Dulu pernah terbongkar pemalsuan "aqua" atau air minum kemasan (amik) berskala besar dari bermacam merek di Bekasi. Kita pun lantas terhenyak lagi karena kasus ini sudah yang kesekian kalinya. Bisa dikatakan sebagai puncak gunung es sebab yang tak terungkap jauh lebih banyak. Sayangnya, dari dulu hingga kini konsumen tetap bergeming. Diam saja. Tidak proaktif menggugat produsen dan pemalsunya padahal Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sudah berlaku sejak 20 April 2000. Sudah sangat lama!
Diyakini, pemalsuan itu berkaitan dengan prospek bisnisnya yang menggiurkan. Ini logis saja karena jenis aktivitas yang membutuhkan amik makin lama makin banyak saja seperti temu ilmiah, pesta ulang tahun dan pernikahan. Mungkin juga karena sumber air yang lain tidak ada atau kualitasnya buruk. Apalagi pada masa datang, air bersih akan kian langka. Bisa saja harganya lebih mahal daripada BBM. Tak berlebihan jika air, nanti, dijuluki emas bening. Karena itu, selain kasus pemalsuan amik, diduga akan terjadi rebutan air antar daerah dengan adanya UU No. 22/1999 tentang Otonomi (Pemerintahan) Daerah. Lihat saja kasus antara PDAM Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, dll.
Cermat memilih "aqua".
Amik dianggap berjasa, mungkin tak seorang pun menolaknya. Konsumen dimudahkan karena praktis, siap saji khususnya ketika bepergian antar kota. Juga mudah dibeli di terminal, stasiun atau warung pinggir jalan. Habis diminum, wadahnya dibuang, tanpa perlu membebani tas. Tapi di sinilah masalahnya. Kemasannya yang dibuat dari PET (Poly Ethylene Terephthalate), turunan petroleum yang inert, tak bisa diuraikan oleh bakteri, berserakan di mana-mana, mengambang dan menutupi sungai. Inilah salah satu indikator rendahnya tingkat kepedulian kita pada lingkungan.
Terlepas dari sampahnya yang dipulung untuk di-refill (isi ulang) oleh pemalsu amik, produk ini telah menyebar ke pelosok. Volume kemasannya pun bervariasi. Demikian juga mereknya. Dulu, ketika pabriknya belum banyak, amik bergengsi tinggi. Menjadi status sosial karena kalangan tertentu saja yang meminumnya. Tapi kini, ketika pabriknya kian banyak, konsumennya meluas, bisnis yang sarat laba ini tak ayal lagi ramai dipalsukan. Yang rugi adalah pabrik dan konsumennya.
Dari kasus di atas, produsen seharusnya bertanggung jawab. Mengapa produknya mudah dipalsukan? Mengapa tidak menerakan informasi atau label yang sulit ditiru di kemasannya? Label atau logo ini pun harus dipublikasikan agar konsumen tahu mana amik palsu dan mana yang asli. Label dan angkanya juga harus komunikatif agar tak perlu berpikir panjang untuk memahaminya.
Selain itu, lokasi dan jenis sumber airnya mesti dicantumkan apakah air permukaan, air tanah-dalam ataukah mata air. Demikian halnya dengan jenis dan konsentrasi mineralnya. Harus jelas, satuannya benar. Jangan samar sehingga sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ini penting karena mineral berpengaruh pada kondisi pembuluh darah, ginjal, hati dan tulang. Data tadi juga bermanfaat jika ada gugatan karena dapat dicek dari formasi geologi sumber airnya dan kemungkinan adanya zat berbahaya dan beracun.
Yang juga penting adalah pencantuman tanggal kadaluwarsanya. Sebaiknya dicetak agar tidak mudah luntur jika digosok. Juga jangan sampai terjadi produk kadaluwarsa yang kebetulan masih bagus, diundurkan lagi tanggalnya. Di sinilah peran POM (Pengawasan Obat dan Makanan) untuk bersikap tegas, anti-KKN dengan produsen. Usahakan juga hasil evaluasi produk yang diawasinya itu dipublikasikan secara reguler di media massa. Tindakan ini akan membantu konsumen, minimal membelajarkannya.
Terakhir adalah kualitas biologinya atau lebih tepat bakteriologinya. Setiap produsen dituntut menerakan metode disinfeksinya apakah ozonasi, ultra violet, klorinasi atau yang lainnya. Amik memang harus suci hama, bebas bakteri (steril) karena langsung diminum tanpa direbus dulu sehingga syarat kualitas bakteriologinya setingkat di atas air olahan PDAM.
Lalu, bagaimana dengan PDAM, pemegang otoritas layanan air minum publik? Akankah ia menjadi opsi penting pada masa datang? Mampukah profesionalisme merasuk ke sana dan lepas dari jeratan birokrat daerah?
PDAM, buah Simalakama?
Menyoal PDAM, seperti memegang buah simalakama. Banyak harapan sekaligus cacian yang dialamatkan kepadanya. Selain karena layanannya yang masih sempit, jarang melebihi separuh jumlah penduduk suatu kota, juga karena kualitas airnya belum sesuai baku mutu air minum. Demikian pula tarifnya. Kenaikan tarifnya sering ditolak konsumen, tanpa peduli apa sebabnya. Padahal jika dibandingkan dengan amik, harganya jauh lebih murah. Ini masuk akal karena air olahan PDAM belum siap-minum (drinking water). Perlu direbus dulu. Selain itu, PDAM banyak yang hanya bertumpu pada kualitas fisika dan parameter kimia konvensional seperti kesadahan, besi dan mangan. Belum masuk ke parameter lain seperti logam berat, pestisida dan zat xenobiotik lainnya. Padahal, inilah yang lebih berbahaya.
Positifnya, masalah di atas justru menjadi tantangan sekaligus peluang bagi PDAM agar kompetitif terhadap amik. Ia telah selangkah di depan karena memegang otoritas layanan air minum publik. Dengan harga lebih murah dan perbaikan kualitas, perannya pasti akan meluas dan menjadi opsi penting bagi konsumen. Peluangnya pun makin terbuka jika prioritas pengolahan fisika, kimia konvensional dan bakteriologinya ditambah dengan kimia inkonvensional. Ini idealnya. Mampukah dilaksanakan? Sangat bergantung pada dana, teknologi dan sumber daya manusianya. Juga kearifan konsumen menyikapi tarif airnya yang harus ikut naik.
Karena kualitas air olahan PDAM bergantung pada kualitas air bakunya maka pencemaran sumber air harus seminimal mungkin. Oleh sebab itu, diperlukan konservasi daerah tangkapan dan resapan air hujan. Jika kualitasnya memburuk, yang rugi konsumen lagi, pelanggan PDAM. Tindakannya seperti menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Hal yang sama juga menimpa pabrik amik. Tidak ada yang bebas polusi. Mulai dari air permukaan seperti sungai, danau dan waduk hingga ke air tanah. Khususnya yang dekat dengan pembuangan limbah industri, perkebunan dan perkotaan.
Di sisi lain, banyak PDAM kesulitan mengembangkan usahanya. Dengan tarifnya yang rendah, jangankan mengambil untung, menutupi biaya operasi dan pemeliharaan instalasi, jaringan transmisi dan distribusinya saja tak mampu. Utangnya sepuluh digit dalam rupiah. Nasibnya tak lebih baik daripada PLN yang hampir kolaps. Terlepas dari gurita KKN yang membelitnya, kepedulian pemda sangat diharapkan. Minimal mengurangi eksploitasinya. Demikian pula konsumen, hendaknya membayar rekening tepat waktu dan tidak mengutak-atik meterannya.
Dilematis, butuh perlindungan
Kebanyakan konsumen yang ekonominya menengah ke bawah, berkutat dengan kalkulasi rumit dan dilematis untuk menentukan pilihan sumber airnya secara kontinyu. Khususnya yang tinggal di daerah sulit air atau di metropolitan yang kebetulan kualitas air olahan PDAM-nya belum memuaskan. Kendati demikian, konsumen sesungguhnya memegang posisi kunci mau tidaknya ia langganan PDAM, membeli amik atau membuat sumur sendiri.
Jika dipandang dari cakupan dan harga airnya, peran PDAM kenyataannya memang lebih besar dibandingkan dengan amik. Ditunjang lagi oleh kondisi ekonomi sebagian besar konsumennya. Andalannya, kalau bukan air sumur pasti air olahan PDAM. Kecuali kasus khusus tentunya. Tapi ada kalanya konsumen yang pelanggan PDAM membeli amik untuk diminum sedangkan air olahan PDAM untuk mencuci dan menyiram kebun. Alasannya, air PDAM keruh dan bau.
Untuk kualitas air ini, sayangnya, konsumen hanya mampu menilai dari kualitas fisikanya saja. Itu pun hanya warna dan kekeruhan. Lain daripada itu, tidak bisa. Kalau air PDAM keruh, itu sudah lumrah dan dapat dimaafkan. Tidak demikian dengan amik. Ia harus jernih dan kemasannya tak boleh berwarna agar terlihat jelas jika keruh akibat padatan tersuspensi, koloid atau ada penguraian zat organik oleh bakteri. Urungkanlah membelinya jika berwarna atau keruh.
Lalu, bagaimana mencek kualitas kimianya? Ini memang sulit dan mahal jika dilakukan perseorangan apalagi yang kemasannya kecil dan tidak rutin membelinya (bukan hotel, kantor atau restoran). Namun, LSM atau sekelompok konsumen dapat mengujinya ke sejumlah laboratorium air terakreditasi. Minimal ke tiga laboratorium berbeda untuk perbandingan dan dilaksanakan reguler untuk tiap merek dan kemasan. Dengan cara ini, diharapkan kualitas amik makin terkendali dan yang lebih penting lagi, dapat menciutkan nyali pemalsunya.
Jadi, pembelajaran konsumen sangat dibutuhkan agar tahu mana air yang baik dan mana yang buruk. Termasuk memahami hak dan kewajibannya. Posisinya sudah ditolong oleh UUPK yang dapat dijadikan ???senjata??? untuk melawan produsen dan birokrat pelayan publik yang selama ini berada di atas angin. Meskipun demikian, jika ada kasus, masih tetap dibutuhkan ???payung??? seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang bertindak sebagai inisiator agar class action (gugat perwalian) dapat dilakukan. Jika tidak demikian, siapa lagi yang peduli pada konsumen?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar