• L3
  • Email :
  • Search :

22 Juli 2025

Study Tour Dilarang Kami Di Bali Didukung

Study Tour Dilarang, Kami Di Bali Didukung

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melarang study tour. Sedangkan Walikota Bandung, M. Farhan mengizinkan. Ada pro dan kontra tentu saja. Protes ramai di media sosial. Ramai juga di jalan, di depan gedung atau kantor gubernur. Tulisan ini tidak masuk ke pro-kontra. Tetapi sebuah kisah nyata saja.

Saya dan teman-teman di Tabanan Bali sangat jarang bepergian ke Pulau Jawa. Mendengar kata Jawa saja kami sudah demikian kagum. Dalam benak orang Bali, pada dekade sebelum 1980-an, yang ada adalah Nak Bali dan Nak Jawe (Jawa). Waktu itu tahun 1980-1985 adalah periode belum ada televisi swasta. Hanya TVRI. Acaranya kurang banyak. Tapi memuaskan. Informasi tentang objek wisata di Pulau Jawa tidak banyak yang ditayangkan. Kami dahaga hiburan.

Saya atau kami, yaitu murid-murid seangkatan di SMPN 1 Tabanan Bali, dan kakak serta adik-adik kelas sudah tahu bahwa pada masa kenaikan kelas (kesamen), yaitu naik kelas dari kelas dua ke kelas tiga, akan dilaksanakan karya wisata ke Jawa. Istilahnya Karya Wisata, yang sekarang mungkin bisa disamakan dengan study tour. Bepergian ke objek wisata yang sering dibaca di buku pelajaran atau diberitahu oleh guru. Ingin melihat wujud aslinya di Jawa.

Semua murid, sejak awal di kelas satu SMPN 1 Tabanan Bali, menabung setiap bulan. Saya lupa nilai rupiahnya. Tetapi kami rutin menabung yang dibayarkan ke TU bersamaan dengan uang SPP. Mungkin kurang lebih menabung selama 2 tahun kali 12 bulan, sama dengan 24 bulan kali sekian rupiah. Dari uang yang terkumpul itu kami bisa Karya Wisata ke Pulau Jawa tanpa perlu tambahan biaya lagi. Kami naik bis pergi pulang. Hanya perlu uang bekal yang diminta kepada orang tua masing-masing tentu saja.

Tujuan daerah wisata berbeda-beda dari tahun ke tahun. Pada waktu angkatan kami, tujuannya adalah Malang dan Surabaya. Tentu dalam perjalanan, kami berhenti di Pantai Pasir Putih Indah, Situbondo. Kondisi jalan pada tahun 1981/1982 belum sebaik sekarang. Tetapi kendaraan sedikit. Tidak macet. Singkat cerita, sampailah kami di Surabaya. Wow, kota yang ada di buku pelajaran Sejarah. Kota Pahlawan. Ada kawan yang komentar, dalam bahasa Bali tentu saja, “he… itu DK-nya kok L.” Begitulah, ada di antara kami yang belum tahu bahwa pelat mobil dan motor di Surabaya adalah L sedangkan di Bali adalah DK.

Surabaya kota impian, pada waktu itu, dalam benak kami. Objek wisata yang dituju antara lain adalah Kebun Binatang Wonokromo. Kemudian ke Malang. Objek wisata yang dituju adalah Selecta. Juga pasar modern seperti Sarinah. Bendungan Karangkates. Ada juga candi, tetapi saya lupa namanya. Juga memetik buah apel langsung di kebun dan bayar sebelum ke luar kebun. Saya lupa lagi objek yang lainnya. Kami berfoto bersama. Kamera waktu itu ada yang kecil. Filmnya berukuran setengah dari kamera standar waktu itu. Harganya Rp11.000 sebuah. Waktu itu harga satu kilogram telur ayam Rp400/kg. Saya hapal karena sering membeli telur ayam di tetangga yang juga masih saudara.

Yang ingin saya sampaikan, bahwa biaya untuk karya Wisata dicicil setiap bulan. Mungkin ada orang tua yang tidak punya uang setiap bulan. Kami paham itu. Tetapi pembayaran itu bisa dicicil kapan saja, nanti pada waktu tertentu petugas TU akan menanyakan kepada murid. Kami juga waktu di SMPN 1 Tabanan membayar uang bangunan dengan cara dicicil setiap bulan selama dua tahun. Memang berat bagi orang tua. Makanya kepala sekolah (waktu itu Bapak Drs. I Gusti Ngurah Sukerta) selalu mengundang orang tua/wali ke sekolah setiap masa libur. Pasti ada orang tua yang berat membayar setiap bulan karena itu juga cerita yang saya dengar dari teman-teman. Termasuk orang tua saya, pasti berat juga, dengan lima orang anak yang semuanya murid.

Apakah kami mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari karya wisaya itu? Jawaban saya, dapat. Ilmu dapat, pengalaman sudah pasti dapat. Puas. Senang. Banyak yang bisa diceritakan kepada adik, adik kelas, saudara yang lain dan kepada orang tua. Cerita ini menjadi keseharian dan menggembirakan karena faktanya, jarang kami bepergian ke Pulau Jawa. Kami orang Tabanan, khususnya murid atau teman saya mayoritas tinggal di Bali pada umur SMP itu. Waktu SMA juga tidak banyak dan memang tidak ada keperluan untuk pergi ke Jawa. Pada waktu itu kami kagum kepada para orang tua yang sering berkata, “Pan Momon luwas ke Jawe (Pak Momon pergi ke Jawa).”

Kembali ke study tour. Bagi kami, karya wisata sungguh bermanfaat. Tiada terkira yang diperoleh, baik yang dilihat dan dialami, sepanjang perjalanan. Betapa kami surprised menyaksikan kapal Ferry di Gilimanuk – Ketapang, lalu berdiri di dek kapal dengan tiupan angin kencang. Kami berdiri dan saling bicara, saling berkomentar. Ramai. Kami juga menyaksikan truk gandeng yang tidak ada di Bali. Betapa kami takjub melihat jejeran pohon asam di sepanjang jalan antara Banyuwangi - Surabaya. Asam semua dan sudah ranum. Sudah coklat tua kulitnya. Ingin memetik dan mengemilnya tetapi tidak kesampaian. Titik saja liur ini jadinya.

Demikianlah perihal karya wisata yang kami lakukan. Pada kali lain, tahun berikutnya, seingat saya, tujuan karya wisata adalah Borobudur dan sekitarnya. Jumlah bus mungkin lima atau enam. Waktu itu kami kelas dua ada enam kelas, kelas A, B, C, D, E, F. Rata-rata 40 murid per kelas.

Terima kasih kepada para guru yang sudah mewujudkan keingintahuan kami sebagai murid kelas dua SMP perihal objek wisata di Pulau Jawa.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar