalau belum ada, pemerintah wajib mengupayakan penulisan buku teks yang juga diselenggarakan oleh sejumlah pakar dalam lingkup ilmunya), dan impor buku sebagai alternatif yang juga penting (kalau ada dana, bisa juga diusulkan kegiatan penterjemahan textbook yang juga dikerjakan oleh pakar di bidangnya).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar